tirto.id - Ketika ulama mendakwahkan Islam pertama kali ke Nusantara, terdapat perbenturan antara ajaran Islam dengan adat istiadat masyarakat setempat.
Para dai Islam tidak serta merta memusnahkan tradisi lokal sepenuhnya, melainkan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Hasilnya adalah konsep Islam yang bercorak khas Nusantara.
Warisan dakwah Islam di Nusantara adalah salah satu penyebaran Islam yang unik karena tidak melalui militer dan konflik kekerasan terhadap penganut agama setempat.
Islam tumbuh di Nusantara dengan karakter budayanya masing-masing. Akulturasi antara ajaran Islam dan adat istiadat lokal inilah yang diterjemahkan oleh Wali Songo untuk perkawinan prinsip Islam dengan tradisi setempat.
Artinya, konsep tradisi lokal yang sudah ada diisi dengan ajaran Islam, sementara itu ritual-ritual yang bertentangan dengan Islam, seperti minum-minuman keras, berjudi, memohon kepada berhala, dan sebagainya dibuang dan diganti dengan ajaran Islam.
Hal ini bukan tanpa dasar, melainkan bentuk teladan dakwah Nabi Muhammad SAW di tanah Arab, sebagaimana dilansir NU Online.
Ketika Rasulullah SAW menyerukan Islam, beliau tidak serta merta melarang dan memusnahkan tradisi Arab, melainkan menyesuaikannya agar sejalan dengan semangat Islam.
Karena itulah, Rasulullah SAW menyatakan bahwa hal-hal yang bersifat duniawi hendaknya ditakar sesuai kapasitas dan keahlian beliau, jangan diterima mentah-mentah begitu saja.
Hal yang wajib diikuti dari Nabi Muhammad SAW adalah perkara agama, sementara itu untuk urusan duniawi diserahkan kepada timbangan baik-buruk sesuai kebutuhan umatnya.
Hal ini tergambar dalam sabda Rasulullah:
“Saya ini manusia. Jika aku perintahkan kalian dalam urusan agama, maka patuhilah! Namun, jika aku memerintahkan sesuatu berdasarkan pendapatku, maka aku ini manusia biasa,” (H.R. Muslim).
Sementara itu, di hadis lain, Baginda SAW berujar:
"Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian,” (H.R. Muslim).
Tradisi Islam yang lestari di Nusantara adalah ekspresi budaya, perkara sosial duniawi masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, akulturasi antara Islam dan adat istiadat Nusantara ini amat kaya, mulai dari seni arsitektur, karya sastra, tembang, upacara adat, dan lain sebagainya.
Berikut ini sejumlah tradisi keislaman yang patut dilestarikan sebagaimana dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (2014) yang ditulis oleh Muhammad Ahsan dan Sumiyati.
1. Halalbihalal
Tradisi halalbihalal identik dengan Lebaran atau Hari Raya Idulfitri. Ia dilakukan dalam bentuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan dan bersilaturahmi satu sama lain.
Tradisi ini diselenggarakan di mana-mana, mulai dari tingkat RT/RW, sesama kolega kerja di kantor, hingga istana kenegaraan. Bahkan, acara halal bihalal sudah menjadi tradisi Islam nasional di Indonesia.
Dari sejarahnya, pada tahun 1948, diceritakan bahwa Presiden Sukarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara dan dimintai pendapatnya untuk mengatasi kerenggangan para pejabat politik pada masa itu.
KH Wahab Chasbullah adalah seorang kiai NU terpandang yang punya banyak akal untuk mengatasi masalah tersebut.
Menjawab pertanyaan Bung Karno, beliau mengusulkan untuk diadakan acara silaturahmi. Kebetulan saat itu menjelang Hari Raya Idulfitri 1367 H, maka KH Wahab Chasbullah mengusulkan agar diselenggarakan acara halalbihalal.
"Para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu 'kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa [haram], maka harus dihalalkan," kata Kiai Wahab.
"Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halalbihalal," lanjutnya.
Berkat usulan KH Wahab Chasbullah, acara halalbihalal kian populer dan terus diselenggarakan hingga sekarang.
2. Kupatan atau Bakdo Kupat
Umumnya, ketupat dikenal sebagai maskot makanan khas Lebaran. Kemudian, tradisi kupatan (yang dilakukan dengan memakan ketupat) biasanya dilakukan seminggu setelah Hari Raya Idulfitri.
Perayaan ini diselenggarakan dengan berkumpul di suatu tempat seperti mushala atau masjid untuk menghelat selamatan yang hidangannya didominasi oleh ketupat.
Ketupat ini berupa makanan yang terbuat dari beras, serta dibungkus dengan anyaman janur kuning.
Dari sisi bahasa, asal kata ketupat adalah ngaku lepat atau mengakui kesalahan yang menjadi simbol saling bermaaf-maafan di masa Lebaran.
3. Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta
Pada momen Maulid Nabi Muhammad di Yogyakarta, lazimnya diselenggarakan tradisi Sekaten setiap tahunnya di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta.
Dari sejarahnya, tradisi ini digagas oleh Sunan Bonang untuk mengumpulkan masyarakat setempat guna menyampaikan dakwah Islam.
Sunan Bonang memukul gamelan untuk menarik perhatian masyarakat. Ketika masyarakat sudah berkumpul untuk melihat pertunjukan gamelan itu, di sela-sela pukulan gamelan akan diselingi dengan membaca syahadatain (dua kalimat syahadat) bersama-sama.
Karena itulah, tradisi itu dinamakan Sekaten yang asalnya adalah syahadatain.
Dari momen itu, Sekaten diselenggarakan untuk melestarikan tradisi yang digagas oleh salah seorang Wali Songo.
Tujuannya adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, mengingat keteladanan Rasulullah, dan memperoleh berkah dari pembelajaran sirah nabawiyah (perjalanan hidup Nabi Muhammad).
Selain itu, dalam tradisi Sekaten juga disuguhkan gamelan pusaka peninggalan Majapahit yang telah dibawa ke Demak.
Saat ini, perayaan Sekaten dilakukan dengan pameran tradisi kerakyatan, pasar malam, hiburan, dan lain sebagainya.
4. Tradisi Rabu Kasan
Sesuai dengan namanya, Rabu Kara Pungkasan (terakhir) atau Rabu Kasan, acara ini diselenggarakan pada Rabu terakhir bulan Safar di Kabupaten Bangka, Bogor, Gresik, dan daerah-daerah lainnya untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari bala, musibah, ataupun bencana.
Tradisi ini diselenggarakan dengan menyantap bersama ketupat tolak bala, air wafak, dan makanan lainnya. Setiap keluarga biasanya membawa makanan masing-masing di lokasi upacara tersebut.
Acara Rabu Kasan dimulai dengan seseorang berdiri di depan pintu masjid. Ia menghadap keluar, lalu mengumandangkan azan.
Kemudian, bersama-sama dengan masyarakat, ia memimpin doa, melepaskan anyaman ketupat, dan satu per satu jemaah menyebut nama keluarganya masing-masing untuk didoakan.
Tradisi Rabu Kasan ini dilanjutkan dengan acara makan bersama, yang kemudian mengambil air wafak yang telah disediakan oleh semua anggota keluarga.
Usai tersebut, setiap keluarga melakukan silaturahmi ke tetangga dan pulang ke rumah masing-masing.
5. Dugderan di Semarang
Untuk menyambut datangnya Ramadan, masyarakat Semarang memberangkatkan peserta karnaval dari Balaikota Semarang. Kemudian, rombongan pawai tersebut akan melaksanakan salat Asar di masjid setempat.
Setelah itu, pemuka agama dan masyarakat Semarang akan menyelenggarakan musyawarah dalam rangka menentukan awal Ramadan, baik itu dengan rukyatulhilal ataupun dengan metode hisab.
Kemudian, hasil musayawarah penentuan Ramadan itu diumumkan kepada khalayak. Ketika pada hari itu diketahui bahwa esoknya jatuh tanggal 1 Ramadan, maka dilakukan pemukulan bedug sebagai tanda dimulainya puasa.
Hasil musyawarah itu kemudian diserahkan kepada Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu, Bupati Semarang dan Gubernur Jawa Tengah akan memukul bedug bersama-sama, yang diakhiri dengan doa menyambut Ramadan.
6. Budaya Tumpeng
Saat mengadakan kenduri, selametan, maulid Nabi Muhammad, atau perayaan peristiwa besar Islam, masyarakat Indonesia bagian tertentu akan menyajikan nasi tumpeng, santapan nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut.
Lumrahnya, nasi tumpeng berupa nasi kuning atau nasi uduk, serta disajikan di tampah dan dialasi dengan daun pisang.
Pada awalnya, budaya tumpeng ini berasal dari Jawa atau masyarakat Betawi. Namun, kini budaya tumpeng ini sudah menyebar ke banyak daerah di Indonesia.
Tradisi tak tertulis dari penyajian tumpeng ini adalah dengan menghidangkannya pertama kali pada orang yang dituakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada mereka.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno