Menuju konten utama

Libur Tahun Baru Islam: Sejarah Muharam & Suro Dirayakan Bersamaan

Satu Muharam atau Suro memiliki catatan peristiwa penting di dunia Islam ataupun kebudayaan masyarakat Jawa

Libur Tahun Baru Islam: Sejarah Muharam & Suro Dirayakan Bersamaan
Abdi keraton membawa pusaka saat mengikuti upacara ritual Kirab Pusaka dan Tapa Bisu di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Rabu (20/9/2017). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Libur nasional Tahun Baru Islam 1440 Hijriah jatuh pada Selasa, 11 September 2018. Tahun baru Islam yang jatuh di bulan Muharam ini juga bertepatan dengan awal penanggalan kalender Jawa, yang dimulai dari bulan Suro.

Bagaimana satu Muharam dan satu Suro bisa diperingati secara bersamaan setiap tahunnya?

Satu Muharam atau Suro yang memiliki catatan peristiwa penting di dunia Islam ataupun kebudayaan masyarakat Jawa, telah menjadi latar munculnya berbagai festival atau perayaan untuk memperingatinya.

Perayaan-perayaan ini tak hanya ditujukan untuk kegiatan keagamaan, tapi juga bagian perayaan kultur budaya sekaligus pelestarian tradisi masyarakat.

Bila menilik kejadian 1 Muharam dalam sejarah Islam, ini menandai peristiwa ‘hijrah’. Dalam buku Di Balik 7 Hari Besar Islam: Sejarah, Makna dan Amaliah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW hijrah dari Kota Mekah ke Madinah pada 622 Masehi. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 1 Muharam, sebagai tahun baru dalam kalender Hijriah.

Bagi orang Jawa, Suro atau Muharam sama-sama disambut dengan perayaan dan pensakralan. Ihwal ini tak terlepas soal penanggalan Jawa dan kalender Hijriah yang memiliki korelasi yang dekat, khususnya semenjak masa Mataram di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645).

Tahun hijriah diawali dengan bulan Muharam, yang oleh Sultan Agung dinamakan sebagai bulan Sura. Pengaruh kontrol keraton yang kuat melatarbelakangi tindakan revolusioner Sultan Agung dalam upayanya mengubah sistem kalender Saka—merupakan perpaduan kalender Jawa asli dengan Hindu. Kemudian menjadi kalender Jawa yang merupakan perpaduan kalender Saka dan kalender Hijriah.

Menurut Karkono Kamjaya Partokusumo dalam buku Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam, perubahan sistem kalender tersebut terjadi pada Jumat Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi.

Menilik dasar perhitungannya, kalender Saka mengacu pada sistem solar atau matahari. Sementara itu, kalender Jawa yang dibuat Sultan Agung berdasarkan lunar atau sistem bulan seperti sistem kalender Hijriah. Kedua sistem perhitungan solar dan lunar berbeda, sehingga tindakan Sultan Agung dianggap revolusioner.

Sultan Agung memang menaruh perhatian besar pada kebudayaan Jawa. Proses perpaduan kalender Hijriah yang dipakai di pesisir utara dengan kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman, menghasilkan kalender Jawa-Islam. Ini salah satu upaya mempersatukan masyarakat Jawa pada masa itu. Upaya yang revolusioner ini membuat bulan Suro atau Muharam ini begitu dianggap istimewa.

Muhammad Sholikhin dalam buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa menjelaskan bahwa Sultan Agung memprakarsai Muharam menjadi bulan awal tahun baru bersama-sama antara Islam dan Jawa. Bulan ini istimewa karena ada kepercayaan bahwa bulan itu saat kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa dan membebaskan masyarakat Jawa dari cengkeraman makhluk-makhluk raksasa yang menjajah masyarakat Jawa. Selain itu bulan ini juga dipercayai sebagai bulan kelahiran huruf Jawa.

Baca juga artikel terkait TAHUN BARU ISLAM atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani