Menuju konten utama

Kenapa Malam Satu Suro Tidak Boleh Keluar Rumah & Penjelasannya

Mitos fakta soal kenapa malam satu Suro tak boleh keluar rumah dan penjelasan lengkapnya.

Kenapa Malam Satu Suro Tidak Boleh Keluar Rumah & Penjelasannya
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta mengikuti doa bersama menyambut tahun baru Islam 1444 H di Bangsal Pancaniti, Keraton Yogyakarta, Jumat (29/7/2022). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/foc.

tirto.id - Malam satu Suro akan diperingati pada Selasa malam, 18 Juli 2023. Pada malam itu, umumnya masyarakat Jawa tidak dianjurkan untuk ke luar rumah, mereka akan memilih berdiam diri di rumah. Lantas, mengapa demikian?

Penjelasan mengenai mengapa masyarakat Jawa memilih untuk berdiam diri di rumah ketika malam satu Suro tiba erat kaitannya dengan mitos yang mereka percayai dari generasi ke generasi.

Masyarakat Jawa percaya pada malam satu Suro sangat identik dengan aura sakralnya, hal-hal buruk kemungkinan terjadi di luar rumah.

Mulyani dalam studinya berjudul Tradisi Malam Satu Suro dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat menjelaskan bahwa sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa bulan Suro diartikan sebagai bulan yang menyeramkan, penuh bencana, dan bulannya para makhluk ghaib.

Dikatakan pula bahwa pada malam satu Suro, pasukan Nyi Roro Kidul dari Pantai Selatan akan melakukan perjalanan menuju Gunung Merapi, apabila seseorang keluar rumah dan bertemu dengan pasukan tersebut, maka akan mengalami kesialan dan bahaya. Sehingga, untuk menghindari mara bahaya, maka mereka memilih untuk tetap berada di dalam rumah.

Selain itu, masyarakat Jawa juga percaya bahwa pada malam satu Suro arwah leluhur akan pulang ke rumah. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga harus berdiam diri di rumah untuk menyambut mereka pulang dengan doa-doa dan lelaku tertentu.

Meski begitu, mitos larangan keluar rumah ini dikecualikan untuk mereka yang mengikuti Kirab yang digelar oleh Keraton Yogyakarta. Ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap perjanjian Abiproyo.

Perjanjian Adiproyo itu adalah perjanjian antara Panembahan Senopati, Raja Mataram dengan Nyi Roro Kidul, Ratu Ghaib Penguasa Pantai Selatan. Dalam perjanjian Nyi Roro Kidul bersedia untuk melindungi kerajaan Mataram dari musuh.

Mereka yang mengikuti Kirab dianggap sebagai rakyat Mataram, maka akan terlindungi dari segala mara bahaya dan kesialan malam satu Suro. Ini berbeda dengan mereka yang hanya keluar tanpa tujuan jelas.

Apa Itu Malam Satu Suro?

Malam Satu Suro adalah istilah yang digunakan masyarakat Jawa untuk merujuk pada malam 1 Muharram, Tahun Baru Islam. Jatuhnya malam satu Suro bertepatan pada malam hari menjelang tanggal satu Muharram.

Tahun ini, Satu Muharram jatuh pada Rabu, 19 Juli 2023. Maka, Satu Suro akan diperingati pada Selasa malam, tepatnya pada Selasa, 18 Juli 2023.

Solikhin dalam buku berjudul Misteri Bulan Suro perspektif Islam Jawa menjelaskan bahwa Suro merupakan sebutan bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari Bahasa Arab Asyura, yang berarti sepuluh, yakni hari ke-10 bulan Muharram.

Yayu Wulandari dalam studinya berjudul Pesan Moral Tradisi Budaya Malam Satu Suro pada Etnis Suku Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana memaparkan bahwa peringatan Malam Satu Suro dimulai dari terbenamnya matahari pada terakhir bulan terakhir kalender Jawa (29/30 bulan besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya.

Malam satu Suro pertama kali diperingati pada saat ditetapkannya kalender Jawa-Islam pada 1633 M, bertepatan dengan 1554 Saka atau 1043 H oleh Sultan Agung.

Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia menjelaskan bahwa Sultan Agung meminta rakyatnya pada malam satu Suro sebagai permulaan tahun baru untuk prihatin, tidak berbuat sesuka hati dan tidak boleh berpesta.

Masyarakat harus menyepi, tapa, dan memohon kepada Tuhan. Prapto juga mengimbuhkan, untuk menghormati leluhur dan sebagai bentuk evaluasi, pada malam tersebut juga pusaka-pusaka dicuci, dibersihkan, seiring dengan kehidupan spiritual yang disucikan kembali.

Peringatan khidmat itu kemudian diyakini masyarakat Jawa sebagai momen istimewa dan sakral, sehingga terbentuklah sejumlah tradisi berupa mitos dan kepercayaan yang langgeng hingga hari ini.

Baca juga artikel terkait RELATIONSHIP atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari