tirto.id - Islam mengatur seluruh urusan dalam kehidupan kaum muslim, termasuk juga pada masalah ekonomi.
Ada cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan juga utang piutang yang semuanya termasuk dalam kegiatan perekonomian yang diatur dalam Islam.
Tujuannya tentu agar kehidupan masyarakat menjadi tertib dan baik, menjaga hubungan satu sama lain tetap rukun, dan menjaga ketertiban pasar dan perbankan tetap aman.
Semua diatur oleh Islam karena manusia dan sifat tamaknya mampu berbuat semaunya sendiri, serakah dan mementingkan diri sendiri, juga mengambil hak orang lain.
Jika sudah begitu, masyarakat akan tak tenang, gelisah dan resah dalam menjalankan perekonomiannya.
Hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia ini disebut mu’amalah. Dalam bermu’amalah, Islam mengatur agar tatanan kehidupan berjalan dengan baik dan saling menguntungkan.
Pengertian Mu’amalah
Mengutip buku Pendidikan Agama Islam kelas XI, mu’amalah artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dan sebagainya).
Berbeda dengan pengertian dalam fikih, mu’amalah bermakna tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam, yaitu tidak boleh:
- Memakai cara yang batil
- Melakukan kegiatan riba
- Melakukan dengan cara zalim/aniaya
- Mengurangi takaran, timbangan, kualitas dan kehalalan
- Dengan cara judi atau spekulasi
- Transaksi jual beli barang haram.
Macam-macam mu’amalah
1. Jual beli
Melakukan jual beli secara halal dibenarkan, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
“... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah: 275).
Melakukan jual beli dengan cara utang pun dianjurkan untuk melakukan pencatatan serta ada saksi, agar tidak terjadi penyelewengan di kemudian hari. Hal itu ada dalam Q.S Al Baqarah ayat 282 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)...”.
A. Syarat Jual beli,
1. Pembeli dan penjual harus: balig, berakal sehat, atas kemauan sendiri
2. Uang dan barang harus:
- halal dan suci (arak, babi, berhala dilarang);
- bermanfaat. Jika membeli barang yang tak bermanfaat maka sama dengan mubazir. Mubazir adalah hal yang dilarang seperti dalam QS Surat Al-Isra’ ayat 27 yang artinya:
- barang bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang belum ada misalnya ikan yang ada di laut atau barang yang sudah jadi jaminan.
- kondisi barang diketahui penjual dan pembeli. Kekurangan barang diberitahukan.
- milik sendiri. Hal itu berdasarkan hadist Rasulullah “Tak sah jual beli melainkan atas barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Melakukan ijab qobul atau serah terima dengan pernyataan penjual “Saya jual barang ini dengan harga...” dan pembeli “Baiklah saya beli.” Hal itu seperti hadist Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka,” (HR. Ibnu Hibban).
B. Khiyar
Khiyar adalah bebas memutuskan meneruskan jual beli atau tidak. Jika suka maka kedua penjual dan peembeli boleh meneruskan transaksi. Jika tidak sepakat dengan harga maka keduanya boleh menghentikan transaksi.
1. Macam khiyar
- Khiyar majelis: penjual dan pembeli masih di tempat transaksi.
- Khiyar syarat: adanya syarat dalam jual beli, misalnya penjual memberi batas waktu 3 hari pada pembeli untuk memutuskan jadi membeli atau tidak. Dalam waktu tersebut penjual tidak akan menjual pada orang lain (3 hari adalah masa khiyar).
- Khiyar aibi (cacat): jika barang cacat maka peembeli boleh mengembalikannya ke penjual.
Riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Apapun bentuknya, riba hukumnya haram. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya,” (HR. Muslim).
Agar terhindar dari riba maka jika melakukan jual beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak syaratnya:
- sama timbangan ukurannya;
- dilakukan serah terima saat itu juga,
- secara tunai.
- Riba fadli: adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misal cincin 2 gram dengan cincin 3 gram. Nilai kelebihannya itu adalah riba.
- Riba qordi: pinjam meminjam dengan syarat memberi kelebihan saat mengembalikan.
- Riba yadi: akad jual beli barang sejenis dan sama timbangannya tapi penjual dan pembeli berpisah sebelum transaksi serah terima. Misal jual ubi tapi ubinya masih di pohon. Tidak diserah terimakan.
- Riba nasi’ah: adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misal mangga masih kecil di pohon sudah dibeli, akan diambil jika sudah besar.
Utang piutang adalah menyerahkan harta dan benda pada orang lain dengan perjanjian akan dikembalikan di masa depan.
Harta dan benda tersebut tidak berubah keadaannya saat dikembalikan. Misal utang 100 perak harus dikembalikan 100 perak juga.
Rukun utang piutang ada 3 yakni seperti dilansir laman Sumber Belajar:
- Ada yang berpiutang dan yang berutang
- Ada harta atau barang
- Ada lafaz kesepakatan. Contoh: “Saya utangkan 100 perak kepadamu,” lalu yang berutang menjawab “Ya, saya utang dulu, dua hari lagi saya bayar atau jika sudah punya saya lunasi.”
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah/2: 280).
Jika dalam pengembalian itu yang berhutang memberi kelebihan tanpa diminta, maka kelebihan itu halal bagi pemberi hutang diterima.
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik,” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
3. Sewa menyewa
Secara fikih, sewa menyewa disebut juga ijarah. Ijarah adalah imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa berupa penyediaan tenaga, pikiran, biaya, atau hewan yang diberikannya.
Firman Allah SWT:
“...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut...” (QS. Al-Baqarah: 233)
Juga dalam firman QS At-Talaq ayat 6 yang artinya:
“...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...”.
Syarat dan rukun sewa menyewa
- Yang menyewa dan memberi sewa harus sudah balig dan berakal sehat.
- Dengan kemauan masing-masing, tidak dipaksa.
- Benda atau tempat itu sepenuhnya hak yang menyewakan.
- Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
- Manfaat dari benda yang disewakan harus diketahui jelas kedua pihak. Misal sewa rumah, nanti akan ditinggali atau dibuat usaha sehingga pemilik akan memikirkan risiko kerusakan.
- Berapa lamanya harus jelas. Misal sewa rumah 1 tahun.
- Harga dan cara pembayaran ditentukan di awal dan disepakati.
- Untuk kontrak tenaga kerja, diberitahu jenis pekerjaan, jam kerja, masa kerja, gaji, sistem pembayaran, tunjangan.
Syirkah
(perseroan)
Syirkah maknanya mencampur dua bagian atau lebih hingga tak bisa dibedakan lagi. Menurut istilah, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha dengan tujuan mendapat untung.
Rukun dan syarat syirkah:
- Pihak yang berakad (‘akidah) harus memiliki kecakapan dalam pengelolaan harta.
- Objek akad (ma’qud ‘alaihi) mencakup pekerjaan atau modal yang halal.
- Akad (sighat) syarat sahnya akad adalah harus berupa tasarruf yaitu ada aktivitas pengelolaan.
- Syirkah ‘Inan:Ada syarat kesamaan profesi atau keahlian pada dua pihak mitra usaha. Modalnya disyaratkan berupa uang. Keuntungan disepakati misalnya 50 : 50 dan jika rugi, maka kerugian juga ditanggung 50 : 50 oleh masing-masing mitra usaha.
- Syirkah ‘Abdan: Tidak ada syarat kesamaan profesi antar mitra usaha, misal tukang kayu dan tukang batu bermitra membangun rumah. Pembagian keuntungan misalnya 60 : 40 yang disepakati bersama kedua mitra. Pekerjaan harus halal.
- Syirkah wujuh: adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang. Hakikatnya termasuk dalam syrikah ‘abdan. Misal A dan B adalah tokoh dan dipercaya oleh pedagang. A dan B menyuruh pedagang membeli barang, lalu barang dijual oleh A dan B dengan keuntungan 50 : 50. Modal dikembalikan pada pedagang dan keuntungan dibagi dengan A dan B.
- Syirkah muwafadah: menggabungkan semua jenis syrikah di atas. Misal: A adalah pemodal, memberi modal pada B dan C. Lalu B dan C juga ikut menanam modal membeli barang secara kredit. Awalnya syirkah ‘abdan, lalu berubah jadi syirkah wujuh karena berdasar pada ketokohan. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, jika rugi juga ditanggung sesuai jenis syirkahnya yakni sebesar prosentase modal.
- Mudarabah: adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak. Pihak pertama menyediakan modal (shahibul mal) pihak lain jadi pengelola (mudarrib). Keuntungan usaha mudarabah dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak perjanjian. Sementara kerugian ditanggung pemilik modal, jika kesalahan bukan karena pengelola. Mudarabah dibagi dua yaitu: Mudarabah mutlaqah: bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Mudarabah muqayyadah: yaitu usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
- Musaqah: kerja sama antara pemilik kebun dan petani, pemilik menyerahkan urusan semua pada petani, keuntungan ditentukan diawal akad.
- Muzara’ah dan mukhabarah. Muzara’ah adalah kerja sama bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani, namun bibit disediakan petani. Sementara mukhabarah, bibit berasal dari pemilik lahan.
Bank merupakan lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan disalurkan dalam bentuk pinjaman dengan sistem bunga. Dilihat dari penerapan bunganya, bank dibagi dua:
Bank Konvensional: adalah bank yang menghimpun dana untuk disalurkan kepada perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
Bank Islam atau Bank syariah: adalah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga tidak ada dalam bank Islam karena bank syariah memakai cara yang bersih dari riba, misalnya mudarabah, musyarakah, wadi’ah, qardul hasan.
- Mudarabah adalah: kerja sama pemilik modal dan pengusaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian.
- Musyarakah adalah: kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing memiliki saham. Jadi, kedua belah pihak mengelola usaha bersama-sama dan untung ruginya bersama-sama pula.
- Wadi’ah adalah: jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga kepada bank. Bank punya hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu-waktu.
- Qardul hasan adalah: pembiayaan lunak pada nasabah dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank itu.
- Murabahah adalah: suatu jenis penjualan yang penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Jadi bank membelikan barang untuk nasabah dengan tambahan keuntungan.
Asal kata asuransi adalah ‘assurantie’ yang diambil dari bahasa Belanda bermakna ‘pertanggungan’.
Dalam bahasa Arab dikenal At Ta’min yang artinya pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari rasa takut.
Asuransi adalah bagian dari mu’amalah yang hukum fiqhnya dibolehkan (jaiz) dengan syarat sesuai hukum Islam.
Memiliki asuransi bisa disebut sebagai upaya yang didasarkan nilai tauhid bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt.
Musibah bisa berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun lainnya. Untuk menghadapi musibah, ada 3 cara yakni menanggungnya sendiri, kedua mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Musibah menurut Islam bukan hanya masalah individu melainkan juga masalah kelompok dimana individu tinggal. Dalam firman Allah Swt dalam QS Al Ma’idah 5 : 2 yang artinya:
“... dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”
Beda asuransi syariah dan asuransi konvensional
Pada asuransi konvensional, orang membayar premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi atau ‘jual-beli’ atas resiko kerugian.
Ada mekanisme dana hangus, sehingga peserta tak bisa menarik lagi premi jika ingin keluar dari keanggotaan sebelum jatuh tempo.
Pada asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Jika peserta ingin menarik dana premi maka bisa dilakukan.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Dhita Koesno