tirto.id - Salah satu musisi Tanah Air, Glenn Fredly, pernah mengeluhkan lesunya industri musik di Indonesia akibat maraknya pembajakan. Para musisi ini akhirnya bertahan hidup dari beragam hal mulai dari penjualan merchandise, hingga konser musik.
"Di tengah keterpurukan industri musik Tanah Air akibat maraknya pembajakan hingga mengakibatkan lesunya penjualan album, penyelenggaraan konser berbayar sangat penting untuk menjaga ekosistem musik agar tetap eksis," katanya.
Keluhan Glenn tidak sepenuhnya salah. Antara mewartakan, sejak tahun 2007 musik bajakan telah menguasai 95,7 persen pasar di Indonesia. Sementara penjualan musik legal hanya sekitar 4,3 persen. Data Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) pada 2013 menunjukkan, kerugian yang diakibatkan dari pembajakan tersebut mencapai Rp4 triliun per tahun.
Penjualan album fisik memang terus turun. Menurut data yang dikeluarkan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) pada tahun 2005, jumlah kaset, compact disk (CD) dan video compact disk (VCD) yang beredar di Indonesia mencapai angka 30 juta keping. Namun, angka tersebut terus menurun pada tahun-tahun berikutnya, dan hanya sekitar 15 jutaan keping yang beredar pada 2008. Penurunan itu berdampak pada penjualan toko-toko kaset dan CD yang sempat menjadi tempat bergengsi di era 90-an.
Memasuki 2013, toko-toko kaset dan CD mulai masuk senjakala. Toko kaset dan CD Aquarius di Jakarta Selatan bangkrut dan tidak mampu melawan terpaan badai arus musik digital. Klimaksnya terjadi di akhir tahun 2015, di saat Disc Tarra menyatakan kebangkrutannya. Toko kaset dan CD musik terbesar di Indonesia itu menutup 40 outletnya.
Padahal, di era 90-an dan era 2000-an, penjualan album fisik di Tanah Air pernah berada pada puncaknya. Pada tahun 1990 album Nike Ardila yang berjudul “Bintang Kehidupan” tembus angka penjualan 2 juta kopi. Albumnya yang berjudul “Sandiwara Cinta” pun tembus di angka penjualan yang sama.
Kejayaan tersebut diikuti oleh Sheila on 7 pada 1999. Di bawah naungan label besar Sony Music, Sheila On 7 berhasil meraih penjualan album terbanyak sebanyak tiga kali berturut-turut pada albumnya yang berjudul “Sheila On 7” sebanyak 1,5 juta, sementara album “Kisah Klasik Untuk Masa Depan” terjual 1,7 juta kopi pada tahun 2000 dan album “07 Des” sebanyak 1,3 juta kopi pada 2002.
Major label Musica Studio's juga sempat merasakan hal sama, tepatnya sejak Peterpan mengeluarkan albumnya “Bintang di Surga” pada 2004 . Album ini meledak dan tembus angka penjualan 2,7 juta kopi. Album band yang kini berganti nama menjadi Noah itu, “Alexandria” juga sukses menembus 1 juta kopi.
Di era tersebut, major label memang menjanjikan, baik dari popularitas maupun ekonomi. Dari penjualan album yang telah dijabarkan di atas dan dihitung dengan angka Rp18.000 per kasetnya, maka total kotor yang didapatkan Sheila On 7 sekitar Rp81 miliar, sementara Peterpan mendapatkan Rp66,6 miliar.
Sementara total royalti pendapatan Sheila On 7 dari penjualan kasetnya dari album yang meledak tersebut mencapai Rp3,03 miliar dan Peterpan mendapatkan Rp2,4 miliar. Itupun hanya dari keuntungan royalti sebagian penjualan album mereka pada saat itu.
Hijrah ke Indie
Sayangnya, gemerlap label-label utama itu mulai memudar seiring turunnya album musik. Para penyanyi pun tak bisa lagi mengandalkan hidupnya dari royalti penjualan album. Sebagian mulai melirik label indie, dan meninggalkan label besar.
Pengamat musik, Bens Leo memperkirakan ada banyak band major mainstream yang hijrah ke Indie di era digital ini. Prediksi pria asal Pasuruan Jawa Timur itu tepat. Sheila On 7 yang sempat merasakan masa kejayaannya di major label pun memilih mundur dan tidak memperpanjang kontraknya bersama Sony Music.
“Kami bukannya tidak mau memperpanjang kontrak, tetapi selama 16 tahun ini, kami sudah memperpanjang kontrak dua kali dan kami rasa ini saat yang tepat untuk lanjut ke chapter selanjutnya. Mencoba atmosfer yang lain. Ibaratnya anak umur 16 tahun kan ingin mencoba sesuatu yang beda," ungkap Duta, vokalis Sheila On 7 kepada Antara, Desember dua tahun lalu.
Sheila On 7 tidak sendirian. Musisi lain yang sempat berjaya di era keemasan label besar pun satu per satu mulai hijrah. Misalnya saja Bondan Prakoso, Project Pop, Elo, Coklat, Endank Soekamti bahkan Raisa juga dikabarkan memilih indie sebagai jalur berkeseniannya.
Lantas, apa yang menjadi taruhan para musisi besar tersebut memilih bertarung di jalur indie? Setidaknya Tulus sudah menjawab hal tersebut. Di bawah perusahaan rekamannya yang bernama TULUS.Co. Pria yang bernama lengkap Muhammad Tulus ini membuat album perdananya yang berjudul “Tulus” pada tahun 2011 dan diproduseri oleh Ari Renaldi. Apa yang dikerjakan Tulus secara mandiri sepertinya tidak sia-sia. Tahun 2012, album perdanannya menjadi peringkat pertama pada chart Rolling Stone.
Pada perhelatan Jakarta International Java Jazz Festival 2013, Tulus menjadi pendatang baru yang menarik perhatian, kesuksesannya terus melejit, pada bulan Mei 2015 lalu. Tulus tampil di salah satu festival musik internasional Asia-Pasifik di Singapura yang bertajuk Music Matters Live. Tidak tanggung-tanggung, Tulus tampil di tiga tempat berbeda selama dua hari berturut-turut, yaitu: pada 20 Mei 2015 di Timbre Music Academy, 21 Mei 2015 di konferensi Music Matters, Ritz Carlton, dan 21 Mei 2015 di Barber Shop by Timbre, Singapura.
Klimaksnya, Tulus pernah menjadi pemenang di Rolling Stones Editors' Choice Award, Net.One Indonesia Choice Award, Anugrah Planet Muzik Singapore, Hai Magazine, serta memboyong lima piala Anugrah Musik Indonesia (AMI) Award.
Tentu tidak hanya popularitas dan jadwal panggung yang ketat. Berdasarkan socialblade.com perbulannya Tulus berhasil mengumpulkan 1.000 – 16.400 dolar AS atau setara Rp213.200.000 dari akun Youtube-nya “Musiktulus”. Sementara per tahun ia mampu mendulang uang sekitar 12.300 – 196.700 dolar AS atau sekitar Rp2,5 miliar. Itu belum termasuk penjualan album fisik. Dalam kurun waktu setahun, album "Gajah" versi CD terjual sebanyak 87 ribu kopi. Jika dihitung per CD-nya Rp35.000 maka yang didapatkan Tulus mencapai Rp3,04 miliar. Angka itu belum termasuk penjualan "Gajah" versi digital.
Bisa dibayangkan apabila musisi-musisi besar tersebut berkarir di jalur indie. Berdasarkan pantauan dari socialblade.com, penghasilan Sheila On 7 di akun Youtube-nya “Sheilaon7VEVO” mencapai 363 – 5.800 dolar AS atau Rp75.400.000 per bulan. Sementara per tahun, band asal Yogyakarta ini mampu menghasilkan 4.400 – 69.700 dollar AS atau sekitar Rp906.100.000. Sementara Raisa di akun Youtubenya “Raisa6690” mampu menyedot 1.200 - 18.900 dolar AS atau sekitar Rp255.150.000 per bulan dan pertahunnya 14.200 – 227.400 dolar AS atau Rp3,06 miliar. Bisa jadi inilah alasannya para musisi tersebut berbondong-bondong hijrah ke indie.
Tentu tidak hanya keuntungan dari sisi ekonomi saja yang menjadi pertimbangan para musisi tersebut hijrah dari major label. Berkarier di jalur Indie juga memberikan kebebasan berkarya. Seperti yang diberitakan Antara, Penyanyi jazz Syaharani mengatakan produksi musik indie tidak selalu berdasarkan pasar, tetapi berdasarkan keinginan sang musisi.
"Mereka produksi nggak berdasarkan market, tapi berdasarkan keinginan. Sehingga mereka bikin market sendiri yang warnanya unik. Hal itu membuat makin banyak pilihan musik," kata penyanyi yang bernama lengkap Saira Syaharani Ibrahim itu.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti