tirto.id - Gedung Serba Guna Purwokerto tak menayangkan film pada 4 dan 5 Januari 1946. Tapi, sekitar 300 laki-laki dan perempuan berkumpul di sana. Mereka berasal dari berbagai organisasi juga partai politik. Di antaranya Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), Masyumi, dan lainnya.
Orang pemerintahan paling tinggi jabatannya yang hadir adalah Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Letnan Jenderal Soedirman. Sebelum jadi Panglima, Soedirman pernah jadi komandan militer yang bermarkas tak begitu jauh dari kota Purwokerto.
Pada malam hari, Tan Malaka diminta berbicara. “Sesudah dua puluh tiga tahun Tan Malaka berbicara kembali di depan umum,” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946 (2008: 210).
Dalam pertemuan itu, Tan Malaka memperkenalkan Minimum Program yang isinya: berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%; Pemerintahan Rakyat (dalam arti sesuai haluan pemerintah dengan kemauan rakyat); Tentara Rakyat (dalam arti sesuai haluan tentara dengan kemauan rakyat); melucuti tentara Jepang; mengurus tawanan bangsa Eropa; menyita dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebun); menyita dan mengurus perindustrian (pabrik, bengkel, tambang, dan lainnya).
Soedirman menolak diplomasi berlebihan dengan negara sekutu yang tak menghargai kedaulatan Indonesia. Dia tampak tak sepakat terhadap jalan diplomasi pemerintah kabinet Syahrir dengan Inggris atau Belanda. “Lebih baik diatom (dibom) sama sekali daripada tidak merdeka 100%,” kata Soedirman.
Dari pertemuan di Purwokerto itu lalu lahirlah Persatuan Perjuangan (PP). Seperti Tan Malaka, Soedirman juga ada di dalamnya.
“PP sangat berhasil mengadakan demonstrasi-demonstrasi besar-besaran di (ibukota RI) Yogyakarta pada 17 Februari 1946,” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1988: 341). Panjang demonstran yang berpawai itu diperkirakan 8 km. Di mana “Soedirman mengambil tempat yang terkemuka,” tulis Ben lagi.
Soedirman bahkan berorasi. Menurut Soedirman, meski kekurangan senjata, Indonesia punya modal semangat yang kuat. Jika ada persatuan kuat semacam PP, dijamin Indonesia akan menang.
Pada 25 Februari 1946, laskar-laskar rakyat berkongres di Magelang. Soedirman hadir di sana, begitu pula Tan Malaka. Seperti Soedirman, kebanyakan tentara dari golongan laskar sangat sepakat dengan gagasan PP tentang kemerdekaan 100% dan penolakan berunding dengan negara musuh.
Duo Soedirman-Tan Malaka berusaha meyakinkan banyak pihak untuk berani frontal kepada Inggris yang masih bercokol di beberapa kota pelabuhan di Indonesia bagian barat. Tak hanya Inggris, kepada Belanda pun tak perlu ragu untuk bersikap keras.
Pandangan Soedirman-Tan Malaka itu berseberangan sekali dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan menteri keamanan rakyatnya, Amir Sjarifuddin. Sjahrir dan Amir adalah pendukung setia jalur perundingan.
Tan Malaka dan pemimpin PP akhirnya ditangkap dan ditahan di Solo oleh Polisi Tentara (Polisi Militer) pada Maret 1946. Setelahnya, pemerintahan Sjahrir memberikan pembenaran soal penahanan. Soedirman yang merupakan pucuk pimpinan tentara pun membuat pernyataan. Seperti dimuat Antara dan Kedaulatan (21/03/1946) yang dikutip Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946-Maret 1947 (2009: 3), Soedirman menyatakan bahwa "penangkapan-penangkapan itu sekali-kali bukan perintah dari pucuk pimpinan tentara."
Di masa-masa penahanan itu, seorang perwira bernama Rachmat menghampiri Tan Malaka dan konco-konconya yang ditahan. Poeze menyebut, mereka (Tan Malaka dan kawan-kawan) dapat salam dari Soedirman. Si perwira itu tak lupa bilang, Presiden Sukarno akan memangil mereka untuk berunding (hlm. 8).
Memilih Jalan Oposisi
Pada paruh pertama 1946, Soedirman terlihat sebagai orang yang tak seiya-sekata dengan pemerintah sipil. Ketika pemerintah ingin Barisan Banteng ditumpas tentara, setelah kelompok milisi itu menculik Sunan Pakubuwono XII dan berkuasa di Solo setelah April 1946, Soedirman tak bertindak keras kepada para penculik.
“Soedirman dan para panglima tentara setempat berhasil melindungi Barisan Banteng dari kemauan pemerintah,” tulis Merle C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008: 468). Meski begitu, kekuasaan pemerintah pusat berhasil ditegakkan di sana. “Atas desakan Soedirman dan kaum radikal, hak-hak istimewa para raja Surakarta di luar tembok istana mereka secara resmi dihapuskan oleh pemerintah pada 1 Juni 1946,” lanjut Ricklefs.
Tak bisa diselesaikan oleh tentara, Barisan Benteng pun ditindak polisi atas kemauan pemerintah. “Tanggal 16 Mei 1946, atas perintah Menteri Dalam Negeri, Dr. Sudarsono, duabelas orang pimpinan Barisan Banteng, termasuk Dr. Muwardi, yang merupakan tulang punggung kekuatan Persatuan Perjuangan ditangkap oleh pasukan kepolisian di Solo. Ini menyebabkan Jenderal Soedirman tampil ke muka dan memerintahkan supaya semua pimpinan Barisan Banteng dibebaskan,” tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1976: 168).
Bulan madu mesra antara Tan Malaka dengan Soedirman itu tidak langgeng. Ia bubar dalam hitungan bulan saja. Setelah Peristiwa 3 Juli 1946, di mana orang-orang PP mendatangi istana negara untuk mendesak pemerintah memberi mandat kepada mereka, Soedirman menjauh dari Tan Malaka dan kelompoknya.
Tan Malaka dan kawan-kawannya ditahan. Sementara itu, Soedirman terus menjadi Panglima Besar hingga kematiannya pada 29 Januari 1950, tepat hari ini 68 tahun silam.
Sejak 1945, Soedirman adalah orang kuat di Indonesia. Dia menguasai tentara. Sama berpengaruhnya dengan Tan Malaka.
Dalam Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman (1983), Abdul Haris Nasution, dengan mengutip Adam Malik, menyebut Tan Malaka dan Soedirman punya persamaan. “Mempunyai urat dan akar langsung di kalangan-kalangan pemuda radikal, anggota-anggota pasukan PETA dan kalangan bekas Romusha” (hlm. 92).
Kelompok-kelompok ini telah merintis dan melancarkan penyerbuan terhadap pos-pos pertahanan Jepang. Sudah tentu mereka adalah orang-orang yang potensial mendukung Indonesia Merdeka 100% tanpa diplomasi yang merugikan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan