tirto.id - Kalender menunjukkan tanggal 30 Oktober 1982. Tidak seperti biasanya, beberapa sudut jalan di Kota Solo dipadati ribuan manusia. Mereka menyemut di halaman RS Panti Kosala. Massa sudah berkumpul sedari pagi demi mengantar berpulangnya seorang dokter Tionghoa yang semasa hidup dikenal sebagai dermawan dan sosiawan.
Sang dokter terlahir dengan nama Oen Boen Ing. Namun masyarakat Surakarta lebih mengenalnya dengan nama Dr. Oen. Boen Ing lahir di Salatiga ketika angka menunjukkan serba “3” (3 Maret 1903). Lulus dari Hollandsch Chineesche School (HCS) Salatiga, Boen Ing meneruskan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Semarang, dan kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta.
Sejak kecil, Boen Ing sudah bermimpi untuk menjadi dokter. Impian tersebut pertama kali muncul ketika melihat sang kakek yang bekerja sebagai sinse di Salatiga. Kakeknya mengobati para pasien tanpa berkenan menerima bayaran.
Selepas lulus dari AMS, Boen Ing tetap teguh pada cita-citanya untuk menjadi dokter. Namun niatan tersebut ditentang kedua orang tuanya. Ayahnya jelas menginginkan Boen Ing untuk meneruskan bisnis tembakau keluarga yang telah bertahan selama beberapa generasi. Sementara sang kakek merasa takut bila Boen Ing hanya akan mencari kekayaan dengan membebani orang sakit.
Penolakan tersebut tidak menyurutkan mimpi Boen Ing. Sebaliknya, Boen Ing semakin ingin membuktikan bahwa impiannya untuk menjadi dokter bukanlah mencari keuntungan, melainkan supaya dapat menolong orang sebanyak-banyaknya. Lantaran niat Boen Ing sudah bulat, keluarga besar pun tak dapat menahan keinginannya. Ia pun mendaftarkan diri ke STOVIA di Batavia sebagai mahasiswa kedokteran.
Selama di STOVIA, Boen Ing terlibat aktif dalam perhimpunan pelajar sekolah menengah Tionghoa bernama Chung Hsioh. Di organisasi itu ia mulai terlibat berbagai diskusi kritis terkait perpolitikan Hindia Belanda. Boen Ing juga sempat melayani di Jang Seng Ie (sekarang Rumah Sakit Husada) sebagai sekretaris pada 1929, ketika poliklinik tersebut tengah berada di titik terendah akibat serangkaian konflik internal dan krisis ekonomi dunia.
Selepas menyandang gelar dokter dari STOVIA pada 1932, Dr. Oen sempat melayani di Poliklinik Gie Sing Wan di Kediri. Selama di Gie Sing Wan, Dr. Oen melayani tanpa memikirkan materi. "Dia [Dr. Oen] menekankan, tempat ini [Poliklinik Gie Sing Wan] harus tetap ada untuk menolong orang sakit yang tidak memiliki uang guna membayar dokter maupun obat-obatan," tulis Soerabaiasch Handelsblad edisi 27 April 1935.
Di Kediri ia bertemu dengan Corrie Djie Nio, yang kelak dipersuntingnya pada 16 November 1934. Setelah enam tahun melayani di Kediri, keduanya kemudian memutuskan mengabdi di Surakarta.
Pada awalnya, Dr. Oen melayani di Ziekenzorg (sekarang RSUD Dr. Moewardi Surakarta). Kemudian ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengembangkan Poliklinik Tsi Sheng Yuan (sekarang RS Dr. Oen Surakarta). Poliklinik ini didirikan pada 1933 oleh Hua Chiao Tsing Nien Hui (HCTNH/Perhimpunan Pemuda Tionghoa) yang merasa prihatin dengan sistem pelayanan kesehatan yang diskriminatif dan tingginya angka kematian bayi di Surakarta. Poliklinik Tsi Sheng Yuan memberikan pertolongan kesehatan cuma-cuma kepada penduduk dengan penghasilan di bawah 10 gulden per bulan.
Menjelang runtuhnya rezim kolonial Belanda, Tsi Sheng Yuan turut membantu Chineesche Burger Organisatie (CBO/Organisasi Pertahanan Sipil Tionghoa). Pada masa pendudukan Jepang, Tsi Sheng Yuan membantu Kakyo Sokai (Perkumpulan Umum Tionghoa Perantauan). Di masa Revolusi, poliklinik ini berfungsi sebagai rumah sakit darurat guna menampung para pejuang dan pengungsi yang terluka.
Penisilin untuk Jenderal Soedirman
Selama masa perang kemerdekaan di Surakarta, Dr. Oen banyak mengobati pejuang dan pengungsi yang terluka, tanpa pandang bulu. Kedekatannya dengan pihak Republik membuatnya dimata-matai Belanda. Dalam laporan Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS/Dinas Intelijen Tentara Belanda) bertajuk “Doktoren te Soerakarta” (24 Desember 1948), nama Dr. Oen termasuk salah satu dokter yang mendapat pengawasan khusus.
Laporan itu mendeskripsikan Dr. Oen sebagai salah satu dari segelintir dokter yang beroperasi di Solo selama perang kemerdekaan. Dr. Oen pernah menjadi dokter untuk Rode Kruis (Palang Merah) dan juga pimpinan dari Rumah Sakit Darurat Jebres. Sosok Dr. Oen digambarkan sebagai figur yang “ontzettend populair bij alle bevolkingsgroepen” (sangat terkenal di seluruh lapisan masyarakat) dan “erg behulpzaam” (sangat penolong). Dalam sehari, Dr. Oen dapat menerima lebih dari 200 pasien di rumahnya, dan lebih dari setengahnya bahkan dilaporkan tidak perlu membayar sepeser pun.
Kepopuleran Dr. Oen di kalangan pejabat Republik membuatnya mendapat pasokan listrik 24 jam setiap hari (penduduk lain mendapatkan jatah empat hari aliran listrik per minggu), selain juga mendapat kendaraan pribadi. Seluruh privilese tersebut memang diperlukan Dr. Oen guna menunjang profesinya sebagai dokter yang harus terus mengobati pasien.
Ketika Surakarta bergolak, pihak Republik memutuskan untuk mengevakuasi Dr. Oen keluar dari kota itu. Mendengar rencana evakuasi tersebut, penduduk Surakarta merasa kecewa. Mereka kemudian menginisiasi semacam petisi yang menolak rencana itu. Mereka menganggap Keberadaan Dr. Oen masih sangat dibutuhkan untuk menolong penduduk yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Merasa tersentuh dengan permintaan tersebut, Dr. Oen memutuskan untuk tetap tinggal di Surakarta.
Selama masa Revolusi, Dr. Oen selalu menyediakan waktu guna mengobati tentara Republik yang terluka, sekalipun tidak jarang pada saat yang bersamaan ia juga disibukkan melayani ratusan pasien lain. Sekalipun dirinya tidak pernah mengangkat senjata, Dr. Oen rela mempertaruhkan nyawa dengan keluar-masuk zona merah. Strategi "jemput bola" tersebut dianggap lebih aman guna meminimalisasi kecurigaan tentara Belanda.
Dr. Oen juga dikenal karena jasanya menyelundupkan penisilin bagi Jenderal Soedirman yang saat itu tengah menderita TBC. Tindakan tersebut tergolong berani mengingat risiko yang sangat serius bila Belanda sampai mengendusnya.
Pengobatan Gratis bagi Orang Miskin
Ada satu hal tak lazim yang dijalani Dr. Oen dalam praktiknya. Ia mulai mengobati para pasien sejak pukul 03.00 di rumahnya yang terletak di kawasan Pasar Legi, Banjarsari. Dr. Oen memang tidak dapat dilepaskan dari angka "3" yang menjadi angka favoritnya. Dr. Oen lahir ketika daun kalender menunjukkan angka serba 3, yakni 3 Maret 1903. Nomor teleponnya adalah 3333, begitu juga dengan plat nomor mobil Peugeot-nya.
Dr. Oen melayani sendiri seluruh pasien yang datang berobat ke kliniknya, mulai dari menyuntik pasien, memeriksa, menulis resep, hingga memanggil pasien. Kemudian ia membubuhkan tanda khusus atau stempel pada resep tersebut, sebagai kode bagi Apotek Surakarta bahwa seluruh biaya obat sang pasien akan ditanggung sepenuhnya oleh sang dokter.
Bagi pasien yang berkenan membayar, maka mereka diperkenankan untuk memasukkan uang ke dalam sebuah kotak yang terletak di dekat ruang praktik. Mengenai besaran nominalnya, tidak pernah dihiraukan oleh Dr. Oen yang sudah keburu sibuk memeriksa pasien berikutnya.
Setidaknya ada empat faktor yang membuat pengobatan Dr. Oen begitu populer. Pertama, teknik pengobatan Dr. Oen yang dikenal sangat ampuh. Banyak pasien yang mengaku sembuh dan pulih lebih cepat sesudah ditangani Dr. Oen.
Kedua, teknik pengobatan yang dilakukan Dr. Oen tergolong sederhana, tetapi selalu tepat sasaran. Pasien yang diobati biasanya tidak perlu datang berkali-kali ke tempat praktiknya.
Ketiga, dan yang terpenting, karena para pasien paham bahwa Dr. Oen tidak pernah menarik bayaran dari kaum kurang mampu. Mereka yang berkekurangan tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, tanpa harus merasa cemas.
Keempat, Dr. Oen menolak berhenti berpraktik sampai seluruh pasiennya habis. Jadi para pasien tidak merasa takut akan ditelantarkan karena percaya giliran mereka diperiksa akan tiba.
Bagi Dr. Oen, jika seorang dokter benar memiliki hati nurani, tidak mungkin ia membiarkan orang-orang yang membutuhkan pertolongan terus-menerus larut dalam kesukaran. “Bukankah kewajiban utama seorang dokter adalah menolong pasien?" tutur Dr. Oen seperti dikutip dalam The Spirit of Dr. Oen, The Spirit of Giving.
Pengabdian Dr. Oen selama beberapa dekade di dunia kesehatan serta perjuangannya membantu tentara Republik di masa Revolusi membuatnya dianugerahi penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial oleh pemerintah Indonesia pada 30 Oktober 1976. Penghargaan tersebut diberikan atas usulan para veteran Tentara Pelajar yang pernah ditolong Dr. Oen. Mereka menganggap perjuangan gerilya yang dilakukan di Surakarta tidak dapat dipisahkan dari jasa-jasa Dr. Oen.
Dekat dengan Mangkunegaran
Dr. Oen dan Pura Mangkunegaran memiliki ikatan emosional dan profesional yang tak terpisahkan satu sama lain. Sejak 1944, Dr. Oen sudah dipercaya menjadi dokter pribadi di sana. Ia menangani kesehatan Gusti Nurul dan anggota keluarga Mangkunegaran lainnya. Dr. Oen adalah kawan karib Mangkunegara VIII. Sang dokter bahkan dipercaya untuk menangani proses persalinan seluruh anak-anak Mangkunegara VIII.
Kedekatan Dr. Oen dan Mangkunegara VIII tampak ketika sang dokter meminta izin kepadanya untuk mengambil Sujiwo (kelak menjadi Mangkunegara IX) sebagai anak. Dr. Oen bahkan sudah menyiapkan nama sang bayi, yaitu "Wu Yi". Dalam Bahasa Mandarin, wu yi bermakna "lima puluh satu," karena Sujiwo lahir pada 1951.
Mangkunegara VIII pada awalnya menyetujui permintaan tersebut, tetapi menjelang persalinan lantas berubah pikiran. "Dokter, jangan! Saya tidak tega anak saya kamu ambil," tutur penguasa Kepangeranan Mangkunegara itu.
Sembari tersenyum, Dr. Oen menyatakan dapat memahami perasaan Mangkunegara VIII, sebab orang tua manapun pada dasarnya tidak akan rela melihat anaknya diambil orang lain. Dr. Oen menerima dengan lapang dada pembatalan tersebut. Hubungan antara Dr. Oen dan Pura Mangkunegaran tetap terjalin dengan baik. Dr. Oen bahkan diberi kebebasan untuk menengok Wu Yi Sujiwo kapan pun ia mau.
Atas segala jasa Dr. Oen bagi Pura Mangkunegaran, sang dokter dianugerahi gelar Kandjeng Raden Toemenggoeng (KRT) Oen Boen Ing Darmoehoesodo pada 11 September 1975. “Selama Dr. Oen Boen Ing memberikan pelayanan kesehatan kepada kami sekeluarga, putra sentana dan pegawai atau karyawan Dinas Urusan Puro Mangkunegaran, beliau tidak pernah bersedia menerima imbalan jasanya,” ucap Mangkunegara VIII.
Dr. Oen pun menjadi dokter Tionghoa pertama yang menerima pengharagaan tersebut. Gelar ini kemudian dinaikkan menjadi Kandjeng Raden Mas Toemenggoeng (KRMT) pada 24 Januari 1993, dan diberikan langsung oleh Mangkunegara IX kepada perwakilan keluarga Dr. Oen.
Berpulangnya Sang Dokter Sosial
Kondisi kesehatan Dr. Oen terus menurun sejak April 1977. Sang dokter akhirnya tutup usia dalam usia 79 pada 30 Oktober 1982. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, dihelat sebuah upacara khusus di Pura Mangkunegaran. Mangkunegara VIII memimpin langsung upacara tersebut.
Jenazah Dr. Oen diusung para abdi dalem menuju Krematorium Tiong Ting. Abu sang dokter kemudian dilarung di Sungai Bengawan Solo, sesuai dengan pesan terakhirnya. Dr. Oen tidak ingin makamnya kelak dikultuskan dan dijadikan tempat ritual tertentu, sehingga kremasi menjadi opsi terbaik.
K.R.M.T. Sanyoto Sutopo Hadikusumo didaulat untuk memimpin langsung upacara perabuan. Sementara Raden Mas Ngabehi Surato Sumosupadio dipercaya membawa Payung Kebesaran Bupati Sepuh Mangkunegaran. Ribuan massa mengiringi dari belakang dengan berjalan kaki atau mengendarai motor. "Jalanan sudah seperti lautan manusia," tutur Sunarto yang menyaksikan prosesi tersebut.
Penghormatan itu menunjukkan bagaimana sosok Dr. Oen begitu dicintai seluruh lapisan masyarakat. Banyak juga dari mereka yang tak mampu menyembunyikan raut kesedihan. Beberapa orang terlihat menitikkan air mata tatkala jenazah Dr. Oen melintas di hadapan mereka.
Tepat setahun setelah kepergiannya, Yayasan Kesehatan Panti Kosala memutuskan untuk mengabadikan nama Dr. Oen menggantikan nama RS Panti Kosala. Sejak 10 Oktober 1965, Tsi Sheng Yuan memang sempat berganti nama menjadi "Balai Kesehatan Panti Kosala," sebelum kemudian menjadi "Panti Kosala."
Keputusan penggantian nama sempat menuai kontroversi, mengingat prosesnya terjadi di rezim Soeharto, ketika seluruh hal yang berkaitan dengan Tionghoa dilarang untuk dipublikasikan. Di masa Orde Baru hanya RS Mata Dr. Yap di Yogyakarta dan RS Dr. Oen di Surakarta yang menggunakan nama Tionghoa sebagai namanya.
==========
Menyambut Tahun Baru Imlek 2019, Tirto menayangkan serial tentang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang berkontribusi besar dalam bidang masing-masing. Serial ini ditayangkan setiap Selasa hingga puncak perayaan Imlek pada 5 Februari 2019. Artikel di atas merupakan tulisan ketiga.
Ravando Lie adalah kandidat doktor sejarah di University of Melbourne, Australia. Ia menekuni studi peranakan Tionghoa dan menulis buku Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (2017). Saat ini sedang menyusun disertasi tentang surat kabar Sin Po dan nasionalisme Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan