Menuju konten utama

10 Tradisi Menyambut Puasa Ramadhan: Nyadran hingga Munggahan

Daftar 10 tradisi menyambut puasa Ramadhan: nyadran (Jawa), munggahan (Sunda), nyorog (Betawi), hingga ruwahan.

10 Tradisi Menyambut Puasa Ramadhan: Nyadran hingga Munggahan
Sejumlah warga berdoa bersama saat tradisi Punggahan di Tempelsari, Candiroto, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (25/5). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

tirto.id - Tradisi menyambut puasa Ramadhan di Indonesia di berbagai daerah memiliki keunikan sendiri-sendiri. Misalnya, nyadran di kalangan masyarakat Jawa, nyorong di Betawi, munggahan di kalangan Sunda, atau balimau kasai di Riau.

Tradisi menyambut Ramadhan di Indonesia memiliki kesamaan visi, yaitu pengharapan atas bulan puasa yang penuh berkah.

Tradisi menyambut bulan puasa di Jawa tidak terlepas dari percampuran Islam dengan budaya setempat. Masyarakat Jawa mengedepankan keseimbangan, keselarasan, dan keseimbangan. Semua unsur, entah itu hidup dan mati, alam dengan makhluk hidup, mesti harmonis.

Daftar Tradisi Menyambut Ramadhan di Indonesia

Berikut ini daftar tradisi unik menjelang Ramadan di berbagai daerah Indonesia yang menunjukkan bagaimana Islam diserap oleh budaya setempat dengan cara unik dan berbeda-beda.

Tradisi Nyorog - Betawi

Masyarakat Betawi memiliki tradisi nyorog yang pada dasarnya merupakan tradisi berbagi bingkisan makanan ke sanak saudara dan keluarga yang tinggalnya berjauhan. Melansir laman Dinas Kebudayaan (Disbud) Jakarta, tradisi ini diyakini telah ada sejak 1800-an.

Makanan yang dibagikan dalam nyorog ini di antaranya kue-kue, atau bahan makanan mentah, seperti gula, susu, kopi, sirup, beras, ikan bandeng, hingga daging kerbau. Tak jarang, juga berupa makanan tradisional Betawi yang dimasukkan ke dalam rantang, seperti saja sayur gabus pucung.

Tradisi nyorog merupakan adaptasi dari tradisi kuno yang mulanya merupakan ritus upacara adat sekaligus refleksi interaksi manusia, lingkungan, dan kepercayaan kepada sang pencipta. Masyarakat Pulau Jawa memiliki kebiasaan memberikan sesajen kepada Dewi Sri, yang menjadi simbol kemakmuran.

Nyorog dijadikan tradisi untuk membagikan makanan sebagai simbol penghormatan dan silaturahmi sesama manusia, terutama kepada orang yang lebih tua atau para sesepuh kampung yang dihormati.

Pada mulanya, masyarakat Betawi memiliki tempat tinggal berjauhan, lantaran jarak satu rumah dengan lainnya dibatasi oleh kebun maupun hutan. Oleh karenanya, nyorog menjadi salah satu penghubung tersebut.

Nyorog tak hanya dilakukan saat jelang Ramadan. Tradisi ini juga bisa dilakukan saat Idulfitri atau Lebaran, hingga pernikahan.

Nyadran - Jawa

Nyadran adalah kegiatan berziarah kubur yang biasanya dilaksanakan pada bulan Syakban dalam kalender Hijriah, atau bulan Ruwah dalam kalender penanggalan Jawa. Melansir laman Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemdikbud), tradisi Nyadran berasal dari Demak.

Sebelum Ramadan, masyarakat akan membersihkan makam leluhur atau tokoh yang berjasa dalam syiar agama Islam. Tradisi ziarah pada Nyadran dlakukan dengan membersihkan makam, menyampaikan doa permohonan ampun, hingga tabur bunga. Selain itu, juga terdapat kenduri dalam nyadran.

Kegiatan nyadran berbeda dengan ziarah umumnya. Sebab, nyadran dilakukan secara bersama-sama. Waktu melaksanakan nyadran ditentukan oleh tokoh setempat, atau biasanya oleh juru makam.

Tradisi Meugang - Aceh

Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah punya tradisi meugang atau oleh masyarakat setempat juga dikenal sebagai makmeugang, haghi mamagang, uroe meugang, atau uroe keuneukoh.

Pelaksanaan meugang oleh masyarakat Aceh ialah menghidangkan daging sapi. Sebagai daerah pesisir, masyarakat Tanah Rencong sudah terbiasa memasak hidangan laut atau sungai.

Daging sapi dianggap jadi hidangan yang lebih istimewa. Selain sapi, masyarakat terkadang juga menambah menu masakannya dengan daging kambing, ayam, juga bebek.

Menukil situs web Pemkot Aceh, meugang biasanya dilaksanakan selama 3 kali dalam setahun yaitu 2 hari sebelum datangnya bulan Ramadan, 2 hari menjelang hari raya Idulfitri, dan dua hari menjelang Iduladha.

Hadirnya meugang tak lepas dari sejarah penyebaran Islam di Aceh abad ke-14 silam. Mulanya, tradisi ini dilakukan oleh kerajaan yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta ulama. Raja memerintahkan balai fakir untuk membagikan daging, beras, hingga pakaian kepada kaum fakir, miskin, dan dhuafa.

Pada masa itu, segala biaya meugang ditangani oleh bendahara Silatu Rahim, alias badan yang menangani urusan negara dan rakyat dalam kerajaan Aceh Darussalam.

Balimau Kasai - Riau

Balimau kasai adalah tradisi mandi menggunakan air yang dicampur dengan limau atau jeruk. Ini memiliki makna yang mendalam yakni bersuci sehari sebelum Ramadan. Balimau kasai biasanya dilakukan petang hari jelang bulan Puasa.

Masyarakat setempat biasanya menggunakan berbagai limau, seperti limau purut, limau nipis, atau limau kapas. Kaum muda hingga tua turut serta melaksanakan balimau kasai yang biasanya dilakukan dengan turun ke sungai bersama-sama.

Di Riau, tradisi ini dikenal dengan berbagai istilah. Balimau kasai lebih dikenal oleh masyarakat Kampar. Sementara itu, Pekanbaru, menamakan tradisi ini dengan petang megang. Masyarakat Indragiri Hulu menyebutnya balimau.

Menurut situs web Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga (Dispora) Pesisir Selatan, tradisi balimau kasai dipercaya diadaptasi dari tradisi umat Hindu di India. Tradisi balimau kasai juga dianggap mirip dengan makara sankranti, yaitu saat umat Hindu mandi di Sungai Gangga untuk memuja Dewa Surya pada pertengahan Januari.

Malamang - Sumatera Barat

Tradisi malamang ialah memasak lamang (lemang) dengan menggunakan media bambu yang dibakar di atas bara api. Malamang merupakan tradisi asal masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat (Sumbar), khususnya di Padang Pariaman.

Menukil sumber Kemdikbud, masyarakat setempat meyakini tradisi malamang berasal dari Syekh Burhanuddin yang menyebarkan agama Islam di sana. Mulanya, malamang adalah metode dakwah, terutama untuk membedakan makanan halal dan haram.

Syekh Burhanuddin memperkenalkan cara memasak halal, tanpa campuran makanan haram. Pada masa itu, meski Islam sudah berkembang, masyarakat kerap memasak gulai babi, rendang tikus, hingga ular goreng lantaran ketidaktahuan.

Secara filosofis, tradisi malamang juga menggambarkan nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan.

Tradisi malamang tidak hanya dilakukan jelang Ramadan. Tradisi ini kerap dilakukan saat Lebaran, Maulid Nabi, baralek, atau pesta pernikahan, hingga peringatan kematian.

Dugderan - Semarang

Dugderan adalah pawai budaya yang dilakukan masyarakat Semarang jelang bulan Ramadan. Di dalam kegiatan budaya tersebut, terdapat tari-tarian, hingga tabuhan bedug.

Dugderan memiliki maskot yang dinamai Warak Ngendog, binatang rekaan bertubuh kambing, berkepala naga, dan bersisik yang terbuat dari kertas warna-warni. Binatang ini juga dilengkapi dengan telur rebus.

Melansir situs web Gayamsari Pemkot Semarang, dugderan telah muncul sejak 1881. Hadirnya dugderan bermula dari masyarakat setempat kerap berbeda pandangan soal penentuan hari pertama puasa.

Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat kemudian menyeragamkan hari pertama puasa, yaitu setelah bedug Masjid Agung. Meriam bambu di halaman kabupaten dibunyikan masing-masing sebanyak 3 kali.

Dandangan - Kudus

Tak jauh beda di Semarang, masyarakat Kudus mengenal karnaval budaya dengan nama dandangan. Puncak acara dandangan adalah memukul bedug Masjid Menara Kudus untuk menandai hari pertama puasa.

Melansir laman Kemdikbud, tradisi dandangan sudah ada sejak abad ke-16. Dulunya, tradisi ini dilakukan langsung oleh Sunan Kudus, yang juga merupakan ahli ilmu falak yang bisa mengetahui hitungan hari dan bulan dalam kalender hijriah.

Munggahan - Jawa Barat

Munggahan ialah tradisi yang dilakukan pada bulan Syakban atau beberapa hari jelang Ramadan. Munggahan biasanya dilaksanakan dengan botram atau makan bersama, saling meminta maaf, bersilaturahmi ke rumah kerabat, dan membersihkan tempat ibadah atau makam keluarga.

Munggahan sebagai makan bersama tidak berdiri sendiri. Prehatinia, Isana (2022) menyebutkan bahwa tradisi ini juga bisa ditandai dengan ziarah kubur terlebih dahulu, diikuti dengan melakukan penyucian diri, mendatangi pemandian. Inti acara munggahan adalah makan bersama.

Ruwahan - Pura Mangkunegaran Solo

Tidak saja oleh masyarakat biasa, tradisi jelang Ramadan juga masih dilestarikan sejumlah lembaga adat. Salah satunya Pura Mangkunegaran, salah satu pecahan Mataram Islam yang masih eksis di Kota Solo.

Pura Mangkunegaran punya tradisi Ruwahan yang biasanya digelar malam hari setelah tanggal 10 bulan Ruwah, tepatnya pada malam Jumat. Tradisi ini ditandai dengan ziarah makam raja Jawa, seperti Astana Mangadeg, Astana Girilayu, Astana Nayu Utara, Astana Kotagedhe, hingga Astana Imagiri, dan beberapa tempat penting lainnya.

Di Pura Mangkunegaran atau di istana, juga digelar acara doa kepada leluhur yang dipimpin langsung oleh Mangkunegara selaku pimpinan Praja Mangkunegaran. Pura setempat kemudian menghadirkan ubarampe berupa hasil bumi. Di Keraton Yogyakarta, tradisi serupa juga dilakukan dengan istilah Kuthomoro.

Ziarah Kubro - Palembang

Ziarah kubro oleh masyarakat Palembang merupakan salah satu penghormatan bagi para ulama dan pejuang yang dilakukan jelang Ramadan. Masyarakat akan berbondong-bondong dalam tradisi tahunan tersebut.

Beberapa makam ulama yang dikunjungi di antaranya seperti Al Habib Ahmad bin Syech Shahab hingga Habib Aqil bin Yahya. Tradisi ini tidak saja diikuti oleh umat Islam setempat, tetapi juga dari mancanegara seperti Malaysia, Arab Saudi, Thailand, Palestina, hingga Brunei Darussalam.

Tak jarang dalam pelaksanaannya, panitia ziarah kubro di Palembang menyediakan makanan dalam jumlah besar. Ratusan ekor kambing dihidangkan untuk sajian pengunjung. Masyarakat setempat juga kerap berbagi secara sukarela.

Baca juga artikel terkait EDUSAINS atau tulisan lainnya dari Dicky Setyawan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Dicky Setyawan
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Fitra Firdaus