tirto.id - Trent Raznor memang lekat dengan perilaku yang menarik, terutama soal sikapnya pada label rekaman. Pendiri band rock Nine Inch Nails (NIN) ini punya sejarah pertikaian cukup panjang dengan label rekaman. Pada 2007, seusai merilis album kelima Year Zero, NIN memutuskan untuk berpisah dengan Interscope Records, perusahaan rekaman yang dimiliki Universal Music Group. Label ini yang menaungi NIN sejak album perdana, Pretty Hate Machine (1989).
"Aku sudah menjalani kontrak rekaman selama 18 tahun dan sudah menyaksikan bagaimana bisnis musik berubah secara radikal. Perubahan yang membuatku lega akhirnya aku bisa mempunyai hubungan langsung dengan fans. Karena (hubungan) itu kurasa lebih cocok dan akan menguntungkan," tulis Trent dalam situs resmi NIN.
Salah satu pangkal masalahnya, antara lain, adalah Trent kesal melihat bagaimana label rekaman memasang harga untuk album musik. Di Australia, album Year Zero dijual dengan harga hampir 30 dolar (Rp377 ribu), harga yang dibilang Trent sebagai "absurd." Dalam sebuah konsernya di negeri Kanguru, Trent malah menghimbau fans-nya untuk merayakan kultur berbagai file. "Curi saja album kami, lalu bagikan pada kawan-kawan kalian," katanya.
Trent tak main-main soal konsep berbagi file ini. Di album berikutnya, Ghost I-IV (2008), NIN menyediakan pelbagai pilihan cara mendapatkan album ini. Mulai mengunduh gratis dengan lisensi Creative Commons, hingga yang mencantumkan beberapa opsi harga. Termasuk kemasan Ultra Deluxe Limited Edition yang dibanderol 300 dolar.
Album Ghost I-IV ini dirilis via The Null Corporation, sebuah label rekaman yang didirikan Trent pada 2008. Label ini merilis karya dari NIN dan How to Destroy Angels, band eksperimental yang juga digawangi Trent dan istrinya Mariqueen Maandig. Pada album ketujuh, The Slip (2008), NIN juga masih menggratiskan albumnya. Trent malah menuliskan pesan pendek, "Ini traktiranku." Dua bulan kemudian, ada rilisan fisik yang dicetak dalam jumlah terbatas.
Meski pada 2013 NIN merilis album Hesitation Mark melalui label Columbia, tetap saja sikap Trent menarik untuk diikuti, ataupun ditiru oleh band lain. Sikap yang menganggap peredaran karya itu bisa dibuat sendiri, bisa diatur sendiri, pun ada cara mencari uang yang lebih menguntungkan band dan penggemar. Salah satu caranya adalah membuat label rekaman sendiri.
"Aku kangen label rekaman yang bisa mengabarkan pada dunia tentang karyamu," ujarnya saat ditanya salah satu motivasi membuat label rekaman sendiri.
Relevansi Label Rekaman di Era Digital
Apa yang dilakukan oleh Trent sebenarnya bukan hal baru di dunia musik. Para musisi bawah tanah mengenal etos Do It Yourself (DIY), untuk menggambarkan semua pekerjaan yang dilakukan sendiri. Mulai dari merekam lagu, membuat kemasan, hingga mengedarkannya. Trent diacungi jempol karena dianggap berhasil menyuntikkan ide itu ke industri musik yang dilumuri citra kapitalistik.
Apa yang memotivasi Trent untuk membuat label rekaman, juga diikuti oleh banyak orang yang ingin membuat label rekaman sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak mencari laba besar ala label raksasa. Mereka hanya ingin bersenang-senang, membuat lagu tanpa setiran label, dan merilis album sendiri yang dianggap tidak akan dilirik label besar.
Dalam wawancara bersama Majalah Cobra, Morgue Vanguard menceritakan alasan kenapa dia mendirikan label Grimloc Records. Pria bernama asli Herry "Ucok" Sutresna ini mendirikan Grimloc bersama kawannya, Gaya dari grup hip hop Eyefeelsix, pada 2011.
"Alasan utama mendirikan label? Ya terutama karena kebutuhan untuk merilis album kami sendiri, yang pasti sih. Di kemudian hari bisa ngerilis album-album teman-teman yang kita suka, itu bonusnya," ujar Ucok yang merupakan personel Homicide dan Bars of Death.
Katalog rilisan Grimloc amat mengesankan. Mulai merilis ulang album klasik Homicide, album kelompok punk Milisi Kecoa, band hardcore WETHEPEOPLE!, hingga merilis piringan hitam band punk/ hardcore asal Bandung, Hark! It's A Crawling Tartar. Tentu saja sedikit susah membayangkan band-band seperti itu akan dirilis oleh label besar.
Kemajuan teknologi di bidang rekaman dan media sosial memang membuat penciptaan album musik terasa lebih mudah. Setidaknya musisi kini punya lebih banyak pilihan untuk mengedarkan karyanya. Tidak harus merilis album melalui label besar.
Merekam album juga makin mudah berkat pelbagai perangkat lunak yang bisa digunakan di mana saja. Bahkan di kamar tidur sekalipun, menghasilkan istilah bedroom music, alias musik yang dibuat di kamar. Semacam pembuktian dari nubuat Noel Gallagher dalam lagu "Don't Look Back In Anger", bahwa revolusi bisa dilakukan dari kamar. Beberapa nama musisi kamar yang dikenal dunia adalah Washed Out, Perfume Genius, dan Toro Y Moi. Di Indonesia, salah satu musisi kamar adalah Adithia Sofyan yang namanya dikenal berkat lagu "Adelaide Sky".
Dalam sebuah video yang diunggahnya pada 21 Mei 2009, tampak alat rekaman Adithia sederhana belaka. Gitar akustik, mikrofon, pop filter (alat untuk menyaring noise dalam rekaman, biasa diletakkan di antara penyanyi dan mikrofon), headset, dan kamera video. Dari kamarnya, nama Adhitia menjulang. Lagu-lagu yang direkam dalam kamar itu kemudian dirilis dalam bentuk EP berjudul Live from His Bedroom yang berisi 5 lagu. Sejauh ini Adhitia sudah merilis 3 album penuh, dan sempat melakukan tur di Jepang.
Kehadiran media sosial juga banyak membantu musisi masa kini. Mulai dari Facebook, Instagram, hingga Soundcloud, membuat musisi lebih mudah menyebar karya, berhubungan dengan penggemar, ataupun memberikan pengumuman yang berkaitan dengan band.
Musisi dan artis yang sudah berpengalaman pun berlomba untuk bikin label rekaman sendiri. Mereka sudah paham medan bisnis musik, karenanya tak gentar memulai labelnya sendiri. Selain Morgue Vanguard dan Gaya yang membuat Grimloc Records, ada pula nama Shaggy Dog yang membuat Doggyhouse Records, DJ Riri yang membuat Spinach Records, hingga GRIBS yang membuat Gunung Kelud Records karena tak ada label Indonesia yang mau merilis album band glam rock seperti mereka.
Di titik ini, wajar kalau banyak orang bertanya: apakah label rekaman masih relevan di zaman yang semuanya serba bisa dikerjakan sendiri?
"Label memang makin terpinggirkan sih. Orang mungkin nggak tahu apa label yang menaungi Rihanna atau Justin Bieber. Karena artis lebih gede daripada label," kata Taufiq Rahman, pendiri Elevation Record. “Selain itu, sekarang artis atau band sudah bisa memotong peran yang dulu dijalankan label.”
Taufiq yang dulu ikut mendirikan situs Jakartabeat bareng Philips Vermonte, membuat Elevation pada 2013. Motivasinya tak jauh berbeda dengan Ucok: merilis album-album yang ia sukai. Sejak sekarang, Elevation sudah merilis ulang album perdana band folk-baroque asal Yogyakarta, Aurette and The Polsa Seeking Carnival; album Sajama Cut; rilis ulang album Homicide, hingga rilis ulang album Bandempo.
Pada 2015, album Hobgoblin milik Sajama Cut menjadi nomor tiga dalam peringkat tangga album Rolling Stone Top 10. Tentu ini hal yang menarik, karena album itu mengalahkan label besar seperti Sony atau Musica. Ada banyak nama label baru di daftar itu. Mulai Music Factory (berdiri 2006 dan jadi distributor rilisan album KFC), Berita Angkasa Records (berdiri pada 2015), hingga Moso’iki Records yang berdiri pada 2015 dan merilis album Dosa, Kota, & Kenangan milik duo folk Silampukau yang disambut amat baik oleh publik.
"Kamu tahu, bisnis musik ada dalam masalah besar ketika label indie kecil bisa berada di depan label korporasi besar! Angkat topi buat Sajama Cut untuk album dahsyat tanpa pretensi, Hobgoblin," tulis Elevation Records di laman Facebook mereka.
Apa yang ditulis itu memang banyak benarnya. Kita di Indonesia sering mendengar suara sumbang dan sedih tentang label rekaman, juga bagaimana mereka tertatih karena pembajakan dan belum bisa menaiki ombak digital di industri musik.
Menurut Wendi Putranto di bukunya, Rolling Stone Music Biz, Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) adalah representasi sekitar 80 persen pasar musik di Indonesia. Saat buku itu dibuat pada 2010, label rekaman tersisa sekitar 83 perusahaan. Namun pada 2012, ASIRI menyebutkan bahwa saat itu tersisa hanya 76 label rekaman dari 240 anggota terdaftar. Pembajakan dan tak lakunya rilisan fisik mereka membuat satu per satu label rekaman bertumbangan. Yang tersisa adalah nama-nama besar seperti Musica, Universal Music Indonesia, dan SonyBMG Music Entertainment Indonesia.
Meski begitu, Taufiq menganggap label rekaman masih akan tetap relevan. Dengan catatan: label niche. Atau bisa dibilang, label indie dengan semangat senang-senang dan menggarap ceruk konsumen yang jumlahnya kecil tapi loyal. Ia menyebut nama Grimloc sebagai label "...yang setiap rilisannya akan selalu saya beli." Paling tidak, label akan membuat musisi fokus mengurus soal musik. Di luar itu, label yang akan mengurusnya.
Sedangkan label besar dianggap Taufiq sudah tak bisa lagi menjadi sebesar dulu. Dengan kata lain: meski mereka masih mendapat banyak uang dari bisnis streaming, mereka semakin tidak relevan secara estetika musik.
"Makanya mereka sibuk bongkar katalog lama dan merilis ulang ini itu. Untuk musik baru, adanya ya di label indie," ujar Taufiq.
Label indie seperti yang disebut Taufiq memang tak akan sebesar label rekaman raksasa. Namun label kecil seperti ini punya penggemar loyal. Saat Elevation merilis kaset Barisan Nisan dan Godzkilla Necronometry milik Homicide sejumlah 1.000 keping pada 2015, album itu langsung terjual habis dalam waktu 6 jam saja.
Di saat label besar kesulitan menjual album fisik, band kecil seperti Elevation malah kewalahan karena terlalu banyak pembeli. Namun memang label seperti Elevation atau Grimloc tidak mengejar kuantitas rilisan, dan tak ingin pula jadi raksasa. Mereka hanya merilis album yang disuka, juga yang secara estetis cocok dengan visi label.
"Kita sih santai, kalau ada yang bagus ya rilis. Kalau nggak ada ya nggak usah dipaksa," kata Taufiq.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Suhendra