Menuju konten utama

Satu Suro Melekat dengan Mistis dan Jadi Politik Kebudayaan

Suro merupakan penyebutan orang Jawa bagi bulan Muharam. Sejak dulu malam pertama bulan ini dipercaya sebagai malam yang sakral.

Satu Suro Melekat dengan Mistis dan Jadi Politik Kebudayaan
Abdi keraton membawa pusaka saat mengikuti upacara ritual Kirab Pusaka dan Tapa Bisu di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Rabu (20/9/2017). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Film Satu Suro yang bergenre horor tayang pada permulaan Februari 2019. Tiga puluh satu tahun lalu, mendiang Suzanna juga tampil dalam film Malam Satu Suro (1988) yang membuatnya semakin menjadi legenda film horor Indonesia.

Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa-Islam. Bulan ini adalah penyebutan orang Jawa terhadap Muharam dalam kalender Hijriah. Sultan Agung pemimpin Kerajaan Mataram Islam yang mencetuskannya.

“Kata ‘Suro’ merupakan sebutan bagi bulan Muharam dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari kata ‘asyura’ dalam bahasa Arab,” tulis Muhammad Sholikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010).

Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2: Jaringan Asia (2018) menerangkan, saat Islam mulai menyebar di Jawa dan pelbagai istilah waktu dengan sejumlah pecahannya dari bahasa Arab seperti “zaman”, “abad”, “jam”, dan “saat” telah dikenal, penanggalan baru pun mulai banyak dipakai.

“Di mana saja agama Islam berakar, di setiap pantai dan kesultanan, asas tarikh Islam diambil alih. Tahun untuk selanjutnya dihitung mulai dengan saat Hijrah, suatu hal yang mengandaikan bahwa pandangan baru mengenai sejarah diterima secara implisit,” tulisnya.

Namun, Sultan Agung sebagai penguasa Mataram yang kekuasaannya sangat luas di Jawa, tak serta-merta menggunakan penanggalan Hijriah. Ia justru memadukannya dengan tarikh Saka yang selama itu masih digunakan.

“Agar perayaan-perayaan keagamaan dapat diadakan bersamaan waktu dengan seluruh umat Islam, diputuskan untuk menerima asas tahun kamariah yang dibagi menjadi dua belas bulan sinodik dengan masing-masing 29 hari,” terangnya.

Keputusan ini diambil pada tahun 1555 Saka yang bersamaan dengan tahun 1043 Hijriah dan 1633 Masehi.

Kesakralan Malam Satu Suro dan Politik Kebudayaan

Dalam dunia Islam ada satu peristiwa berdarah yang lukanya tak kunjung sembuh sampai hari ini. Pada 10 Muharam 61 Hijriah, Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, dibunuh pasukan Yazid bin Muawiyah dalam konflik politik yang berkepanjangan. Hari itu disebut sebagai hari Asyura.

Menurut Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, meski Suro diambil dari kata “Asyura”, tapi Sultan Agung tak pernah menjelaskan alasannya dalam menamai bulan tersebut.

Sementara Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) mencatat, Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mempunyai tradisi memberi sajen setiap bulan yang diperuntukkan bagi sejumlah tokoh.

Pada bulan Suro, sajen atau uborampe yang dilaksanakan pada tanggal 8 atau hari Jumat, berupa bubur yang dicampur dengan 9 bahan seperti jagung, kacang, gudhe, biji asam, kemangi, kacang hijau, lada putih, dan biji buah delima. Uborampe ini dimaksudkan untuk mumule Baginda Husain.

Seperti disebutkan sebelumnya, Husein adalah putra Ali dan cucu Nabi Muhammad dalam peristiwa Karbala pada hari Asyura. Artinya, peristiwa tersebut bisa jadi memang memengaruhi atau setidaknya menginspirasi masyarakat Jawa.

Keterangan lain disampaikan Clifford Geertz dalam Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (2014). Dalam penelitiannya di Mojokuto, Jawa Timur, pada tahun 1950-an, meski upacara ini sudah sangat jarang dilakukan, tanggal 10 Suro pernah diperingati masyarakat setempat untuk menghormati Hasan dan Husein dengan mengadakan selamatan yang ditandai oleh dua mangkuk bubur.

Denys Lombard pun menyinggung sedikit dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2: Jaringan Asia (2018). Menurutnya, penamaan Suro memang berhubungan dengan Asyura.

“Setelah berpuasa (puasa sunat) dihidangkan bubur sura, upacara yang harus dihubungkan di satu pihak dengan perayaan kesuburan zaman pra-Islam, di pihak lain dengan peringatan Karbala,” terangnya.

Permulaan bulan Suro, tepatnya pada malam satu Suro, berkembang pemahaman masyarakat yang mengidentikkan bahwa malam tersebut adalah malam yang mistis dan angker. Kepercayaan yang sudah lama tertanam inilah yang kemudian pada zaman kiwari diangkat ke dalam budaya populer berupa film dengan menampilkan kisah-kisah horor.

“Bulan Suro bagi kebanyakan orang diartikan sebagai bulan yang sangar, menyeramkan bahkan diidentikkan sebagai bulan yang penuh bencana dan laknat, bulannya para hantu, lelembut, setan, dan sejenisnya,” tulis Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010).

Ia menjelaskan, di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, momen malam satu Suro justru dimaknai sebagai yang malam yang suci atau bulan penuh rahmat. Pada malam tersebut mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri melawan segala godaan hawa nafsu.

Secara turun-temurun, mereka menggelar pelbagai tradisi laku tirakat. Salah satunya selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti.

“Bila terpaksa berhenti akan diulang dari awal. Selamatan ini dimulai pada hari Minggu,” tulisnya.

Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia menjelaskan korelasi antara kedua hal ini, yakni mendekatkan diri kepada Tuhan dengan kepercayaan bahwa malam tersebut menakutkan.

Menurutnya, kekalahan Mataram di Batavia pada warsa 1628 dan 1629 membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Pasukan Mataram yang menyerang Batavia, imbuhnya, telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.

Infografik malam 1 suro

Infografik malam 1 suro. tirto.id/Rangga

Kondisi ini menurutnya bisa jadi membuat pasukan Mataram tidak solid. Untuk merangkul semua golongan, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.

“Kenapa Sultan Agung menciptakan tahun Jawa-Islam, karena ada satu peristiwa sejarah yang membuat Sultan Agung miris, sedih, dan malah ia berpikir secara keseluruhan bahwa ada yang salah dengan kebudayaan Jawa […] Dia ciptakan tahun baru yang digabungkan antara tahun Saka Hindu dengan tahun Islam. Di sinilah Sultan Agung berharap, dengan berubahnya konsep, semua kepedihan itu hilang, musnah,” ungkapnya kepada Tirto.

Sejumlah catatan yang mengaitkan bulan Suro dengan peristiwa Karbala, Yowono memperkirakan peristiwa kesedihan yang menimpa cucu Nabi Muhammad itu dikaitkan dengan kesedihan Mataram yang mengalami kekalahan dalam dua kali penyerbuannya ke Batavia.

Ia menambahkan, Sultan Agung juga mencanangkan pada malam permulaan tahun baru itu untuk prihatin, tidak berbuat sesuka hati dan tidak boleh berpesta. Masyarakat harus menyepi, tapa, memohon kepada Tuhan.

Untuk menghormati leluhur dan sebagai bentuk evaluasi, imbuh Yuwono, pada malam tersebut juga pusaka-pusaka dicuci, dibersihkan, seiring dengan kehidupan spiritual yang disucikan kembali.

“Maka bagi orang Jawa malam satu Suro itu menjadi malam yang sangat sakral. Dan di situlah pertemuan antara dunia manusia dengan dunia gaib. Karena pusaka-pusaka dicuci, didoakan, diselamatkan kembali,” tuturnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, karena malam tersebut merupakan "pertemuan" antara dunia manusia dengan dunia gaib, maka malam tersebut ditakuti orang-orang. Bagi sebagian orang, ketakutan itu adalah berupa sanksi-sanksi gaib jika tidak berbuat kebaikan. Sementara bagi sebagian lain justru kehadiran dunia gaib inilah yang ditakuti. Kepercayaan inilah yang kerap diangkat ke layar lebar dengan menghadirkan kisah-kisah menyeramkan.

Di luar kepercayaan tersebut, Yuwono berpendapat bahwa penanggalan baru yang dilakukan Sultan Agung itu sejatinya adalah langkah politik kebudayaan. Raja Mataram itu hendak merangkul golongan yang masih menyisakan keyakinan terhadap Hindu dan golongan yang telah memeluk Islam sepenuhnya.

Sultan Agung, imbuhnya—bercermin dari kekalahan di Batavia—berharap dengan penanggalan baru itu orang Jawa akan benar-benar menyatu sehingga menjelma menjadi kekuatan yang solid.

“Kenapa kalah kocar-kacir, karena orang Jawa pecah agamanya. Ada yang di pesisir utara, ada yang di pesisir selatan yang masih Kejawen, makanya orang Jawa itu pecah. Karena kekalahan itu lalu disatukan dengan tahun Jawa-Islam yang memadukan [Saka dan Hijriah]. Jadi semangatnya semangat politik budaya,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra