Menuju konten utama

Waspada Ilusi Pertumbuhan Tinggi Sektor Pertanian

Di tengah capaian bersejah sektor pertanian, berbagai tantangan kronis yang masih perlu jadi perhatian.

Waspada Ilusi Pertumbuhan Tinggi Sektor Pertanian
Petani merontokan padi saat panen raya di Kecamatan Lumbung, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Minggu (27/4/2025). Perum Bulog Wilayah Jawa Barat mencatat realisasi serapan gabah dan beras dari petani hingga Maret 2025 telah mencapai 103 persen atau 128.513 ton dari target yang ditetapkan sebanyak 124.027 ton. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nym.

tirto.id - Sektor pertanian Indonesia mencatatkan capaian bersejarah di tengah kecemasan global atas krisis pangan dan disrupsi rantai pasok. Pada kuartal pertama 2025, lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatat lonjakan pertumbuhan hingga 10,52 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Angka ini bukan hanya tertinggi di antara sektor lainnya, tapi juga menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Padahal, pada kuartal IV 2024, sektor ini hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,71 persen, bahkan mengalami kontraksi 3,54 persen di tiga bulan pertama tahun lalu.

Dengan pertumbuhan tinggi itu, Kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pun turut melambung dari sebelumnya 11,61 persen pada kuartal pertama 2024 menjadi 13,22 persen di Januari-Maret tahun ini.

“Dalam waktu kurun 2010-2025, baru kali ini pertanian bisa tumbuh double digit di kuartal pertama,” tutur Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers, di Kantor BPS, Senin (5/5/2025).

Secara terperinci, pertumbuhan tersebut didorong oleh laju subsektor tanaman pangan sebesar 42,62 persen—berkat panen raya komoditas padi dan jagung. Sebagai gambaran, produksi padi pada kuartal I 2025 meroket 51,45 persen, sementara jagung mengalami lompatan produksi hingga 39,02 persen.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, pemerintah berhasil memanfaatkan momentum panen raya dengan optimal. Ini terlihat dari masifnya penyerapan beras petani oleh Bulog yang mendorong kenaikan signifikan pada cadangan beras pemerintah. Presiden Prabowo Subianto sampai menginstruksikan tambahan gudang penyimpanan darurat untuk menyimpan stok dari para petani lokal.

“Tingginya angka serapan bahkan melampaui rata-rata tahunan Bulog dalam 57 tahun terakhir, hingga mendorong kebutuhan akan tambahan gudang berkapasitas 1,1 juta ton,” tutur Amran di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Senin (5/5/2025).

“Saat negara lain menghadapi krisis pangan, Indonesia justru surplus beras tanpa impor. Ini bukti komitmen pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan nasional, meningkatkan kesejahteraan petani, dan membangun fondasi pertanian yang berkelanjutan,” sambungnya.

Selain menjadi memberi dorongan pertumbuhan ekonomi, sektor pertanian juga cukup signifikan dalam menampung tenaga kerja. Menurut BPS, sektor ini menyerap 28,54 persen dari total tenaga kerja nasional yang mencapai 145,77 juta orang.

Secara tahunan, hingga Februari 2025, lapangan usaha pertanian mencatat peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 890 ribu orang. Dari total tersebut, sekitar 850 ribu di antaranya berasal dari periode Agustus 2024 hingga Februari 2025.

Pun demikian, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, punya pandangan skeptis. Sebab, menurutnya, belum tentu capaian spektakuler tersebut mencerminkan kekuatan struktural baru dari sektor pertanian. Bahkan, bisa jadi kondisi saat ini justru membawa sinyal kerapuhan fondasi pertumbuhan di sektor-sektor lain.

“Secara metodologis harus dilihat sebagai cerminan siklus musiman dan perbandingan basis yang rendah pada periode sebelumnya. Subsektor tanaman pangan, khususnya padi dan jagung mengalami lonjakan produksi karena panen raya yang lebih merata secara spasial dan temporal, ditambah anomali cuaca yang menguntungkan,” jelas Achmad, dalam keterangannya, dikutip Rabu (7/5/2025).

Pemerintah memang tengah menjalankan berbagai kebijakan penguatan pertanian seperti cetak sawah baru, optimalisasi lahan, penyaluran pupuk bersubsidi secara digital, hingga pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan). Namun efektivitas kebijakan ini belum bisa dirasakan secara signifikan pada awal tahun.

Efek jangka panjang dari intervensi ini setidaknya baru dapat dirasakan dan bisa dievaluasi dalam satu tahun ke depan. Dus, narasi yang menyatakan bahwa pertumbuhan pertanian saat ini adalah hasil langsung dari keberhasilan kebijakan pemerintah perlu dilihat dengan cermat dan hati-hati.

“Kenaikan ini lebih menyerupai efek alamiah siklus panen yang diperbesar oleh pelemahan kinerja sektor lain,” imbuhnya.

Struktur Ekonomi Rapuh

Secara khusus, Achmad menaruh perhatian pada fundamental pertanian nasional yang masih menghadapi berbagai tantangan kronis: mulai dari degradasi tanah, perubahan iklim, penyusutan lahan pertanian, alih fungsi lahan yang masif, serta ketimpangan akses petani terhadap teknologi dan pembiayaan.

Selain itu, sektor pertanian juga masih sangat bergantung pada faktor cuaca dan belum berbasis pada inovasi teknologi. Alhasil, sektor pertanian masih sangat rentan terhadap guncangan jangka pendek.

Dengan kondisi tersebut, upaya mencapai swasembada pangan—yang diharapkan Presiden Prabowo Subianto tercapai pada 2027—tak bisa hanya bersandar pada peningkatan volume produksi dalam jangka pendek.

Pemerintah perlu memastikan ketersediaan pangan dalam jangka panjang secara berkelanjutan dengan melakukan reformasi menyeluruh di sisi hulu hingga hilir, termasuk restrukturisasi sistem distribusi dan logistik pangan nasional yang selama ini menyumbang inefisiensi besar dalam harga dan ketersediaan.

“Oleh karena itu, pertumbuhan fantastis sektor pertanian pada Q1-2025 lebih tepat dibaca sebagai anomali musiman yang belum menyentuh persoalan struktural,” tuturnya.

Achmad justru khawatir jika lonjakan pertumbuhan sektor pertanian menjadi pertanda akan terjadinya krisis ekonomi. Sebab, pola serupa seperti sekarang pernah terjadi saat krisis moneter 1998, ketika sektor pertanian menjadi penopang perekonomian sementara sektor industri dan keuangan mengalami kehancuran.

“Perlu diingat bahwa ini bukan karena pertanian tumbuh lebih kuat dari sebelumnya, melainkan karena sektor lain melemah secara signifikan. Fenomena ini menjadi indikasi bahwa ekonomi nasional sedang mengalami tekanan struktural yang cukup serius. Bila tidak ditangani dengan langkah-langkah strategis, kita bisa saja menghadapi krisis baru yang polanya menyerupai krisis 1998,” jelas Achmad, sembari menambahkan bahwa pertanian menjadi buffer yang relatif stabil di tengah krisis karena sifatnya yang padat karya, berbasis lokal, dan tak tergantung pada modal besar.

Lantaran itulah, pemerintah perlu lebih giat dalam mendorong sektor-sektor produktif lain sembari tetap menjaga kinerja sektor pertanian. Perlambatan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025, menurutnya, menjadi momentum tepat untuk melakukan evaluasi agar ke depan PDB nasional ditopang oleh pondasi yang lebih beragam, produktif, dan berkelanjutan.

“Tanpa itu, kita hanya akan terus mengulang siklus stagnasi dan kejutan musiman, tanpa pernah benar-benar keluar dari jebakan pertumbuhan rendah yang tak berkualitas,” tegas Achmad.

Faktor Musimam

Pada kesempatan terpisah, Pakar Pertanian dari dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menjelaskan bahwa naiknya kinerja sektor pertanian pada tiga bulan pertama 2025 disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, karena ada peningkatan produksi beras dan jagung yang didorong oleh kian luasnya produktivitas tanam. Sebaliknya, seiring dengan cuaca yang tidak pasti, pada kuartal I 2024 produksi beras dan jagung mengalami penurunan drastis karena luas panen rendah, disebabkan oleh luas tanam rendah pula.

“Luas tanam rendah karena 3-4 bulan, September-Desember 2023, sebelum Januari-Maret 2024 iklim atau cuaca tidak normal karena ada El Nino. Jadi, pertumbuhan triwulan I 2025 tinggi salah satunya disumbang oleh iklim/cuaca yang normal,” jelasnya, Rabu (7/5/2025).

Karena fenomena El Nino itu lah kemudian Kementerian Pertanian berusaha menggenjot produksi padi dan jagung melalui program pompanisasi. Dengan kondisi ini, tak bisa dipungkiri jika tumbuhnya sektor pertanian nasional masih sangat tergantung pada kondisi iklim atau cuaca. Hal ini jelas terlihat pada masa tanam dan panen yang sangat mudah maju atau mundur.

Tahun ini, misalnya, puncak panen padi yang biasa terjadi pada April bergeser menjadi Maret dan April, sedangkan jagung mundur dari Februari ke Maret. “Untuk padi, produksi diperkirakan mulai melandai di Mei, sedangkan di jagung mulai melandai sejak April. Jadi, karena pergeseran puncak panen bisa dipahami jika pertumbuhan triwulan I 2025 begitu tinggi,” terang Khudori.

Selain itu, karena produksi rendah yang terjadi di awal 2024, wajar jika di periode yang sama di tahun berikutnya bakal terjadi pertumbuhan tinggi atau rebound. Apalagi, sejak tahun lalu, Kementerian Pertanian memfokuskan anggaran dan sumber daya manusia untuk menggenjot produksi padi dan jagung. Ada pula berbagai penyederhanaan mekanisme penyaluran subsidi pupuk, selain mempertahankan besaran subsidi tetap di volume 9,5 juta ton pupuk.

“Ketika terjadi El Nino, tanam bisa bergeser ke belakang sehingga panen pun bergeser dari pola umumnya. Ketika terjadi La Nina, wilayah-wilayah yang semula tidak ditanami bisa ditanami karena tersedia air. Agar ketergantungan pada iklim/cuaca ini berkurang perlu ada terobosan inovasi dan teknologi yang memungkinkan faktor iklim/cuaca bisa dimodifikasi atau dikendalikan,” tandas Khudori.

Baca juga artikel terkait PERTANIAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana