Menuju konten utama

Aktivitas Ilegal Penyebab Kemiskinan Tinggi di Daerah Tambang

Anomali dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat harus segera dihentikan.

Aktivitas Ilegal Penyebab Kemiskinan Tinggi di Daerah Tambang
Foto udara areal pasca tambang nikel yang sebagian telah di reklamasi di Kecamatan Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/2/2024).ANTARA FOTO/Jojon/Spt.

tirto.id - Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Perencanaan Strategis, M Idris Sihite, mengungkapkan salah satu penyebab masih banyaknya masyarakat miskin di daerah kaya tambang adalah masih maraknya aktivitas tambang ilegal. Anomali dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat harus segera dihentikan.

Pengelolaan sumber daya alam sudah seharusnya dapat memberikan kesejahteraan dan memutar ekonomi wilayah sekitar bukan hanya mendapatkan dampak buruk semata akibat kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab.

Aktivitas yang menimbulkan anomali pengelolaan sumber daya alam (SDA) ini justru memberikan dampak buruk pada masyarakat di sekitar wilayah tambang. Padahal, seharusnya pengelolaan SDA dapat memberikan kesejahteraan dan memutar ekonomi masyarakat.

"Berdasarkan hasil diskusi Kementerian ESDM dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang menyimpulkan adanya anomali terhadap pengelolaan sumber daya alam di sejumlah wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam justru angka kemiskinannya cukup tinggi," ujar Sihite, dalam keterangan resminya, dikutip Tirto, Senin (22/7/2024).

Salah satu daerah kaya tambang dengan penduduk miskin besar adalah Sumatera Selatan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, Sumatera Selatan memiliki cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia, yakni mencapai 9,3 miliar ton, dengan produksi batubara 2023 sebanyak 104,68 juta ton.

Dari produksi ini, Sumatera Selatan mampu menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp9,898 triliun, dengan sumbangan iuran tetap sebesar Rp66,4 miliar dan royalti sebesar Rp9,832 triliun. Meski begitu, sampai sekarang jumlah penduduk miskin di Sumatera Selatan masih sebesar 984,24 ribu orang, atau sekitar 10,97 persen dari total penduduk daerah tersebut.

"Provinsi Sumsel merupakan salah satu lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI merupakan tindak pidana pertambangan subsektor minerba dengan delik khusus (lex spesialis) di luar KUHP yang memuat sanksi pidana dengan beb (Pasal 158 s/d Pasal 164 UU No 3 Th 2020)," beber Sihite.

Anak buah Menteri ESDM, Arifin Tasrif ini mengakui, penghentian anomali pengelolaan SDA masih menjadi PR besar bagi Indonesia. Untuk menyelesaikan masalah tambang ilegal pun membutuhkan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan akademisi.

"Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk mengatasi persoalan tersebut, apakah tata kelola sumber daya alam sudah sejalan dengan tujuan pasar 33 UUD 1945, yakni sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat," tutur Sihite.

Sementara itu, sampai saat ini Kementerian ESDM juga belum memiliki unit khusus yang membidangi penegakan hukum di sektor ESDM, seperti halnya yang dipunyai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Karenanya, untuk penanganan hukum, dia menekankan perlunya membangun sinergitas yang konstruktif dan berkelanjutan antara aparat penegak hukum (APH) Kejaksaan sebagai Penyidik, Penuntut umum, dengan aparatur Kementerian ESDM untuk mentransformasikan pengetahuan aspek teknis pertambangan dan prinsip-prinsip good governance.

Pada saat yang sama, Sihite juga meminta kepada para jaksa agar dapat melakukan reformulasi strategi pengungkapan perkara PETI berbasis scientific evidence dan catch the big fish. "Semua komoditas tambang punya indentitas seperti DNA, sehingga dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan scientific evidence, yang basisnya terukur di laboratorium. Bukti ilmiah merupakan bukti yang tidak terbantahkan untuk menghitung kerugian negara dari praktek pertambangan ilegal," jelasnya.

Guna melakukan penghitungan dampak kerugian negara, Sihite mengatakan Kementerian ESDM memiliki kemampuan mengungkap data baku, terukur, dan komprehensif untuk membuktikan secara riil kerugian negara ditimbulkan bukan sekedar perkiraan. Dengan ini, kejaksaan dapat mengubah cara pengungkapan perkara, dengan membalik pengungkapan perkara dari hilir dan memutus supply chain dari end user sampai dengan illegal refinery.

Pengungkapan berbasis AML (anti money laundering) dan follow the money dengan mengintegrasikan fungsi dan kewenangan 'pihak-pihak terkait.

"Opsi tindakan hukum lainnya bersifat Non Pidana secara komulatif maupun terpisah, untuk memulihkan kerugian negara dan 'memaksa' para pelaku mematuhinya (terutama untuk kasus reklamasi tambang)," pungkas Sihite.

Baca juga artikel terkait TAMBANG atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang