tirto.id - Beberapa waktu terakhir rasanya penggemar musisi internasional di Indonesia harus “gigit jari” karena musisi kesayangannya hanya sesaat menginjakkan kaki di Indonesia, atau bahkan ada pula musisi yang memilih untuk tidak berkunjung ke Indonesia.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Coldpay dan Taylor Swift. Coldplay dipastikan akan manggung di Indonesia pada bulan November 2023 mendatang. Anehnya, mereka hanya konser satu hari di sini.
Lain negara, lain pula preferensi para musisi. Coldplay justru menyambangi Singapura untuk manggung selama enam hari berturut-turut! Jomplang, bukan? Melalui akun Instagram resminya, Coldplay mengatakan kalau keputusannya untuk mengadakan konser enam hari di Singapura adalah karena permintaan yang sangat tinggi.
Padahal, mereka juga bisa saja melakukan hal yang sama di Indonesia mengingat animo masyarakat yang tinggi menyambut kedatangan Coldplay untuk pertama kali dalam sejarah.
Belum selesai penggemar bersedih karena Coldplay, pengumuman menghebohkan juga disampaikan Taylor Swift melalui akun instragram resminya. Ia mengumumkan destinasi negara yang kebagian tur akbar “The Eras” dan Singapura menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk ke dalam daftar. Ditambah lagi, konser Taylor Swift, dilaksanakan selama enam hari juga.
Di samping kesedihan penggemar, pemerintah daerah setempat penyelenggara konser juga bermuram durja karena kehilangan penambahan potensi pendapatan daerah dan para pelaku industri musik.
Potensi yang Dihasilkan
Penyelenggaraan konser sepatutnya membawa penghasilan pada ekonomi lokal, seperti peningkatan pendapatan daerah dan juga upaya mengenalkan potensi turisme yang ada di daerah tersebut.
Dari konferensi pers yang diadakan Kementerian Keuangan melalui kanal YouTube-nya disebutkan bahwa kinerja pajak daerah meningkat sebesar 9.6% menjadi Rp69,76 triliun year-on-year (YoY). Hal ini didorong oleh pertumbuhan realisasi pajak yang bersifat konsumtif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Pemda mendapatkan sekitar Rp640,8 miliar dari pajak hiburan selang periode kuartal satu 2023 (Januari – April), yang mana ini naik 68,8% dibandingkan kuartal satu 2022.
Capaian tersebut menunjukkan seberapa besar pendapatan pajak yang diperoleh andai saja Indonesia mendapatkan kepercayaan sebagai concert hub musisi mancanegara. Bisa dibayangkan dari 12 hari konser Coldplay dan Taylor Swift digabungkan akan menjadi sebesar apa penambahan pajak hiburan yang dihasilkan.
Menparekraf Sandiaga Uno-pun mengatakan penyelenggaraan konser diharapkan dapat meningkatkan pariwista Indonesia, khususnya Jakarta yang ditargetkan menjadi destinasi MICE (meeting, incentive, conference, exhibition) di Asia.
MICE sendiri menjadi salah satu bentuk implementasi dalam memperkenalkan pariwisata Ibu Pertiwi. Selepas terjual habisnya tiket konser Coldplay, Sandiaga Uno juga menyampaikan bahwa tingkat okupansi hotel di sekitar wilayah Gelora Bung Karno (GBK) sudah mencapai 90% dan sekitar 40-50% untuk hotel di luar lingkaran Jakarta.
Singapura & Australia Jadi Primadona Konser
Dilansir dari The Strait Times, kegiatan konser memberikan kontribusi yang cukup bagi Singapura, tetapi tidak perlu untuk ditekankan atau dibesar-besarkan, karena memang Singapura cukup sering untuk menjadi lokasi pertunjukkan konser. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menjadi keberlanjutan (sustainability).
Ticketmaster, salah satu penyedia tiket daring global di Singapura mengatakan bahwa perkembangan gross transaction value (GTV) mereka naik sebanyak 80% dalam beberapa tahun terakhir.
Statista kemudian mencoba melakukan analisa proyeksi revenue yang dihasilkan dari live music di Negeri Singa dan menyebut bahwa pada tahun 2027 pendapatan sektor ini akan menyentuh USD90,75 juta atau setara Rp1,36 triliun (asumsi kurs Rp15.000/USD).
Lebih lanjut, dari sisi pariwisata, Dr. Seshan Ramaswami, associate professor di Singapore Management University, menyampaikan bahwa kehadiran musisi besar akan mendorong ekspansi demografis terhadap pariwisata budaya lokal Singapura kepada para penikmat musik dari seluruh penjuru Asia, bahkan hingga Timur Tengah.
Mengapa Singapura memikat bagi musisi mancanegara?
Dengan fokus strategi pemasaran sebagai entertainment hub, pakar pariwisata menyampaikan bahwa Singapura terpilih lantaran konektivitas yang mudah, tata kelola yang stabil, hingga upaya promosi yang signifikan oleh Singapore Tourism Board (STB) membuat negara ini layak mendapat julukan regional concert hub, dilansir Channel News Asia.
Masyarakat di kawasan Asia Tenggara dapat dengan mudahnya mencapai Singapura tanpa perlu menghabiskan banyak waktu. Tata Kelola yang baik mulai dari pengamanan sampai kepada kepatuhan terhadap hukum juga sangatlah dijunjung tinggi di Singapura.
Dari segi branding, menurut Christopher Koo, dari MasterConsult Services, Singapura telah memposisikan diri sebagai kota pertunjukkan. Ia kemudian menambahkan bahwa para artis bebas untuk menunjukkan nilai mereka, tidak seperti di beberapa negara tetangga lain yang terkadang memiliki nilai dan norma yang berseberangan.
Untuk faktor infrastruktur, Singapura juga sangatlah memadai dengan fasilitas Victoria Concert Hall dan Esplanade Concert Hall. Fleksiblitas dan kesiapan dalam menyelenggarakan berbagai tipe acara membuat Singapura sulit untuk disaingi.
Lebih lanjut, selain Negeri Singa, Australia juga menjadi salah satu negara yang meraup banyak untung lewat penyelenggaraan konser musik.
Ernst and Young (EY) sempat mengeluarkan laporan “Live Performance Industry in Australia”. Mereka memaparkan berapa banyak pendapatan yang dihasilkan dari live performance, dimana tercatat pendapatan yang paling besar dihasilkan pada tahun 2018 yaitu sekitar AUD2,06 miliar atau setara Rp20,6 triliun (asumsi kurs Rp10.000/AUD).
Sementara itu, kajian PwC Australia mengenai “Entertainment and Media Outlook,” mencatat di tahun 2021 industri musik pertunjukkan dan rekaman menyumbang setidaknya USD1,41 miliar. Ini bahkan belum menyentuh level capaian sebelum pandemi.
Sektor ini diprediksi akan membukukan pertumbuhan tahunan 30,8% dan akan menyentuh USD3,7 miliar di tahun 2026. PwC juga mengeklaim bahwa Negeri Kangguru adalah negara dengan pertumbuhan pertunjukkan musik live kedua tercepat di dunia.
Lalu, mengapa industri ini bisa sangat berkembang cepat dan mampu membuat Australia mendapat julukan negara konser. Sebagaimana Singapura, perkembangan masif industri ini juga berkat dukungan yang kuat dari pemerintahnya.
Pemerintah Australia memiliki program dukungan musisi lokal melalui Live Music Australia Program. Pada periode Juli 2020 hingga Juni 2024, pemerintah mengalokasikan dana AUD5 juta per tahun, dimana penerima grant dapat memperoleh bantuan hingga AUD100 ribu. Pemerintah Australia juga memberikan bantuan terhadap industri ekonomi kreatif seperti promotor untuk tetap bisa beroperasi.
Pada 2022, band kenamaan Guns N Roses melangsungkan konser di Negeri Kanguru melalui dukungan program Restart Investment to Sustain and Expand.
Melihat potensi yang luar biasa dari pelaksanaan konser ini, pemerintah Australia tidak tanggung-tanggung untuk mendukung sepenuhnya. Salah salah satunya adalah membangun beberapa stadium di berbagai daerah seperti Gold Coast, Brisbane, Newcastle, dan beberapa daerah lain.
Selain itu, beberapa negara bagian menerapkan aturan anti-scalping, dimana jika sebuah pertunjukkan musik dikategorikan sebagai event besar, maka terdapat nilai batasan maksimum untuk penjualan kembali tiket.
Misalnya, di negara bagian Victoria, berdasarkan aturan “The Major Events Act 2009” penjualan kembali tiket tidak boleh lebih dari 10% harga normalnya. Kemudian per tahun 2022, penjualan hanya diperbolehkan oleh agen yang terdaftar resmi.
Lebih lanjut asosiasi pertunjukkan musik Australia (Live Performance Australia/LPA) yang merupakan kumpulan agen promotor juga menerapkan kode etik penjualan tiket. Beberapa anggota bahkan menerapkan aturan yang membatalkan tiket yang dibeli melalui agen illegal atau calo.
Kondisi di Indonesia
Baik pemerintah Singapura dan Australia memberi atensi lebih pada sektor pertunjukkan musik mengingat kontribusi ekonominya yang cukup besar. Mereka bahkan memiliki aturan atau program tersendiri untuk mendukung industri ini. Namun, lain halnya dengan Indonesia.
Merujuk kajian British Council berjudul "The Mapping of Indonesia Music Sector Ecology", setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Musik gagal disahkan, hingga saat ini belum terdapat aturan spesifik yang mengatur industri musik.
Aturan yang ada pun secara umum lebih menaruh perhatian pada copyright. Dukungan yang diberikan pemerintah pusat atau pun daerah umumnya sebatas pemberian izin acara dan bantuan peminjaman fasilitas atau aset.
Industri musik di Tanah Air bergerak sendiri alias auto pilot dengan komunitas sebagai garda depan yang menyokong ekosistem industri ini. Pelaku industri juga berupaya mencari sponsor atau dukungan finansial secara mandiri.
Selain itu, mereka juga menjadi pihak yang secara independen memastikan bahwa para penggemar musik terhindar dari aksi calo. Salah satunya dengan memastikan penukaran tiket dengan gelang masuk dilakukan oleh pembeli awal dengan menunjukkan kartu identitas.
Walaupun terdapat aturan dan dukungan yang minim, dari sisi infrastruktur, Indonesia sejatinya tidak kalah saing dengan Singapura atau Australia.
“Saat ini infrastrkutur Indonesia sudah sangatlah baik untuk menjalankan sebuah konser besar. Konser Blackpink saja setahu saya di Australia itu masih meminjam beberapa barang yang hanya ada di Indonesia. Untuk hal birokrasi tidak ada yang memberatkan,” ungkap Ravel Junardy CEO Ravel Entertainment.
Kendati demikian, mengapa dengan infrastruktur yang memadai Indonesia belum menarik perhatian musisi besar mancanegara?
Ravel menjelaskan bahwa perihal Negeri Singa terpilih karena keunggulan faktor geografis yang memungkinkan pelaksana dapat menekan biaya.
“Setiap artis yang ke Australia saja, pasti akan layover di Singapura, dan hal ini memudahakna dalam hal biaya. Sementara Australia sendiri, mereka memang punya market sendiri,” tambahnya.
Ravel berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih atas industri ini karena potensinya untuk mendatangkan devisa negara, belum lagi kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah setempat.
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas