Menuju konten utama

Apa Itu Selamatan Bulan Suro Ngalap Berkah: Tradisi Kenduri Massal

Mengenal apa itu selamatan bulan Suro, tradisi yang kerap dirayakan masyarakat Jawa. Berikut selengkapnya.

Apa Itu Selamatan Bulan Suro Ngalap Berkah: Tradisi Kenduri Massal
ilustrasi ziarah. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

tirto.id - Apa itu selamatan bulan Suro 'Ngalap Berkah', salah satu tradisi yang kerap dirayakan masyarakat Jawa? Tahun baru Islam yang jatuh di bulan Muharam ini juga bertepatan dengan awal penanggalan kalender Jawa, yang dimulai dari bulan Suro.

Satu Muharam atau Suro yang memiliki catatan peristiwa penting di dunia Islam ataupun kebudayaan masyarakat Jawa, telah menjadi latar munculnya berbagai festival atau perayaan untuk memperingatinya.

Perayaan-perayaan ini tak hanya ditujukan untuk kegiatan keagamaan, tapi juga bagian perayaan kultur budaya sekaligus pelestarian tradisi masyarakat, termasuk tradisi Ngalap Berkah.

Mengenal Tradisi Selamatan Bulan Suro 'Ngalap Berkah'

Djihan Nisa Arini Hidayah dalam Jurnal Ilmiah PPKN IKIP Veteran mengatakan satu Suro atau ‘Suroan’ dianggap sebagai hari besar yang sakral bagi warga Klaten secara turun-temurun, di mana masyarakat kebanyakan mengharapkan bisa mendapatkan berkah pada hari besar ini, ritualnya diistilahkan sebagai ‘Ngalap Berkah’.

Bagi masyarakat Klaten, Suroan merupakan kegiatan berdoa bersama sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan tuhan. Selain itu, tradisi ini dapat mempererat tali persaudaraan.

Pada malam satu Suro, biasanya masyarakat Klaten melakukan kegiatan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam.

Kegiatan Suroan di Klaten diisi dengan acara selametan (kenduri) massal serta mengadakan pertunjukan Wayang Kulit semalam suntuk setiap tanggal tujuh Suro.

Suroan harus dilaksanakan pada malam tanggal tujuh Suro karena sudah menjadi tradisi dan kewajiban bagi Masyarakat Brangkal, Klaten. Di mana ada kepercayaan jika masyarakat tidak melaksanakan kegiatan tersebut, maka warga desa akan mendapatkan bencana karena dianggap tidak menjalankan kewajiban terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

“Suroan kedah kalaksanaken wektu wulan Suro ugo ditibakake malem pitu ing wulan Suro amarga iku wes dadi kewajibane masyarakat Brangkal yen ora kalaksanaaken, deso lan wargo Brangkal bakal keno rubedo amarga dianggep ora kalaksanaaken kewajibane marang gusti pangeran. (Suro-an dilaksanakan ketika datang waktu Suro dan malam ketujuh bulan yang sama. Hal ini menjadi kewajiban masyarakat Brangkal. Jika tidak dilaksanakan, desa dan warganya akan dapat malapetaka, karena dianggap tidak melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan),” jelas Mbah Sigro, sesepuh Desa Brangkal, Klaten.

Di Brangkal, Klaten, kegiatan Suroan biasanya dilakukan di Bangsal Agung. Bangunan seperti rumah yang letaknya berada di dekat pintu masuk ke pemakaman umum di desa Bangkal tersebut dibangun oleh masyarakat sekitar 50 tahun lalu untuk memperingati Suroan.

Tujuan masyarakat membangun Bangsal Agung di dekat TPU adalah agar masyarakat selalu mengingat kematian dan ingat akan pembuat kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat menganggap pertunjukan Wayang Kulit yang mereka lakukan mengandung nilai moral dan perilaku yang dapat dijadikan teladan bagi masyarakat. Selain dianggap sebagai usaha untuk melestarikan budaya bangsa, tradisi ini juga merupakan sarana hiburan untuk masyarakat.

Perayaan-perayaan saat Muharam memang lekat dengan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai keagamaan. Selain Klaten, daerah lain di pulau Jawa juga memiliki tradisi berbeda pada saat Muharam.

Seperti Grebek Suro di Ponorogo. Grebeg Suro merupakan kirab mengelilingi benteng keraton, puncaknya adalah pembagian tumpeng raksasa yang disediakan oleh pihak keraton. Tumpeng tersebut merupakan simbol keberkahan untuk masyarakat.

Berbeda dengan Grebeg Suro, ritual di Temanggung, Jawa Tengah, dilaksanakan dengan bernyanyi bersama Kidung Jawi yang berjudul Dhandang Gula, dilanjutkan dengan acara Kacar-kucur dan doa keselamatan bersama yang dipimpin oleh kaur keagamaan.

Selain itu, warga lereng Gunung Semeru di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, melestarikan ritual larung pendam setiap 1 Muharam. Tradisi ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Dengan tujuan yang sama, warga Desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar tradisi adat sapi-sapian dalam menyambut 1 Muharam.

Tradisi-tradisi ini hanya sebagian kecil dari ragam tradisi menyambut 1 Muharam di Jawa. Masyarakat Jawa punya cara masing-masing memperingati sebuah momen yang pada dasarnya tak hanya sebuah pergantian tahun semata.

Akar Kesakralan Mitos Malam 1 Suro

Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton. Ia menulis, bahwa keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, dan akhirnya terus diwariskan, dilanjutkan dari generasi ke generasi.

Dalam konteks malam 1 Suro, seperti dicatat Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010), lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebenarnya memaknainya sebagai malam yang suci atau bulan penuh rahmat.

Pada malam tersebut mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri melawan segala godaan hawa nafsu, dengan menjalankan tirakat dan lelaku atau perenungan diri. Salah satunya, selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti.

Sementara Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, mencoba menjelaskan mengapa pada akhirnya Malam 1 Suro dimaknai secara menakutkan. Menurutnya, ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram

Pada kurun 1628-1629, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.

Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.

Baca juga artikel terkait TAHUN BARU ISLAM atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani