tirto.id - The Sin Nio (dibaca: Teh Sin Nyo) adalah perempuan pejuang kemerdekaan yang namanya hampir luput dari guratan sejarah. Padahal, ia merupakan anomali yang istimewa: satu-satunya perempuan yang tergabung dalam Kompi 1 Batalyon 4, Resimen 18 Wonosobo di bawah komando Sukarno (terakhir berpangkat brigjen dan pernah menjadi Duta Besar RI untuk Aljazair) pada 1943.
Pada masa itu, wanita tak beroleh kesempatan turun di medan perang. Kebijakan militer semasa itu agak timpang, sebab hak berperang hanya dimiliki golongan pria.
Itu kendala pertama. Masalah selanjutnya adalah Sin Nio merupakan keturunan Tionghoa. Dia merupakan anak pertama dari pasangan The In Liyang dan Ong Suan Nio, keluarga Tionghoa pembuat mangkuk di Wonosobo.
Sin Nio tumbuh di masa kolonial yang sangat patriarkal dan diskriminatif terhadap etnis minoritas. Lantas, bagaimana mungkin dia bisa menjadi prajurit kemerdekaan?
Bertempur dengan Nama Mochamad Moeksin
Disadur dari Majalah Sarinah edisi 6 Agustus 1984 yang disimpan di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Sin Nio memutuskan menyamarkan identitasnya. Itu dilakukannya demi memuluskan cita-cita perjuangan, berkesempatan berdiri di garda terdepan pasukan revolusi.
Dia mengubah namanya menjadi Mochamad Moeksin dan mengaku sebagai seorang pria agar dapat tercatut bergerilya sebagai tentara. Nama itu dipilih sebab berkelindan dengan unsur Islam dan dianggap lebih mudah diterima publik.
Maklum, di masa itu wanita tak beroleh kesempatan turun di medan perang. Perempuan dituntut berada di rumah saja. Lebih-lebih, Sin Nio adalah peranakan Tionghoa. Salah tingkah sedikit bisa dicap sebagai mata-mata NICA Belanda. Padahal, tak sedikit orang-orang Tionghoa yang dengan tulus berjuang mewujudkan pergerakan nasional.
Dia tak kurang akal. Dililitkannya kain panjang mengelilingi dadanya erat-erat guna menutup payudaranya sehingga membidang rata. Rambutnya dipangkas pendek, suaranya diubah menyerupai pria. Dia juga mengenakan celana panjang sebagaimana pejuang pria pada umumnya. Semua dilakukannya agar identitas aslinya tak dicurigai.
Di medan perang, Sin Nio yang menyamar sebagai Mochamad Moeksin mulanya ditempatkan di bagian logistik. Dia juga turut bertempur dengan hanya bermodal parang, bambu runcing, dan tombak.
Sejurus kemudian, sebuah senapan api berhasil ia dapat setelah merampasnya dari tangan serdadu Belanda. Senapan itu berjenis Lee-Enfield (LE).
Hendra Kurniawan dalam Kepingan Narasi Tionghoa: The Untold Histories (2020: 203) menulis, “Suatu waktu Sin Nio pernah dipindahkan ke bagian perawat atau Palang Merah karena kekosongan juru rawat.”
Tugasnya sebagai tentara medis adalah merawat banyak pejuang yang terluka akibat perang. Sin Nio berhasil menuntaskan tugas yang dipercayakan padanya dengan baik.
Dalam salah satu seri monolog Di Tepi Sejarah berjudul “Sepinya, Sepi” (2024) gubahan Ahda Imran dan tayang di kanal Indonesiana.tv, karakter Sin Nio—diperankan oleh Laura Basuki—menuturkan:
“Setelah menyerbu Jogja, empat pesawat Belanda menyerang Wonosobo. Bom-bom dijatuhkan seenaknya kayak orang berak, menembaki apa saja. Rumah-rumah hancur. Mayat penduduk bergelimpangan. Kami mundur ke pinggiran Wonosobo, lalu bergerilya ke hutan-hutan dan gunung-gunung sambil sesekali menyerang pos Belanda.”
Ada pula pengisahan tentang penderitaan Sin Nio sebagai peranakan Tionghoa yang kental dengan diskriminasi rasial. Salah satu yang dikenang adalah tragedi kematian adik laki-laki Sin Nio, The Kim Kong.
Tragedi itu terjadi ketika Sin Nio tengah bergerilya. Adiknya difitnah sebagai Tionghoa mata-mata Belanda. Dia jadi korban keganasan sporadis kebencian dan kecurigaan massal terhadap Tionghoa.
Segerombolan laskar liar, entah dari mana rimbanya, datang tiba-tiba. Mereka lantas memaksa orang-orang Tionghoa berbaris dan berjalan menuju kubangan. Satu per satu dibunuh dan ditusuk dengan bambu runcing.
Naskah lakon yang disusun Ahda Imran itu berbasis dari kliping media di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, di bawah arahan Direktur Perfilman, Musim, dan Media Baru, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek.
Memperjuangkan Hak sebagai Veteran
Usai kemerdekaan dan kondisi republik mereda, Sin Nio memutuskan menikah dan dikaruniai enam anak dari dua suami yang berbeda—keduanya berakhir dengan perceraian.
Sebagai janda enam anak, hidupnya dirundung sulit lantaran mesti membesarkan anak-anaknya seorang diri. Hal itulah yang membulatkan tekadnya merantau ke Jakarta demi merengkuh haknya sebagai veteran perang.
Langkah itu diambil karena dirinya sebagai pejuang tak mendapatkan tunjangan pensiun, yang semestinya menjadi hak pejuang kemerdekaan.
Dulu, pengakuan, pengesahan, dan penganugerahan gelar kehormatan, diatur di UU No. 7 Tahun 1967. Kini, tunjangan untuk veteran diatur dalam PP No. 23 Tahun 2016 di bawah naungan Kementerian Pertahanan.
Bermodal nekat, Sin Nio hijrah ke Jakarta untuk mengurus tetek bengek persoalan tunjangan pensiunnya.
Pada 1973, dia sampai di Jakarta dan sempat mendompleng selama sembilan bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada. Namun selama itu, jerih payahnya belum membuahkan hasil. Dugaan awal, tunjangannya dipersulit lantaran dirinya berasal dari etnis Tionghoa.
Gayung bersambut. Perjuangan Sin Nio selama tiga tahun di Jakarta sedikit menuai jawaban.
29 Juli 1976, Sin Nio berhasil mendapatkan pengakuan sebagai pejuang aktif lewat SK yang dikeluarkan Mahkamah Militer Yogyakarta. SK itu ditandatangani Wakil Panglima ABRI, Laksamana Sudomo.
Namun nahas, SK tersebut tak sejalan lurus dengan harapan Sin Nio. Dia tak mendapatkan hak tunjangan pensiunnya. Bertahun-tahun dia masih terlunta-lunta memperjuangkan haknya.
Sampai kemudian di sebuah acara, Sin Nio bersama sejawat veteran lainnya bertemu dan berjabat tangan dengan istri presiden, Siti Hartinah (Tien Soeharto). Dengan memakai seragam militernya, Sin Nio ceplos mempertanyakan SK yang belum menjamin haknya sebagai veteran.
Walhasil empat bulan kemudian, sebuah SK lanjutan keluar pada 15 Agustus 1981. SK kedua bernomor 956/VIII/1981, yang didasarkan pada SK pertama. SK kedua ditandatangani Kapten CKH Soetikno dan Lettu CKH Drs. Soehardjo, juga yang bertanda tangan sebagai saksi adalah Mayor TNI-AD Kadri Sriyono (Kastaf Kodim 0734 Diponegoro) dan dr. R. Brotoseno (dokter militer di Resimen 18 Divisi III Diponegoro).
Sin Nio tercatat hanya mendapat uang pensiun sebesar Rp28.000 per bulan. Itu pun baru diperolehnya setelah beberapa tahun kemudian. Tentu saja, nominal tersebut tak mampu mencukupi kebutuhan hidup Sin Nio seorang, apalagi harus menopang keluarga yang dia tinggalkan di Wonosobo.
Menggelandang di Jakarta
Sin Nio terus memperjuangkan haknya sebagai veteran, bahkan meski terpaksa menggelandang di Jakarta. Dia sempat mendompleng di seputaran pintu air yang tak jauh dari Masjid Istiqlal Jakarta. Dia juga sempat tinggal cukup lama, menumpang di salah satu masjid daerah Petojo, Jakarta.
Tambatan terakhir Sin Nio adalah gubuk liar di bantaran rel kereta di kawasan Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Gubuk “bedeng” tempatnya tinggal itu hanya berukuran 2x3 meter, sama sekali “tak layak” disebut rumah. Hanya ada ruangan untuk tidur yang menyatu dengan dapur. Bagian atas rumahnya ditempati orang lain, yang suara berbisiknya saja bisa terdengar sampai ke bawah.
Sin Nio bersikeras tak mau pulang ke Wonosobo.
Namun, dalam masa kekalutan itu, dia tak pernah lupa untuk senantiasa mengirim uang kepada anak cucunya di kampung halaman.
“Saya tak mau merepotkan anak cucu saya, biarlah saya hidup sendiri di Jakarta, meski dalam tempat seperti ini! .... Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!” tegasnya sebagaimana dikutip dari Majalah Sarinah.
Sekali waktu, Menteri Perumahan Rakyat, Comas Batubara, berjanji menghibahkan sebuah rumah di perumnas untuknya cuma-cuma. Namun, janji itu hanya terucap manis di lidah.
Selain beban rasial yang mesti menjangkit haknya, Sin Nio sadar dia bukanlah siapa-siapa. Dia tak seperti Tan Peng Nio, putri dari Jenderal Tan Wan Swee yang berperan aktif dalam Geger Pecinan melawan Belanda. Bukan juga Lim Tian Kwee, orang kaya yang membuka dapur umum demi kebutuhan republik. Apalagi Yap Tjwan Bing, dokter pengelola Apotek Suniaraya yang tergabung sebagai anggota BPUPKI.
Dalam kesendiriannya di Jakarta, The Sin Nio wafat saat titimangsa 1985, kala usia 70 tahun. Dia dimakamkan di TPU Layur Rawamangun Jakarta. Makamnya telah raib, tak bisa ditemukan sebab sudah ditimpa makam-makam lainnya.
Kerabatnya di Wonosobo pun tak menahu napak tilas makamnya kini. Sementara itu, ketentuan pemakaman yang mengharuskan ahli waris membayar Rp100.000 per tiga tahun, nyaris tak pernah rampung. Pasalnya, seluruh anak-anak Sin Nio, baik yang di Wonosobo, Gombong, maupun Yogyakarta, telah meninggal dunia.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































