tirto.id - Lembaran sejarah mencatat nama Tan Joe Hok sebagai pionir bagi segudang prestasi Indonesia di kancah bulutangkis. Ia merupakan peraih gelar All England pertama untuk Indonesia, menjadi orang Indonesia pertama yang memenangkan medali emas Asian Games (1962), dan termasuk dalam tim "The Magnificient Seven" yang berhasil mempersembahkan Piala Thomas untuk pertama kalinya bagi Indonesia pada 1958.
Tan Joe Hok lahir di Bandung pada 11 Agustus 1937. Ia hidup mengarungi enam zaman dalam keluarga yang serba pas-pasan. Peperangan memaksa keluarga Joe Hok harus hidup berpindah-pindah tempat, mulai dari Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, hingga kembali lagi ke Bandung.
Joe Hok langsung jatuh hati pada bulutangkis ketika melihat ayah dan teman-temannya memainkan olahraga ini. Kebetulan ayah Joe Hok mengubah semak belukar di halaman rumahnya, menjadi lapangan bulutangkis sederhana. Namun karena tidak memiliki raket, Joe Hok pun menggunakan bakiak milik ibunya sebagai pengganti raket. Sementara untuk kok, Joe Hok mengumpulkan kok-kok sisa yang dimainkan ayahnya.
Setelah beberapa tahun bermain menggunakan bakiak, Joe Hok pun memberanikan diri untuk meminjam raket ayahnya. Dengan bekal raket pinjaman tersebut, Joe Hok berhasil menjuarai berbagai pertandingan tingkat lokal. Namun impiannya untuk membeli raket sendiri baru terwujud setelah ia bekerja paruh waktu sebagai pemungut bola di lapangan tenis Hotel Hilton. Setelah bekerja selama beberapa bulan, Joe Hok pun berhasil membeli raket pertamanya seharga 120 rupiah.
Lie Tjoe Kong, pebulutangkis kenamaan asal Bandung, mengendus bakat yang dimiliki Joe Hok. Ia kemudian mengundang Joe Hok untuk bergabung dengan Blue White, yang merupakan cikal-bakal dari klub Mutiara Bandung. Dari sinilah Joe Hok mulai mengikuti kompetisi profesional dan mengalahkan para pebulutangkis terbaik di Bandung. Nama Joe Hok semakin dikenal setelah berhasil menjuarai Kejuaran Nasional Bulutangkis yang diadakan di Surabaya pada 1956.
Menjuarai Piala Thomas untuk Kali Pertama
Nama Tan Joe Hok semakin dikenal ketika ia masuk tim Indonesia untuk turnamen Piala Thomas yang berlangsung di Singapura pada 1958. Rekan-rekan Joe Hok terdiri dari Ferry Sonneville, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Lie Poo Djian, Olich Solichin, dan Eddy Yusuf. Tim ini dijuluki "The Magnificent Seven," sekalipun sama sekali tidak diunggulkan di mata lawan. Tan Thiam Beng dan Thio Djoe Jen menjadi pemain cadangan, sedangkan Raden Jusuf mengemban tugas sebagai manajer tim.
Menjelang keberangkatan, para pemain menginap di sebuah hotel melati di kawasan Gunung Sahari, dengan pertimbangan dekat dengan Bandara Kemayoran. Perjalanan ke bandara ditempuh dengan menggunakan becak. Dengan bermodal jas pinjaman, para pemain berangkat ke Singapura dengan mimpi meraih Piala Thomas untuk pertama kalinya. Ironisnya, keberangkatan tim ke Singapura hanya dilepas oleh Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Tidak ada pihak yang memperkirakan Indonesia mampu berbicara banyak di perhelatan internasional tersebut. Apalagi Indonesia merupakan pendatang baru dalam ajang ini.
Kala itu bulutangkis dunia dibagi ke dalam beberapa zona, dan Indonesia masuk ke dalam zona Oceania. Indonesia mampu melewati babak kualifikasi setelah berturut-turut mengalahkan Selandia Baru dan Australia, masing-masing dengan skor 9-0. Di grup lain, Thailand melaju sebagai perwakilan zona Asia; Amerika Serikat mewakili zona Amerika; dan Denmark menjadi perwakilan zona Eropa. Malaya yang merupakan juara bertahan dalam tiga pagelaran sebelumnya, langsung masuk ke babak utama.
Di babak pertama, Indonesia bertemu dengan Denmark yang di atas kertas jauh lebih diunggulkan. Di luar dugaan, Denmark berhasil digulung dengan skor 6-3. Erland Kops, juara All England 1958, digulung Tan Joe Hok straight set 15-8 dan 15-5. Joe Hok juga berhasil mengalahkan Finn Ribero yang merupakan salah satu tunggal terbaik Denmark dengan skor 1-15, 15-12, dan 15-10. Joe Hok yang sempat 'dihabisi' di set pertama, sebetulnya sempat tertinggal 3-9 di set kedua. Namun berkat keuletan dan ketenangannya, ia dapat menyusul perolehan angka dan bahkan memenangi set tersebut.
Dunia terkejut. Joe Hok yang sebelumnya dianggap sebagai 'anak bawang' oleh pers Denmark dan Malaya, kini mulai diakui keuletannya. Indonesia otomatis menjadi buah bibir di berbagai media internasional.
Di babak selanjutnya, Indonesia bertemu Thailand. Indonesia kembali menunjukkan keperkasaannya, melibas Thailand dengan skor telak 8-1. Kedua pemain terbaik Thailand, Charoen Wattanasin dan Thanoo Khajadbhye, yang sebelumnya hanya sekali kalah dalam turnamen ini, dibuat tidak berkutik oleh Joe Hok dan Sonneville.
Babak final mempertemukan Indonesia dan Malaya yang saat itu diperkuat pemain terbaik dunia, Teh Kew San. Indonesia berhasil mengalahkan Malaya dengan skor meyakinkan, 6-3. Indonesia pun berhasil merengkuh Piala Thomas untuk pertama kalinya, mematahkan semua prediksi miring.
Tan Joe Hok yang saat itu baru berumur 21 tahun menjadi sensasi, karena tidak terkalahkan sejak babak kualifikasi. Dirinya pun dijuluki sebagai "The Giant Killer" (pembunuh raksasa). Kemenangan tersebut berhasil membuka pundi-pundi prestasi Indonesia di dunia bulutangkis, dengan Joe Hok sebagai salah satu pionirnya. Nama Joe Hok pun dinobatkan sebagai pebulutangkis terbaik dunia tahun 1958.
Sports Illustrated, majalah olahraga terbesar di Amerika, mengulas kemenangan Joe Hok dalam sebuah artikel berjudul "Tan Joe Hok Takes Detroit" (13 April 1959). Artikel sepanjang dua halaman tersebut, menggambarkan Joe Hok sebagai pemain komplit: pukulan yang kuat, pengembalian yang sempurna, dan footwork yang begitu lincah. Salah satu wartawan Amerika bahkan menganggap pergerakan Joe Hok layaknya seorang balerina yang lincah, namun seketika berubah menjadi singa yang ganas ketika menyerang. Joe Hok pun menjadi atlet Indonesia pertama yang dimuat oleh Sports Illustrated.
Setibanya di Jakarta, publik menyambut para pahlawan ini dengan gegap gempita. Mereka diarak mengelilingi Jakarta, dan diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Para pebulutangkis ini juga diundang ke berbagai daerah, mulai dari Bandung, Palembang, hingga Medan.
Puja-puji media terhadap kecemerlangan Joe Hok tidak serta-merta membuatnya terlena. Dalam usianya yang tergolong belia, Joe Hok masih haus akan gelar. Pada 1959, ia berhasil memenangi All England setelah memenangi All-Indonesian Final dengan mengalahkan seniornya, Ferry Sonneville, dengan skor 15-10, 8-15, dan 15-8. Joe Hok berhasil menorehkan tinta emas dengan menjadi orang Indonesia pertama, yang mengibarkan Merah-Putih di ajang turnamen bulutangkis non-beregu paling bergengsi ini.
Setelahnya, Joe Hok berturut-turut memenangi kejuaraan US Open (1959 dan 1960) dan Canadian Open (1959 dan 1960).Ada sebuah cerita menarik ketika Joe Hok mengikuti turnamen US Open 1959. Ketika tiba di Detroit, Joe Hok ternyata terkena flu berat. Menolak mundur dari turnamen, Joe Hok tetap mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya dengan mengalahkan pemain tuan rumah, Fred Trifonoff, dua set langsung 15-3 dan 15-2.
Kemudian, Joe Hok berturut-turut mengalahkan Ted Moehlmann (unggulan keenam) dan Don Davis (unggulan ketiga). Pertandingan melawan Don Davis sempat tertunda karena kondisi Joe Hok yang semakin parah. Di final, Joe Hok sudah ditunggu oleh Charoen Wattanasin yang sudah lima kali dikalahkannya dalam berbagai kompetisi lainnya. Pertandingan berlangsung sengit, Joe Hok harus kehilangan set pertama 15-7. Namun Joe Hok membalas di set kedua dengan kemenangan 15-5. Set ketiga berlangsung dramatis. Namun ketenangan dan kepercayaan diri Joe Hok membuatnya mampu memenangi set tersebut dengan skor 18-14.
Di sela-sela karirnya sebagai atlet, Joe Hok tidak melupakan pentingnya pendidikan. Pada 1959, ia mendapatkan beasiswa untuk belajar kimia di Baylor University, Texas. Ia berhasil meraih gelar sarjananya pada 1963. Namun di tengah-tengah studinya, Joe Hok sempat beberapa kali dipanggil untuk memperkuat tim nasional Indonesia, di antaranya untuk ajang PIala Thomas 1961 di Jakarta. Joe Hok berhasil mempertahankan Piala Thomas dengan mengalahkan Thailand 6-3. Prestasi serupa kembali diulang Joe Hok ketika kembali berhasil mempertahankan Piala Thomas pada 1964 di Tokyo, setelah mengalahkan Denmark di final dengan skor tipis 5-4. Joe Hok juga berhasil mempersembahkan dua medali emas dan satu perak dalam perhelatan Asian Games 1962 di Jakarta.
Menentang Diskriminasi
Selepas pensiun sebagai pemain, Tan Joe Hok menjadi pelatih di Meksiko dan Hongkong, sebelum akhirnya bergabung sebagai pelatih PB Djarum pada 1982. Joe Hok juga sempat menjadi pelatih tim nasional Indonesia dan berhasil mempersembahkan Piala Thomas setelah menaklukkan Tiongkok dengan skor 3-2 pada 1984. Prestasinya sebagai pelatih membuat dirinya diganjar penghargaan “Pelatih Olahraga Terbaik” oleh SIWO/PWI (Seksi Wartawan Olahraga/Persatuan Wartawan Indonesia) di tahun yang sama.
Kontribusi Joe Hok bagi Indonesia jelas tidak diragukan lagi. Namun diskriminasi pemerintah Orde Baru terhadap golongan Tionghoa sempat menimbulkan kegalauan dalam dirinya. Anaknya tidak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan karena sistem rayonisasi, selain juga karena latar belakang Joe Hok sebagai keturunan Tionghoa. Menurutnya, bila ia mau, tidak akan sulit baginya untuk memboyong keluarganya pindah ke luar negeri dan melepas kewarganegaraan Indonesia.
“Namun saya tidak pernah ingin melakukan tindakan tersebut, karena saya adalah orang Indonesia!” ujar Joe Hok.
Menurutnya, tidak peduli hujan emas di negeri orang, dirinya akan tetap mencintai Indonesia, negeri yang telah membesarkan namanya. Tidak pernah sekalipun ia merasa patah hati terhadap Indonesia, sekalipun beberapa kali ia dikecewakan oleh pemerintah Indonesia
Joe Hok termasuk salah satu orang yang menolak keras kewajiban penggantian nama bagi orang Tionghoa. Namun regulasi memaksanya untuk mengubah namanya menjadi Hendra Kartanegara. Dirinya pun diwajibkan untuk mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Namun Joe Hok tetap menggunakan nama Tionghoanya dalam segala kesempatan.
"Saya dikenal, saya lahir sebagai Tan Joe Hok dan saya mati juga akan sebagai Tan Joe Hok, tetapi jiwa saya adalah Indonesia, negara saya adalah negara Indonesia. Itu tidak bisa hilang," tutur Joe Hok.
Joe Hok menerima Bintang Satya Lencana Kebudayaan No. 316/BTK/1961 pada 15 Juni 1961 dan Bintang Jasa Nararya No. 011/BTK/1964 pada 28 Agustus 1964. Atas kontribusi dan dedikasinya bagi perkembangan bulutangkis Indonesia, Tan Joe Hok dianugerahi lifetime achievement award dari Inspiro dan Flypower pada 2015. Penghargaan diberikan langsung oleh Menpora Imam Nahrawi. Kini di usianya yang sudah menginjak 81 tahun, Tan Joe Hok masih aktif sebagai salah satu pencari bakat untuk PB Djarum.
==========
Menyambut Tahun Baru Imlek 2019, Tirto menayangkan serial tentang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang berkontribusi besar dalam bidang masing-masing. Serial ini ditayangkan setiap Selasa hingga puncak perayaan Imlek pada 5 Februari 2019. Artikel di atas merupakan tulisan keempat.
Ravando Lie adalah kandidat doktor sejarah di University of Melbourne, Australia. Ia menekuni studi peranakan Tionghoa dan menulis buku Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (2017). Saat ini sedang menyusun disertasi tentang surat kabar Sin Po dan nasionalisme Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan