Menuju konten utama
Mozaik

Teddy Djauhari, CV Tropic, dan Distribusi Rekaman Arus Pinggir

Teddy membuka akses alat produksi dan jaringan distribusi kaset rekaman musik bagi grup band independen di Bandung pada paruh pertama 1990-an. 

Teddy Djauhari, CV Tropic, dan Distribusi Rekaman Arus Pinggir
Teddy Djauhari. (FOTO/Audry Rizki Prayoga)

tirto.id - Bagi sebagian besar masyarakat di Kota Bandung, saat ini Jalan Otto Iskandar Dinata cenderung dikenal sebagai kawasan yang identik dengan hiruk pikuk perniagaan tekstil, perlengkapan rumah tangga, dan material konstruksi.

Namun dalam kenangan Richard Mutter, kawasan ini merupakan situs yang bersejarah bagi perjalanan karier bermusiknya. Kesan itu saya tangkap saat menyaksikan sosok yang dikenal sebagai pemain drum grup band PAS ini mengisahkan masa-masa merintis eksperimen produksi-distribusi rekaman musiknya secara mandiri dalam sebuah gelar wicara yang ditayangkan saluran Youtube bernama 40124 Mixroom.

Dalam buku 100 Tahun Musik Indonesia, penulis Denny Sakrie mengeklaim bahwa grup band rock alternatif yang berbasis di Bandung ini berperan penting dalam memopulerkan etos produksi-distribusi rekaman musik independen di Indonesia. Klaim tersebut dapat dipertimbangkan, mengingat kaset debut rekaman musik grup band PAS yang dirilis pada 1994 dengan judul 4 Through The Sap ini menginsipirasi sebagian besar anak muda, setidaknya di Bandung, untuk mengorganisasi produksi-distribusi rekaman musiknya sendiri, alih-alih menunggu tawaran kontrak dari label rekaman.

Sejumlah debut rekaman musik grup band Bandung yang dirilis secara independen seperti Puppen dengan judul Not A Pup E.P (1995) dan Pure Saturday dengan judul Pure Saturday (1996) disebut Denny Sakrie sebagai gambaran tentang pengaruh keberadaan debut rekaman grup band PAS ini bagi kalangan anak muda di kota tersebut.

Richard berkisah bahwa eksperimen produksi-distribusi rekaman musik independen ini dipicu oleh rasa frustasi, mengingat tawaran kaset rekaman demo musik grup band PAS kerap mendapat penolakan maupun intervensi artistik dari pihak label rekaman. Beruntung, manajer mereka, yakni Samuel Marudut, menawarkan ide untuk mengorganisasi produksi-distribusi kaset rekaman musiknya sendiri dengan mendirikan label rekaman bernama SAP Music Management.

Fenomena label rekaman independen bernama Sub Pop, yang diorganisasi anak muda di Kota Seattle, Amerika Serikat, guna memfasilitasi aktivitas produksi-distribusi rekaman musik komunitasnya menjadi inspirasi Samuel Marudut. Terlebih lagi, Sub Pop juga turut terlibat dalam memfasilitasi produksi-distribusi album debut Bleach dari Nirvana, grup band asal Amerika Serikat, yang tengah populer di kalangan pergaulan grup band PAS pada awal 1990-an.

Persoalannya, situasi perniagaan rekaman musik yang berlaku pada masa itu mewajibkan label rekaman untuk berbadan hukum, guna mendapatkan izin usaha produksi-distribusi dan pita cukai kaset. Tanpa aspek legalitas, sebuah produk kaset rekaman musik mustahil dapat didistribusikan di gerai rekaman musik. Meski demikian, syarat ini sulit dipenuhi Samuel Marudut dan grup band PAS, mengingat kondisi finansial mereka yang terbatas.

Perlu dipahami bahwa praktik mengorganisasi infrastruktur produksi dan jaringan distribusi rekaman musik mandiri seperti label rekaman dan distro, baru menjadi tradisi yang marak di Bandung pada paruh kedua 1990-an.

Hal ini dikonfirmasi Helvi Sjarifuddin, fotografer di balik materi sampul rekaman 4 Through The Sap dan manajer grup band Puppen era rekaman Not A Pup E.P (1995) dan MK II (1998), saat saya menemuinya secara khusus guna membahas modus produksi-distribusi rekaman musik yang dibayangkan anak muda pada masa sebelum maraknya distro di kota tersebut.

Sosok yang di kemudian hari juga dikenal sebagai salah satu pendiri label rekaman independen 4012 dan distro Reverse bersama Richard Mutter ini berpendapat bahwa modus distribusi rekaman musik yang dibayangkan oleh lingkungan pergaulan mereka pada paruh pertama 1990-an adalah menjual kaset di gerai rekaman musik.

Situasi kian pelik, mengingat lagu-lagu yang direkam mereka didominasi dengan judul dan lirik berbahasa Inggris. Padahal, kaset rekaman musik dengan judul dan lirik lagu berbahasa Inggris yang didistribusikan di gerai rekaman musik juga dikenakan cukai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Beruntung, Richard Mutter dan Samuel Marudut juga tengah aktif bekerja sebagai pengarah siaran musik di stasiun radio GMR (Generasi Muda Rock), yang dikenal konsisten menyiarkan rekaman musik rock sejak paruh kedua 1960-an. Pekerjaan ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkenalan dengan produser-distributor kaset rekaman musik, yang berperan penting dalam mewujudkan keberadaan kaset 4 Through The Sap di gerai rekaman musik.

Sosok tersebut bernama Teddy Djauhari.

Teddy Djauhari

Teddy Djauhari. (FOTO/Audry Rizki Prayoga)

Peran Penting Teddy dan Siasatnya

Teddy adalah pemilik CV Tropic, agen produksi-distribusi kaset rekaman musik terbesar di regional Jawa Barat, yang berbasis di Jalan Otto Iskandar Dinata nomor 153, Bandung. CV Tropic punya pendekatan yang kontras dengan sebagian besar produser-distributor kaset rekaman musik pada masa itu, yang hanya bersedia menerbitkan pita cukai kaset rekaman musik dengan syarat minimum duplikasi kaset puluhan ribu kopi. Teddy justru memberikan kelonggaran pada grup band PAS berupa tawaran minimum duplikasi kaset seribu kopi.

Demi mengatasi kendala legalitas SAP Music Management dan mewujudkan keberadaan kaset rekaman musik 4 Through The Sap di gerai rekaman musik, Teddy juga bersiasat dengan cara mencantumkan logo Nova, lini label rekaman musik CV Tropic yang telah memiliki izin usaha produksi-distribusi, pada setiap bagian lipatan tengah sampul kaset rekaman musik ini.

Siasat serupa juga diterapkan Teddy pada kaset debut rekaman musik grup band Puppen, yang notabene menjadi klien jasa duplikasi dan distribusi kaset rekaman musik CV Tropic berikutnya. Alhasil, apabila kita mencermati sampul kaset Not a Pup E.P yang kini telah didigitalisasi dan diakes dalam situs web Irama Nusantara, logo dan informasi tentang label rekaman yang didirikan grup band Puppen, yakni Pup-Distorsi Records, hanya tercantum pada bagian dalam sampul. Di satu sisi, simbol tipografi “N”, yang notabenenya merupakan logo label rekaman Nova, tercantum secara jelas pada bagian lipatan tengah sampul kaset rekaman musik tersebut.

Kemudian, sebagaimana yang kerap dikisahkan secara turun-temurun oleh sebagian besar jurnalis dan media musik di Indonesia adalah sejarah.

Tidak hanya tentang rekor penjualan kaset 4 Through The SAP yang mencapai 5.000 kopi dalam rentang waktu satu bulan. Keberhasilan debut rekaman musik ini dalam menembus gerai rekaman musik pada saat itu juga menginspirasi rekan-rekan grup band PAS, seperti Puppen dan Pure Saturday, untuk menggunakan jasa duplikasi dan distribusi kaset rekaman musik CV Tropic.

Dalam kenangan Richard Mutter, situasi ini memberikan Teddy ceruk bisnis rekaman musik yang baru, mengingat reputasi CV Tropic lebih disorot sebagai produser dan distributor kaset rekaman musik bercorak pop Sunda.

Terlebih lagi, debut rekaman musik Puppen dan Pure Saturday juga mengalami rekor penjualan yang signifikan untuk ukuran grup band yang tidak dikontrak oleh label rekaman rekaman musik arus utama dengan jaringan distribusi dan promosi yang masif.

Alhasil, memasuki paruh kedua 1990-an, Teddy mulai membuka lini bisnis baru CV Tropic, yakni jasa duplikasi dan distribusi kaset rekaman musik bagi grup band yang membentuk label rekamannya sendiri dengan modal yang minim dan tanpa izin produksi-distribusi. Menurut Helvi, lini bisnis baru CV Tropic ini kemudian berperan penting dalam menopang produksi-distribusi kaset rekaman musik grup band independen di Bandung hingga satu dekade berikutnya.

Peran penting Teddy tidak hanya tentang membuka akses alat produksi dan jaringan distribusi kaset rekaman musik bagi grup band independen di Bandung pada paruh pertama 1990-an. Berdasarkan penelusuran saya atas beragam koleksi arsip rekaman musik populer dan media cetak yang didigitalisasi oleh situs web Irama Nusantara dan Museum Musik Indonesia, Teddy juga terlibat aktif dalam industri rekaman musik populer sejak 1970-an.

Meski demikian, Teddy merintis bisnis rekaman musiknya dengan menjadi produser-distributor kaset rekaman musik populer Barat secara non resmi. Majalah anak muda Aktuil dalam edisi 181/Tahun 1975, memberitakan bahwa CV Tropic termasuk sebagai salah satu gerai rekaman yang aktif memproduksi dan mendistribusikan kaset rekaman musik populer Barat secara non resmi.

Bahkan, dalam Aktuil edisi 203/Tahun 1976, Nova juga diberitakan termasuk dalam daftar kepolisian sebagai label rekaman yang aktif “membajak” rilisan kaset rekaman pemusik lokal dengan jaringan distribusi yang mencapai Kota Semarang.

Kehadiran teknologi duplikasi kaset, pertumbuhan konsumen kaset rekaman musik populer Barat non resmi, dan tidak diratifikasinya kembali konvensi Bern tentang hak cipta oleh pemerintah Indonesia merupakan faktor kunci yang memicu maraknya bisnis kaset rekaman musik non resmi ini di Indonesia, setidaknya hingga akhir 1980-an.

Namun dalam kenangan Boy Worang, seniman Bandung, keberadaan produser-distributor kaset rekaman musik non resmi seperti CV Tropic ini dipandang berperan penting dalam memberikan akses hiburan dan pengetahuan tentang perkembangan musik populer Barat yang terjangkau bagi sebagian besar anak muda di Bandung pada masa itu.

Menurut sosok yang dikenal aktif bermusik dan menjadi promotor hiburan di Bandung bersama Gangs Art selama paruh pertama 1970-an ini, tingginya biaya konsumsi rekaman piringan hitam impor merupakan faktor yang memengaruhi pertumbuhan konsumsi anak muda pada kaset rekaman musik populer Barat non resmi.

Sejak didirikan pada 1973, CV Tropic juga merupakan salah satu gerai rekaman musik yang aktif dikunjungi anak muda di Bandung, mengingat label rekaman musik Nova juga menyediakan jasa produksi kaset kompilasi, yang daftar lagunya dapat dipesan sesuai dengan permintaan konsumen.

Selama 1970-an, kaset rekaman musik populer Barat non resmi ini dikenal dengan istilah “kaset ketikan.” Menurut Denny Sakrie, istilah ini berasal dari format cetakan daftar keterangan lagu permintaan konsumen, yang ditulis dengan alat mesin tik pada sampul kaset.

Terlepas dari isu moral dan etika perniagaan rekaman, tidak dapat dipungkiri bahwa Nova merupakan salah satu label rekaman yang aktif mensponsori produksi dan distribusi kaset rekaman dari kancah pemusik populer lokal, yang kerap diabaikan oleh arus utama industri musik pada 1970-an.

Grup band Giant Step, Superkid, Jopie Item Combo, serta solois Deddy Stanzah merupakan nama-nama dari kancah musik arus pinggir yang tercatat pernah dirilis oleh Nova sepanjang 1976-1977. Kaset rekaman musik yang diproduksi Nova secara resmi ini juga tidak hanya didistribusikan CV Tropic dalam gerai rekaman musik yang tersebar di regional Jawa Barat. Terkadang, majalah Aktuil juga diajak kerja sama oleh Nova untuk mempromosikan rilisannya, seperti album kedua Superkid dengan judul Dezember Break, yang dijadikan bonus hadiah kegiatan sayembara “polling tangga lagu” majalah tersebut.

Teddy Djauhari

Teddy Djauhari. (FOTO/Audry Rizki Prayoga)

Umumnya, para pemusik yang dikontrak oleh Nova juga tidak pernah mengungkapkan pandangannya secara negatif tentang label rekaman tersebut selama proses rekaman pada media musik seperti Aktuil dan Top, yang notabene kerap dipandang sebagai saluran berbagi keluhan bagi para pemusik dari kancah musik arus pinggir selama 1970-an.

Padahal, kedua majalah ini dikenal kerap mengekspos praktik intervensi artistik label rekaman terhadap para pemusik dari kancah arus pinggir yang dikontraknya selama proses rekaman. Dalam wawancara yang dimuat majalah Top edisi 43/Tahun 1976, pemusik Jopie Item juga mengungkapkan bahwa pertemuannya dengan Teddy merupakan berkah. Sebab, saat Jopie Item menegosiasikan kontrak rekaman dengan Nova untuk proyek musiknya bersama Grace Simon yang berjudul “Remaja”, seluruh keinginan teknis rekamannya juga dapat difasilitasi oleh Teddy.

Sifat kooperatif Teddy terhadap proses kreatif pemusik yang dikontraknya tersebut didorong oleh beberapa faktor.

Pertama, potensi ceruk pasar konsumen rekaman lagu-lagu rock dari pemusik lokal, yang belum digarap oleh label rekaman arus utama pada masa itu, terutama setelah dipicu tingginya animo penonton konser grup band rock Britania Raya Deep Purple pada akhir 1975 di Jakarta.

Kedua, penjualan kaset album rekaman musik kedua dari Benny Soebardja & grup band Lizard yang berjudul Gimme Piece of Gut Rock (dirilis oleh label rekaman SM pada 1976) yang tergolong menjanjikan untuk ceruk pasar konsumen kaset grup band rock lokal pada masa itu juga menjadi pertimbangan Teddy untuk mensponsori produksi kaset album rekaman Giant Step yang berjudul Kukuh Nan Teguh. Terlebih lagi, Teddy juga merupakan penggemar grup band Giant Step.

Para pemusik yang dikontrak Nova juga tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan Teddy saat menonton mereka dalam pertunjukan musik langsung. Jopie Item merupakan contoh pemusik yang dikontrak Nova setelah Teddy menonton pertunjukannya dalam program tayangan musik jazz TVRI.

Nova juga aktif memproduksi kaset album rekaman musik Sunda, baik yang bercorak tradisional hingga pop. Kedua corak rekaman musik ini, kemudian menjadi penopang utama roda bisnis rekaman musik Teddy Djauhari. Sebab, sebagian besar pemusik dari kancah musik arus pinggir yang pernah dirilis oleh Nova, kemudian mulai direkrut oleh label rekaman arus utama memasuki akhir 1970-an.

Sebagian besar label rekaman yang notabenenya berbasis di Jakarta ini relatif memiliki modal produksi, promosi dan jangkauan distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan label rekaman seperti Nova.

Alhasil, dilansir dari Aktuil edisi 9/Tahun XII (1980), fokus bisnis rekaman musik Teddy Djauhari juga mulai beralih sebagai agen distributor resmi khusus regional Jawa Barat untuk kaset rekaman musik pop dan dangdut berbahasa Indonesia, serta produser-distributor resmi kaset rekaman musik tradisional dan pop Sunda, yang kemudian memberikannya kesuksesan komersial.

Terlebih, rekaman musik bercorak pop Sunda juga tengah mengalami pertumbuhan penjualan yang signifikan di regional Jawa Barat pada akhir 1980-an, terutama sejak popularitas rekaman musik berjudul Kalangkang, yang ditampilkan grup Getek’s bersama penyanyi Nining Meida dan Adang Chengos.

Dilansir dari situs web tempo.co, CV Tropic secara resmi mengakhiri bisnis rekaman musiknya pada Desember 2012. Menurut Helvi Sjarifuddin, proses berakhirnya bisnis rekaman musik CV Tropic ini dapat ditelusuri sejak medio 2000-an.

Saat itu, situasi bisnis rekaman musik tengah mengalami pergeseran. Media rekaman musik berformat kaset tidak lagi menjadi primadona. Perannya mulai digantikan secara bertahap oleh format rekaman musik yang lebih praktis seperti cakram padat (compact disc), mp3, nada sambung pribadi (ring back tone) maupun layanan mendengarkan musik berbasis situs web, media sosial dan aplikasi ponsel.

Meski Teddy telah berupaya untuk memperluas lini bisnis distribusi rekaman musik CV Tropic dalam format cakram padat pada paruh 1990-an, arus pembajakan rekaman musik justru semakin marak dengan kehadiran format rekaman musik tersebut.

Penurunan konsumen dan permintaan duplikasi-distribusi kaset rekaman musik di CV Tropic ini dapat ditelusuri sejak 1998. Krisis ekonomi pada masa itu tidak hanya mendorong masyarakat untuk mencari modus konsumsi rekaman musik yang lebih murah, tetapi juga kesempatan untuk mencari penghasilan dengan menjadi pembajak rekaman musik cakram padat. Kombinasi pesatnya kemajuan teknologi produksi-distribusi dengan pembajakan rekaman musik ini, kemudian membawa konsekuensi logis pada rontoknya agen produksi-distribusi rekaman musik seperti CV Tropic.

Kini bangunan gerai duplikasi dan distribusi rekaman CV Tropic, yang pernah menjadi saksi bisu dari industri rekaman musik terbesar di regional Jawa Barat ini telah beralih fungsi menjadi gerai perlengkapan ekstraksi minuman kopi.

Eksistensi CV Tropic dalam industri rekaman musik lokal sepanjang 1973-2012, menunjukkan bahwa dalam mendiskusikan kancah musik arus pinggir juga tidak dapat dipisahkan dari eksistensi produser-distributor kaset rekaman musik populer Barat dan lokal secara non resmi, serta pemusik tradisional dan pop berbahasa regional secara resmi.

Dengan demikian, menjadi ironi tersendiri, bahwa kancah musik arus pinggir selama 1970-an dan 1990-an juga memiliki “utang sejarah” pada “industri kaset rekaman bajakan” maupun produser-distributor kaset dengan jenis musik yang selama ini kerap dipersepsikan oleh para audiens lapisan menengah urban sebagai selera yang “terbelakang” dan “kuno”.

Baca juga artikel terkait INDIE LABEL atau tulisan lainnya

tirto.id - Musik
Reporter: Audry Rizki Prayoga
Kontributor: Audry Rizki Prayoga
Editor: Nuran Wibisono