tirto.id - Shuttlecock tak kenal etnis. Raket tak pandang ras. Itulah mengapa Indonesia berhutang kepada bulu tangkis. Pertama, karena berkali-kali memberi medali emas. Kedua, sebab berkali-kali berhasil memperingatkan: betapa keberagaman bisa melahirkan kekuatan dan sesungguhnya dapat mendatangkan kebanggaan.
Tadi malam, beberapa menit sebelum kalender berubah menjadi 18 Agustus, lagu Indonesia Raya berkumandang di Rio Jeneiro. Berkat Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir, biasa dipanggil Owi dan Butet, 17 Agustus 2016 menjadi terasa lebih lengkap: dibuka oleh Indonesia Raya yang berwatak rutinitas tahunan bahkan mingguan, ditutup oleh Indonesia Raya yang mengatasi dan melampaui seremonial. Lagi-lagi berkat bulu tangkis!
Kendati sudah berkali-kali mempersembahkan emas olimpiade, baru kali ini cabang bulu tangkis mempersembahkan emas melalui nomer ganda campuran. Saat percakapan di media sosial semakin tajam oleh perbedaan politik, bahkan SARA, kemenangan Owi/Butet terasa amat simbolik. Keduanya menjadi padu padan yang terasa amat pas: laki-laki/perempuan, "bumiputera/keturunan", hingga Islam/Kristen. Tiga isu yang sensitif dalam politik Indonesia (seksisme, rasisme dan identitas agama) diatasi dengan begitu baik melalui raket dan shuttlecock. Owi dan Butet menuntaskan perdebatan mengenai politik identitas dengan cara yang -- tidak bisa tidak-- membungkam mereka yang gemar mengulik-ulik politik primordial.
Tapi sampai berapa lama? Tapi sampai kapan?
24 tahun lebih dulu dari Butet, persisnya pada 4 Agustus 1992, Susi Susanti berhasil membuat Indonesia Raya berkumandang di Olimpiade Barcelona. Itulah emas pertama yang berhasil diraih Indonesia di olimpiade. Saya menyaksikan momen bersejarah itu bersama belasan tetangga yang bertandang ke rumah untuk menyaksikan pertandingan final. Beberapa pembaca tulisan ini pasti tidak sempat menyaksikannya. Namun, potret Susi Susanti yang sedang berdiri di podium, dengan lelehan tipis air mata di wajahnya, menjadi saksi abadi dari momen bersejarah itu.
Kartono Ryadi, wartawan yang mengabadikan momen tersebut, konon selalu membawa ke mana pun negatif film dari foto bersejarah itu. Andai saya yang mengabadikannya, mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama. Foto itu sangat berharga, terlampau berharga. Bagi saya, hingga hari ini, foto itu harus dianggap sebagai salah satu foto terpenting dalam sejarah Indonesia. Dalam keabadiannya yang terbekukan oleh fotografi, momen itu mengisahkan sangat banyak cerita tentang sejarah negeri ini: perihal nasionalisme yang menghidupkan sekaligus mematikan, tentang perjuangan dan pengorbanan yang dipuja-puji sekaligus disangkal, mengenai sejarah politik identitas yang mengagumkan sekaligus menghinakan.
Dalam tubuh Susi mengalir darah sebuah ras yang paling dihinakan, paling dicurigai, paling disyakwasangkai, dan paling-paling yang lain. Segala stereotip tentang darah yang mengalir di tubuh Susi itu, ada yang berasal berasal dari kenyataan (baca: pengalaman), dan sisanya yang terbanyak datang dari prasangka. Tidak ada yang lebih ironis ketika ras yang begitu dibenci itu justru mempersembahkan kebanggaan terhebat yang bisa diberikan olah raga pada sebuah bangsa yang begitu beragam latar belakang rakyatnya.
Tak diragukan bahwa ada "air mata buaya", air mata bikin-bikinan, air mata pura-pura. Namun semogalah alam memaafkan siapa pun yang bisa-bisanya berpikir bahwa air mata Susi adalah air mata palsu. Air mata yang menetes dari sepasang mata Susi itu, bagi saya, adalah salah satu tangisan terpenting dalam sejarah kita. Dalam sekali tetes, air mata itu melumerkan kebencian, mencairkan purbasangka, dan menawarkan stereorip.
Namun pertanyaannya masih sama: Sampai berapa lama? Sampai kapan?
Tak sampai satu dekade setelah tangisan Susi itu, tidak sampai tujuh tahun kemudian, ras yang sama mengalami penistaan. Jika Agustus 1992 menjadi momen paling membanggakan bagi seorang Susi Susanti, Mei 1998 boleh jadi menjadi momen paling menyedihkan baginya. Ia yang pernah membikin bangga ratusan juta rakyat Indonesia harus menyaksikan bagaimana puaknya dihakimi, orang-orang yang sedarah dengannya dilukai, dan rasnya sendiri dicaci maki sebagai sepenuhnya durjana bagi tanah air.
Bayangkanlah kita semua sebagai Susi Susanti. Ketika ia menyanyikan Indonesia Raya di podium terhormat Barcelona 1992, saat ia akhirnya tak kuasa membendung air mata kala menyaksikan Merah Putih berkibar, pada saat yang sama Susi mungkin bertanya dalam hati: "Aku ini siapa? Sudahkah aku diterima sebagai anak bangsa?"
Enam tahun setelah tangisan bersejarah itu, Susi harus menelan kenyataan pahit: saat hendak menikah dengan Alan Budikusuma, atlet yang beberapa jam usai Susi menangis juga ikut mempersembahkan emas bagi Indonesia, yang satu ras dengannya, Susi mendapati bahwa dirinya diragukan kewarganegaraannya. Pontang-panting Susi mengurus surat untuk pernikahan, dan lintang-pukang pula Susi mengejar surat yang ia butuhkan. Harus menjadi isu di media massa dulu untuk Susi sampai ia mendapatkan apa yang ia butuhkan.
Matanya yang sipit membuatnya sangat sulit untuk menikah. Ia harus mengurus tetek bengek administrasi, seakan-akan ia tak pernah membikin seluruh anak bangsa -- dari yang berkulit cokelat dan bermata belo, hingga yang berkulit gelap dan berambut keriting-- menangis terharu karena bangga.
Ketika mengenang peristiwa yang menyedihkan itu, Susi bertutur: "Saya jelas kecewa saat itu sampai-sampai saya berucap apakah saat memenangi emas olimpiade, ada tanda Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) di belakang baju saya. Tidak kan? Hanya ada tulisan Indonesia."
Susi Susanti, dan semoga Butet tak mengalaminya, adalah fakta sejarah betapa negara ini sangat sering menistakan warganya sendiri. Susi Susanti, dan semoga Butet-Butet yang lain tak akan pernah mengalaminya, adalah bukti betapa negara kerap sewenang-wenang memperlakukan rakyatnya sendiri.
Prasangka itu, kawan, selalu mematikan. Anda hanya perlu membaca dengan rinci sejarah Indonesia untuk mengerti hal itu. Tanah air kita ini, kawan, tidak hanya basah oleh darah para pejuang yang mempertahankan kemerdekaan, namun juga lembab oleh darah yang tumpah karena prasangka: karena dituduh komunis, karena dituduh teroris, karena didakwa separatis, karena disangka pengkhianat, karena imannya difatwa sesat, karena Madura dan Dayak, karena dianggap Islam atau Kristen, karena dianggap Papua atau Melayu, dan karena-karena yang lain, yang berderet-deret panjangnya....
Bulu tangkis mengajarkan kita semua: setiap orang pada dasarnya bisa menjadi pahlawan. Bulu tangkis juga mengajarkan kita semua: setiap orang dapat memberikan yang terbaik, yang terhebat, bagi tanah airnya. Dan semogalah bulu tangkis juga dapat mengajarkan: bahwa penjahat itu lintas-ras dan lintas-etnis, dan para bajingan bisa dan terbukti dapat berasal dari kelompok mana pun.
Memang sulit menyangkal daya magis lagu Indonesia Raya. Tidak gampang menahan haru saat Indonesia Raya berkumandang. Namun semogalah pada setiap tetes air mata yang tumpah karena kumandang Indonesia Raya kita tidak hanya ingat pada kisah kejayaan dan kemenangan, namun juga mengerti pada deretan penderitaan dan kesakitan yang dialami banyak orang karena jargon dan slogan: entah itu jargon NKRI Harga Mati, jargon demi pembangunan, dan lain sebagainya.
Indonesia adalah tanah air kita, jangan sampai menjadi tempat di mana darah tumpah dengan sia-sia. Agar kemerdekaan tidak menjadi percuma hanya karena praktik penindasan yang lahir karena gagal memahami perbedaan.
Dirgahayu Indonesia!
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.