tirto.id - Halalbihalal merupakan tindakan saling memaafkan di antara keluarga, tetangga, dan masyarakat pada saat Hari Raya Idu Fitri. Halalbihalal pada saat lebaran merupakan salah satu tradisi khas di Indonesia.
Apa arti halalbihalal? Halalbihalal berkar dari kata halla-yahillu yang berarti singgah, memecahkan, melepaskan, menguraikan, dan mengampuni.
Secara istilah, halalbihalal disebut pula dengan thalabu halal bi thariqin halal, yang berarti mencari penyelesaian atas masalah dengan cara saling memaafkan.
Selain itu, hahalbihalal pun dikaitkan dengan istilah halal yujza’u bi halal, yang berarti pembebasan kesalahan yang ditebus cara saling memaafkan.
Belum diketahui secara pasti bagaimana dan kapan tradisi halalbihalal lebaran mulai dilakukan di Indonesia. Namun, terdapat beberapa sumber sejarah mengenai asal mula tradisi ini.
Mengutip laman NU online, pada abad ke-18 KGPAA Mangkunegaran I, atau lebih dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa, pernah mengadakan pertemuan yang melibatkan para abdi dalem dalam acara sungkeman kepada raja beserta permaisuri di Balai Kraton Mangkunegara Surakarta.
Kemudian, kebiasaan tersebut lambat laun diikuti oleh masyarakat. Namun, saat itu belum muncul istilah halalbihalal, meksi secara esensi sudah terlaksana.
Sementara di laman Suara Muhammadiyah dijelaskan, bahwa dalam kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1938) terdapat kata “ala behala” yang mempunyai arti "acara saling-memaafkan ketika Hari Raya." Selain itu, di dalam Majalah Suara Muhammadiyah (1926) edisi menjelang bulan 1 Syawal 1344 H, termuat adanya kata “alal bahalal.”
Keterangan itu menunjukkan bahwa pada awal Abad 20 sudah ada penyebutan khusus buat tradisi saling memaafkan pada momentum lebaran di Indonesia, meski tidak sama persis dengan istilah yang dikenal sekarang.
Istilah halalbihalal kemungkinan baru populer setelah Kemerdekaan Republik Indonesia. Informasi itu berkaitan dengan langkah Presiden Soekarno pada 1948, demikian mengutip penjelasan dalam sebuah artikel KH Masdar Farid Masudi di laman NU Online.
Di tahun itu, saat pertengahan bulan Ramadhan, Presiden Soekarno pernah memanggil KH Wahab Chasbullah, salah satu tokoh penting Nahdlatul Ulama, ke Istana Negara.
Mengingat pada tahun 1948, Indonesia diguncang pertikaian politik berujung pada konflik senjata, seperti karena pemberontakan PKI dan DI/TII, Presiden Soekarno meminta saran dari KH Wahab Chasbullah terkait bagaimana cara menguatkan integrasi bangsa Indonesia.
Sang kyai lantas menyarankan adanya acara silaturahmi saat lebaran dengan menggunakan istilah baru “halalbihalal.”
Kemudian, saat Idul Fitri tahun 1948, Presiden Soekarno mengundang para tokoh politik dalam acara halalbihalal sebagai wujud saling memaafkan untuk bersatu padu meningkatkan kerukunan berbangsa. Setelah itu, istilah halalbihalal populer di masyarakat Indonesia.
Makna Idul Fitri
Idul Fitri terdiri atas dua kata yaitu "Idul" berasal dari kata aada-yauudu yang berarti kembali dan "Fitri" dari kata afthara-yufthiru yang berarti berbuka. Idul Fitri berarti kembalinya umat Islam menyantap makanan pada siang hari setelah berpuasa pada bulan Ramadhan.
Idul Fitri mengandung beberapa makna. Salah satunya adalah kembali menjadi suci. Setelah umat Islam melakukan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh dan menahan hawa nafsu, diharapkan semua dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. Sehingga, menjadikan badannya suci secara lahir maupun batin, serta akan melakukan hal-hal yang lebih baik ke depannya.
Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam surah Al Baqarah ayat 183 yang menjadikan puasa Ramadhan sebagai peningkat takwa bagi orang-orang yang beriman.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Selain itu, Idul Fitri juga dapat diartikan diperbolehkannya umat Islam untuk bersantap makanan pada siang hari. Dengan kembalinya kebiasaan ini, umat Islam diharapkan untuk menambah rasa syukur atas segala rezeki yang berikan oleh Allah SWT.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom