tirto.id - Sabtu, 27 April 1996. Pada pagi hari para pegawai Taman Buah Mekar Sari Bogor dikagetkan dengan kabar kedatangan Tien Soeharto. Pekerja yang semula sedang mengikuti pelatihan langsung bersiap menyambut sang ibu negara yang datang bersama cucu-cucunya.
Sampai di sana Tien langsung berkeliling taman dengan kereta. Ia sempat menanyakan koleksi tanaman yang ada di kebun besar milik anaknya itu. Mohamad Reza, Kepala Taman Buah Mekar Sari, menjawab bahwa satu tanaman buah yang belum dimiliki adalah murbai putih.
“Ibu Tien menanyakan kepada saya tentang koleksi tanaman buah seperti namnam, kepel, dan belimbing wuluh, dan murbai putih, apakah sudah punya atau belum. Dan saya jawab sudah ada kecuali murbai putih yang belum punya, dan Ibu Tien mengatakan di rumah kediamannya ada, apakah boleh ditanam di sini,” kata Mohamad Reza.
Sebelum pulang Tien menyempatkan memetik mangga dan belimbing wuluh, lalu dibagikan pada cucu-cucunya. Mereka pun berebutan mengambil buah dari sang nenek. Tien meninggalkan taman buah sekitar pukul 15.30.
Cerita kunjungan itu diterbitkan harian Kompas pada 29 April 1996. Dan kunjungan itu adalah ekskursi terakhir Tien ke sana. Keesokan harinya, Minggu, 28 April 1996, perempuan bernama asli Siti Hartinah ini mengembuskan napas terakhir di RSPAD Gatot Subroto. Ia meninggal pukul 05.10 karena serangan jantung.
Sehari sebelum Tien berkunjung ke Mekar Sari, Soeharto berangkat memancing ke Anyer. Sutanto, sang ajudan, juga turut menemaninya. Menjelang gelap Soeharto yang baru mendapat dua ikan merasakan firasat buruk.
“Ini kok tidak seperti biasanya?” kata Soeharto seperti dikisahkan Sutanto dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011: 491).
Sore itu cuaca pun menjadi buruk. Kapal yang ditumpangi Soeharto untuk memancing segera merapat ke kapal milik TNI AL yang lebih besar. Keesokan harinya Soeharto memutuskan pulang ke Jakarta. Saat Soeharto pulang, istrinya masih berada di Mekar Sari.
Sutanto tak menyangka firasat buruk Soeharto saat itu rupanya terkait Tien. Sehari setelah pulang tiba-tiba Tien terkena serangan jantung dan langsung di bawa ke rumah sakit. Selama Tien dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Soeharto selalu menemani.
“Baru beberapa hari kemudian saya menyadari hari itu mungkin pertanda menjelang wafatnya ibu negara,” tulis Sutanto.
Pelepasan Spesial
Kematian Tien diumumkan langsung oleh Mensesneg Moerdiono. Pada Minggu malam, Moerdiono pun mengumumkan hari berkabung nasional selama tujuh hari mulai 28 April hingga 4 Mei 1996. Begitu kabar tersiar, masyarakat langsung memasang bendera setengah tiang sebagai wujud duka.
Dalam pemberitaan Kompas (29/4/1996), Moerdiono mengatakan keluarga besar Soeharto mengucapkan terima kasih atas ucapan bela sungkawa dan doa dari masyarakat dan berbagai pihak. Selain itu Moerdiono mewakili Soeharto dan keluarga meminta maaf bila semasa hidup ada kesalahan yang dibuat almarhumah.
"Pak Harto minta doa dari masyarakat Indonesia dan beliau mohon semua kesalahannya (Ny. Tien), ucapan beliau, langkah beliau yang tidak berkenan di hati, kiranya dapat dimaafkan," kata Moerdiono.
Kabar kematian Tien juga diumumkan di tempat pelaksanaan salat Idul Adha dan gereja yang saat itu sedang beribadah Minggu. Setelah itu banyak orang berbondong-bondong ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana untuk memberikan penghormatan terakhir.
Berdasarkan laporan Kompas (29/4/1996), terlihat sejumlah pejabat, politikus, dan perwakilan negara tetangga datang melayat. Beberapa yang terlihat di antaranya A.H. Nasution, yang datang sambil dipapah; Megawati Soekarnoputri dan putra-putri Bung Karno; dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Sementara itu Presiden Singapura Ong Teng Cheong, PM Singapura Goh Chok Tong, PM Malaysia Mahathir Mohamad, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolikiah langsung terbang ke Solo untuk mengikuti upacara pemakaman.
Pada 29 April 1996 pukul 10.00 jenazah Tien pun diberangkatkan ke bandara Halim Perdanakusuma untuk diterbangkan ke Solo dengan pesawat Hercules. Di Solo, jenazah Tien disambut banyak masyarakat sepanjang jalan. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Astana Giribangun, mausoleum dinasti Soeharto, di Karanganyar.
Kepergian ibu negara itu mendapat sorotan khusus dari media. Halaman utama koran dipenuhi berita dukacita, begitu pula televisi. TVRI, misalnya, secara khusus hanya menayangkan foto Tien dengan iringan lagu "Gugur Bunga" secara terus-menerus.
Selama tujuh hari berita-berita seputar kematian sang ibu negara masih bermunculan. Kompas, misalnya, nyaris tak pernah absen memuat berita tentang Tien. Pada 3 Mei 1996, Kompas bahkan menerbitkan beberapa tulisan khusus untuk mengenang kiprah istri penguasa Orde Baru itu.
Setelah Kematian
Bagi Soeharto, Tien tidak tergantikan. Itu terbukti ketika Soeharto menolak tawaran agar anak pertamanya, Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana atau Mbak Tutut, menggantikan posisi Tien sebagai ibu negara. Dalam buku Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana (2008), Femi Adi Soempeno menuliskan penolakan itu disampaikan Soeharto melalui Moerdiono pada 23 Mei 1996.
“Mensesneg Moerdiono 23 Mei lalu mengungkapkan Presiden Soeharto menegaskan, tidak akan menggantikan posisi ibu Negara. Posisi itu tidak dapat digantikan siapa pun,” tulis Femi.
Setelah kepergian Tien, beredar rumor miring terkait penyebab kematian sang ibu negara. Dalam Pak Harto: The Untold Stories, Sutanto menuliskan bahwa rumor tersebut memberitakan Bambang dan Tommy berkelahi karena berebut proyek mobil nasional. Mereka pun saling baku tembak di dalam rumah dan akhirnya salah satu peluru nyasar mengenai sang ibu.
“Itu adalah rumor dan cerita yang sangat kejam dan tidak benar sama sekali. Saya saksi hidup yang menyaksikan Ibu Tien terkena serangan jantung mendadak, membawanya ke mobil dan terus menunggu di luar ruangan saat tim dokter RSPAD melakukan upaya medis,” tulis Sutanto.
Editor: Ivan Aulia Ahsan