tirto.id - Salah satu tradisi menjelang Lebaran di Indonesia adalah melakukan aktivitas mudik. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dua tahun terahir, pemerintah menerbitkan aturan larangan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Pada Lebaran 1442 H ini, larangan mudik ditetapkan sejak 6-17 Mei 2021 melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu SKB dari Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Selain itu, ada juga pemangkasan cuti bersama Idulfitri menjadi satu hari dan ditegaskan kembali untuk tidak mudik selama cuti tersebut.
Mudik kerap diidentikkan dengan Lebaran. Tradisi ini merupakan aktivitas pulang kampung para perantau atau pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya.
Secara bahasa, terdapat beberapa versi yang mengartikan kata mudik. Sebagai misal, Kemendikbud menuliskan bahwa mudik berasal dari bahasa Jawa ngoko, yakni "mulih dilik", artinya pulang sebentar. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa mudik berasal dari kata “udik”, yaitu kembali ke asal.
Selain itu, sebelum Bangsa Eropa datang ke Nusantara, hanya sedikit orang Indonesia yang merantau. Hanya beberapa suku seperti Bugis, Makassar, atau Padang yang punya budaya kuat untuk merantau. Mereka lah yang melakukan mudik kala Lebaran.
Selepas kemerdekaan RI, istilah mudik menjadi sangat populer pada 1960-an. Ketika ada pembangunan besar-besaran di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, banyak industri baru membutuhkan tenaga kerja.
Akibatnya, terjadi urbanisasi masif. Jakarta dan kota industri lainnya ibaratnya gula yang menarik perhatian semut-semut untuk mengerubunginya.
Orang-orang desa berduyun-duyun melakukan migrasi, mencari kerja dan penghidupan layak ke ibukota dan kota-kota besar. Itulah, pada momen Hari Raya Idulfitri, mereka beristirahat sejenak, mudik (pulang sebentar) ke kampung halaman.
Sebagaimana kata mudik yang diyakini berasal dari bahasa Jawa, Hari Raya Idulfitri juga punya padanan kata dalam bahasa Indonesia, yaitu Lebaran. Melansir Antara, kata Lebaran pun berasal dari bahasa Jawa, yaitu "wis bar", yang artinya sudah selesai.
Maknanya, orang yang berlebaran sudah menyelesaikan ibadah puasa pada Ramadan. Kata "bar" dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari kata "lebar" yang berarti usai atau selesai.
Saat ini, kata Lebaran sudah diserap bahasa Indoensia. Dalam KBBI, Lebaran artinya Idulfitri, hari raya umat Islam yang jatuh pada 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan.
Kendati berasal dari bahasa Jawa, uniknya orang Jawa sendiri jarang menggunakan istilah lebaran. Mereka cenderung menggunakan "sugeng riyadin" atau "riyaya" sebagai ungkapan selamat Idulfitri.
Sementara itu, ternyata orang Betawi lah yang sering menggunakan istilah ini. Orang Betawi mengartikan kata "lebar" dengan makna yang sebenarnya, yaitu yang menggambarkan keluasan dan kelegaan hati setelah melaksanakan ibadah puasa.
Versi lain dari asal kata Lebaran ditulis oleh MA Salmun, pujangga dan sastrawan nasional, yang menyatakan bahwa Lebaran diserap dari tradisi Hindu yang artinya habis atau selesai.
Menurut MA Salmun, kata Lebaran dipopulerkan oleh para Wali Songo di abad ke-14 di masyarakat Hindu yang baru memeluk Islam. Tujuan para Wali Songo mengadaptasi istilah Hindu ini agar orang-orang mualaf tidak merasa asing dengan agama Islam yang baru dianutnya.
Lantas, apa makna mudik Lebaran sebenarnya? Dalam uraian "Mudik Lebaran" yang ditulis Profesor Pengkajian Islam dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Abdul Majid, disebutkan bahwa esensi dari mudik Lebaran adalah silaturahmi dan bermaaf-maafan.
Menurut Abdul Majid, perjalanan dari rantau ke kampung halaman adalah formalitas. Sementara itu, fatwa MUI No. 24 Tahun 2021 (PDF) menyebutkan bahwa silaturahmi dapat dilakukan melalui media virtual. Jika tahun ini tidak bisa pulang kampung karena Covid-19, silaturahmi secara daring dapat menjadi solusi hal tersebut.
Makna mudik yang berupa silaturahmi bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan saling bermaafan. Kendati pengerjaannya tidak langsung bertatap muka atau bertemu fisik, namun maksud dari silaturahmi dapat tercapai kendati hanya dilakukan secara daring.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dipna Videlia Putsanra