tirto.id - Hukum wadh'i adalah salah satu jenis hukum syariat Islam menurut ulama ushul fikih, selain juga hukum taklifi. Sederhananya, hukum wadh'i merupakan hukum kondisional yang menyertai hukum taklifi.
Hukum taklifi sendiri berkaitan perkara haram, halal, sunah, makruh, dan mubah. Kelima hukum itu disertai dengan hukum kondisional. Misalnya, perkawinan menjadi sebab halalnya hubungan suami istri. Perkawinan yang menjadi sebab mubahnya hubungan suami istri termasuk bahasan dalam hukum wadh'i.
Sebelum akad nikah, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh berkhalwat (berduaan), apalagi berhubungan badan. Selepas perkawinan, hal-hal terlarang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadi halal dan boleh dilakukan.
Selanjutnya, hukum-hukum syariat ini, baik itu hukum wadh'i dan taklifi lazimnya ditujukan kepada mukalaf atau orang yang sudah layak dibebankan hukum Islam.
Orang mukalaf adalah sosok yang sudah balig (cukup umur), berakal sehat (tidak mabuk atau hilang kesadaran), dan tidak tidur (dalam kondisi sadar).
Hal itu tergambar dalam sabda Rasulullah SAW: “Pena [pencatat amal] diangkat dari tiga golongan, yaitu orang tidur sampai dia bangun, anak-anak sampai dia balig, dan dari orang yang gila sampai dia sadar [berakal],” (H.R. Ibnu Majah).
Macam-macam & Contoh Hukum Wadh'i
Secara umum, hukum wadh'i terdiri dari 6 macam, yaitu sebab, syarat, penghalang (mani'), azimah dan rukhsah, serta sah dan batal.
Berikut ini penjelasan mengenai macam-macam hukum wadh'i dan contohnya, sebagaimana dikutip dari Jurnal Hukum Keluarga Islam.
1. Sebab
Secara definitif, sebab dalam hukum wadh'i adalah tanda hingga lahirnya hukum Islam. Tanpa tanda (sebab) itu, seorang mukalaf tidak dibebani hukum syariat. Sebagai misal, tanda balig merupakan sebab bagi kewajiban hukum-hukum Islam. Anak kecil yang belum cukup umur (balig) tidak wajib salat, puasa, atau menjalankan ibadah fardu lainnya.
Contoh hukum wadh'i berkaitan dengan sebab lainnya adalah ketika seseorang menyaksikan hilal 1 Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa. Berdasarkan hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban puasa.
2. Syarat
Suatu ibadah atau perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat harus dipenuhi. Tanpa adanya syarat, perkara itu batal dan tak boleh dikerjakan.
Sebagai misal, saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan niat menjadi syarat sahnya puasa. Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal dan dianggap tidak sah.
Syarat adalah hukum wadh'i yang menjadi pengiring suatu ibadah atau sahnya hukum syariat Islam tersebut.
3. Penghalang (Mani')
Jenis hukum wadh'i lainnya adalah penghalang atau mani'. Kendati seseorang dibebankan perkara syariat, namun karena adanya penghalang, perkara itu menjadi batal.
Sebagai misal, seorang anak berhak memperoleh warisan, namun apabila ia murtad, warisan itu tidak boleh ia terima. Murtad adalah penghalang dari hak warisannya dalam ketentuan Islam.
5. Azimah dan Rukhsah
Secara umum, suatu perkara syariat ditinjau dari pengerjaannya terbagi dalam dua kondisi, yaitu azimah dan rukhsah.
Suatu ibadah dalam kondisi azimah maksudnya berada dalam hukum asli perkara tersebut. Hukum asal yang belum berubah.
Misalnya, hukum salat lima waktu adalah wajib bagi seluruh mukalaf. Saking wajibnya, orang sehat dan sakit pun tetap wajib salat. Jika tak bisa salat berdiri, bisa salat duduk, berbaring, hingga salat dengan isyarat saja.
Sebaliknya, kondisi rukhsah adalah keringanan sebagai pengecualian dari kondisi azimah. Sebagai misal, seseorang haram memakan bangkai atau daging babi. Namun, jika tidak ditemukan makanan lain sehingga seseorang terancam mati kelaparan, ia memperoleh rukhsah boleh memakan bangkai atau daging babi.
6. Sah dan Batal
Suatu perkara syariat dianggap sah apabila sesuai dengan perintah syariat dan mendatangkan pahala di akhirat. Apabila ibadah wajib sudah sah dilakukan, kewajibannya gugur dan mukalaf terbebas dari tanggung jawabnya.
Sementara itu, apabila perkara syariat dianggap batal, ibadah itu tidak mendatangkan pahala di akhirat.
Selain itu, apabila ibadah wajib dianggap batal, kewajibannya belum gugur dan mukalaf harus mengulang lagi ibadah tersebut hingga memperoleh status sah.
Editor: Addi M Idhom