tirto.id - Setiap kali Grebeg Maulud digelar, ribuan orang tumpah-ruah di halaman Masjid Besar Yogyakarta. Mereka rela berdesakan-desakan di bawah terik sinar matahari yang sedang panas-panasnya hanya untuk memperebutkan Gunungan yang bakal dibagi-bagikan. Sebagian masyarakat Muslim di Jawa memang percaya bahwa grebeg bisa menjadi sarana ngalap berkah.
Setidaknya ada enam Gunungan dari hasil bumi yang dihadirkan dalam perayaan Grebeg Maulud. Empat di antaranya diarak dari Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ke Masjid Besar Kauman, sedangkan dua Gunungan lainnya masing-masing dibawa ke dua lokasi lain, yakni Kepatihan (Kantor Gubernur DIY) dan Istana Pakualaman.
Grebeg Maulud digelar untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. atau Maulid Nabi. Tradisi ini bahkan telah terbukti menjadi salah satu cara jitu Wali Sanga dalam rangka syiar Islam di tanah Jawa sejak abad ke-15 Masehi, berkat gagasan Sunan Kalijaga.
Makna Grebeg dan Sekaten
Istilah grebeg atau garebeg berasal dari kata gumrebeg, artinya “riuh” atau “ramai”, yang kemudian maknanya diperluas menjadi “keramaian” atau “perayaan”. Maka, setiap pelaksanaan tradisi grebeg disertai dengan arak-arakan oleh barisan prajurit kraton yang diiringi dengan bunyi-bunyian gamelan.
Grebeg Maulud terangkai dengan Sekaten. Wahyana Giri dalam buku Sajen dan Ritual Orang Jawa menuliskan, pemimpin Kesultanan Mataram Islam paling masyhur Sultan Agung (1613-1645) mengundang rakyat untuk berkumpul di alun-alun kraton (hlm. 73). Sekaten masih lestari sampai saat ini sebagai wahana hiburan rakyat.
Pemaknaan Sekaten sendiri ada beberapa pendapat. Dijelaskan dalam buku Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta (1991) yang ditulis oleh Supanto, misalnya, Sekaten berasal dari istilah Sakati, yakni nama dua perangkat gamelan kraton (hlm. 37).
Dalam konteks dakwah Islam, sebut Jawahir Thontowi melalui buku Apa Istimewanya Yogya? (2007), Sekaten berasal dari kata syahadatain yang dipraktikkan Wali Sanga sebagai asal-usul proses pengislaman di tanah Jawa (hlm. 19). Wali Sanga adalah majelis keagamaan di Kesultanan Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa yang muncul menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit dan eksis pada perjalanan abad ke-15 (1475-1554).
Demikian pula yang diungkapkan oleh Yuwono Sri Suwito dan kawan-kawan dalam buku Nilai Budaya dan Filosofi Upacara Sekaten di Yogyakarta (2010). Sekaten dimulai pada masa Kesultanan Demak sebagai upaya para Wali untuk mendakwahkan Islam di Jawa dengan memanfaatkan tradisi yang sudah ada (hlm. 96).
Sekaten yang merupakan bagian dari perayaan Grebeg Maulud adalah gagasan Sunan Kalijaga. Salah seorang ulama anggota Wali Sanga ini dengan jeli memaksimalkan tradisi sebagai sarana untuk mengajak masyarakat memeluk Islam. Kala itu, masyarakat Jawa masih banyak yang menganut agama Hindu, Buddha, atau kepercayaan lokal.
Cara Jitu Sunan Kalijaga
Semula, seperti dikutip dari buku Biografi & Legenda Wali Sanga dan Para Ulama Penerus Perjuangannya (1997) karya M.B. Rahimsyah, Grebeg Maulud yang diprakarsai Sunan Kalijaga dilaksanakan dengan mengadakan tabligh atau pengajian akbar oleh para wali di depan Masjid Demak (hlm. 165).
Peringatan Maulid Nabi itu sekaligus juga menjadi ajang musyawarah tahunan para wali. Namun, Sunan Kalijaga rupanya sadar bahwa konsep semacam ini tidak cukup mampu menarik minat masyarakat yang mayoritas masih menganut ajaran lama untuk datang ke masjid.
Maka, Sunan Kalijaga berinisiatif memasukkan unsur-unsur tradisi yang sudah sejak lama dikenal oleh orang Jawa. Achmad Chodjim dalam buku berjudul Sunan Kalijaga (2013) menuliskan, mulai digunakan gamelan dan tari-tarian yang berkembang di lingkungan kraton untuk meramaikan pelaksanaan Grebeg Maulud (hlm. 337).
Di halaman masjid, ditempatkan seperangkat gamelan yang ditabuh untuk memancing perhatian warga. Kompleks masjid pun dihias dengan berbagai pernak-pernik yang menyegarkan mata. Orang-orang jadi penasaran dan berbondong-bondong menuju masjid milik Kesultanan Demak tersebut.
Sebagaimana dinukil dari buku Mengungkap Perjalanan Sunan Kalijaga (2010) tulisan Jhony Hady Saputra, dalam acara tersebut para Wali tampil di depan podium secara bergantian. Mereka memberikan nasihat-nasihat dengan tutur kata yang menarik, sederhana, dan komunikatif sehingga membuat masyarakat merasa senang mendengarnya (hlm. 32).
Orang-orang yang pada awalnya masih malu-malu diajak masuk ke kompleks masjid. Namun, ada tata caranya. Sebelum masuk, mereka harus melewati gapura dan dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu diajari bersuci atau berwudhu. Dengan mengucapkan syahadat, maka orang itu sudah memeluk agama Islam.
Selain Grebeg Maulud, ada dua momen serupa yang digelar dalam setahun, yakni Grebeg Syawal untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri dan Grebeg Besar yang dilaksanakan ketika Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Acara-acara keramaian semacam ini ternyata amat digemari oleh masyarakat Jawa dan misi Islamisasi ala Wali Sanga pun membuahkan hasil yang signifikan.
Strategi dakwah seperti ini terus dikembangkan, bahkan setelah era Kesultanan Demak dan Wali Sanga berakhir, berlanjut ke masa Kesultanan Mataram Islam hingga lahirnya kerajaan-kerajaan penerus Dinasti Mataram di Surakarta dan Yogyakarta.
Perkembangan Tradisi Grebeg
Selama proses dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, perayaan grebeg, termasuk Grebeg Maulud, mengalami berbagai perkembangan seturut perjalanan zaman dan kebiasaan serta adat-istiadat Jawa di lingkungan kraton dengan segenap filosofi yang dikandungnya.
Kendati mayoritas memeluk agama Islam, namun masih banyak orang Jawa yang masih meyakini pengaruh kraton bagi kehidupan mereka. Sepeninggal Wali Sanga, sultan atau raja mengemban peran penting dalam segala urusan, tidak hanya soal pemerintahan, namun juga sebagai pemimpin agama.
Mark R. Woodward dalam Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (2004), menuliskan, sultan diyakini mencapai kesatuan dengan Tuhan, juga dengan rakyat (hlm. 311). Maka, pada setiap perayaan grebeg sejak era Mataram Islam, hadir tradisi Sekaten dan Gunungan yang menjadi ajang mediasi antara sultan sebagai pemimpin negara sekaligus wali Tuhan dengan rakyatnya.
Tradisi semacam ini beberapa kali menuai ketidaksetujuan. Tulisan Herman Beck bertajuk “Islamic Purity at Odds with Javanese Identity” yang terhimpun dalam buku Pluralism and Identity: Studies in Ritual Behaviour (1995) suntingan Jan. G. Platvoet dan Karel van der Toorn mencatat, Muhammadiyah pernah memprotes perayaan grebeg secara resmi (hlm. 262).
Muhammadiyah sendiri justru lahir di lingkungan sekitar Kraton Yogyakarta pada 1912 atas gagasan K.H. Ahmad Dahlan. Pada periode awal itu, menurut hasil riset Ahmad Najib Burhani yang dikutip Ariel Subhan dalam buku Lembaga Pendidikan di Indonesia (2012), Muhammadiyah pada periode awal tidak bersikap frontal terhadap beberapa elemen budaya Jawa, termasuk upacara grebeg dan Sekaten (hlm. 143). Grebeg Maulud, muncul dimaksudkan sebagai bagian dari syiar Islam.
Editor: Suhendra