Menuju konten utama

Warnet, Pusat Distribusi Alternatif Musik Independen 2000-an

Sepanjang dekade 2000-an, warung internet (warnet) mempunyai peran penting bagi kehidupan harian anak muda Indonesia.

Warnet, Pusat Distribusi Alternatif Musik Independen 2000-an
Ilustrasi Warnet. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sepanjang dekade 2000-an, warung internet (warnet) mempunyai peran penting bagi kehidupan harian anak muda Indonesia. Posisi warnet era 2000-an rasanya bisa disamakan dengan coffee shop beberapa tahun ini.

“Cupu lah kalau kamu nggak ke warnet itu. Kita nggak berpengetahuan,” kenang Adiyat Jati Wicaksono.

Adiyat mulai berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang pada 2003. Saat itu internet masih menjadi barang mewah dan produk-produk gawai belum selazim saat ini. Bahkan menurut Adiyat, “flashdisk 128 mb aja masih mewah banget.”

Di tengah kondisi itu, warnet jelas menjadi tempat favorit anak muda era 2000-an. Di warnet, mereka akan mengakses beragam informasi sesuai kebutuhan. Ada mahasiswa yang mencari referensi bacaan dan mengerjakan tugas. Ada muda-mudi gaul yang mencari musik dan film cutting-edge. Ada juga remaja tanggung penuh birahi yang mengakses konten dewasa. Singkatnya, semua ada.

“Kamu bisa paketan dari malem sampe pagi. 24 jam aja bisa, tidur di situ, makan di situ. Ya akhirnya PC itu jadi kaya personal computer-mu bener-bener,” terang Adiyat.

Selain menjadi mahasiswa, Adiyat punya aktifitas lain; personel band indie asal Semarang, OK Karaoke. Ia tidak hanya mendiami warnet untuk kebutuhan kuliah, tetapi juga mengisi hasrat mengulik musik. Seringkali ia mengisi komputer di warnet langganannya dengan file mp3 musik-musik yang ia dengarkan, baik musik band mancanegara, band sejawat, dan band-nya sendiri.

Tak terbayang bahwa kebiasaan itu akhirnya malah menjadi praktik alternatif distribusi musik.

Praktik Tak Sengaja Berbuah Distribusi Organik

Dekade 2000 memang salah satu fase penting kancah musik independen lokal. Band-band baru berdiri di banyak kota. Banyak dari mereka mengusung ragam musik yang berbeda dari dekade 1990-an yang didominasi hardcore, punk, metal, atau britpop.

Kompilasi Delicatessen (2002) rilisan label poptastic! asal Bandung mungkin salah satu penanda munculnya gelombang musik twee, shoegaze, dan elektronik di kancah lokal.

Namun, kekuatan finansial dan pengetahuan soal mengelola rilisan tidak dimiliki semua komunitas di berbagai kota.

Di Semarang, band-band indie-pop anyar seperti OK Karaoke, Ceriakan Hatiku, dan Wiwiek ‘n Friends adalah para mahasiswa di Undip. Menurut Adiyat, modal yang mereka miliki hanya mampu untuk merekam single.

Dengan format mp3, rekaman itu mereka bagikan ke lingkaran pertemanan sesama anak band. Warnet akhirnya menjadi tempat untuk mendengarkan rekaman-rekaman itu. Luputnya, setelah di-copy dari flashdisk, file-file tersebut tidak dihapus dan mengendap di komputer.

“Nah kan bisa diakses sama yang lain yang setelah kita, atau operator warnetnya, atau siapalah, karena terkoneksi kan. Jadi bisa diakses orang, diambil kadang,” ucap Adiyat.

Hal yang mirip dituturkan oleh Martinus Indra Hermawan atau yang akrab disapa Indra Menus. Pada awal 2000-an, kebanyakan band independen di Yogyakarta hanya mampu sampai proses rekaman. Faktornya bisa karena keterbatasan finansial atau ketidaktahuan cara merilis dan mendistribusikan rekaman. Akhirnya praktik sebar-sebaran mp3 yang dipilih.

“Ditaruh di komputer temen, nyebar antar hard-disk. Terus ada yang naruh di warnet, entah dari band-nya atau dari orang yang dapat kopian lagu via hard-disk,” tulis Menus dalam pesan singkat. Dari sana file-file mp3 itu menjalar ke mana saja.

“Mahasiswa yang sering pake warnet terus nemu lagu-lagu ini, dikopi ke hard-disk, terus ada temen lain yang ngopi dari hard-disk-nya,” tambah Menus.

Penyebaran ini secara tidak langsung dibantu oleh operator warnet. Menurut Menus, file lagu-lagu band independen Yogyakarta yang tersebar itu dikelompokkan dalam satu folder oleh sang operator. Lalu folder itu diberi nama identitas lokasi, misal “Band Jogja”. Para pengunjung warnet dengan beragam latar belakang akhirnya tahu bahwa file-file mp3 di komputer tersebut adalah karya dari band-band independen Yogyakarta.

Saat itu juga beberapa pelaku kancah independen Yogyakarta bekerja paruh-waktu sebagai operator warnet, seperti Halim dan Didit dari Cranial Incisoder, Agus dari Hands Upon Salvation, Marin dari Think Again, dan Bintang dari Change for Better.

“Mereka ada yang inisiatif nyatuin, tapi juga yang bukan basic anak band ada yang nyatuin juga kok,” tambah Menus.

“Lama-lama jadi kebiasaan beberapa band buat naruh di warnet,” tulis Menus.

Praktik ini akhirnya berdampak pada meluasnya sebaran lagu band-band independen Yogyakarta secara tidak sengaja. Bahkan file-file mp3 tersebut sampai ke tangan orang-orang yang tidak terbayangkan.

Menus ingat di kisaran awal dekade 2000 saat ia mengunjungi satu warnet dekat rumahnya tiba-tiba tukang parkir warnet itu bertanya “Kamu vokalis band to, Mas?” Ketika Menus bertanya mengapa si tukang parkir tahu, si tukang parkir menjawab menemukan file mp3 band Menus di komputer salah satu warnet dan ternyata si tukang parkir memang senang mendengarkan band-band lokal.

“[Itu] To Die. Itu naruh beberapa lagu buat kirim ke label luar, terus ga kuhapus jadi ada yg nyebar,” saksi Menus.

Pengalaman lain dirasakan Adiyat. Pada 2018, Daniel Aditya atau Jembi mulai membantu departemen drum OK Karaoke sebagai additional player. Adiyat sempat menceritakan praktik distribusi tak sengaja lewat ini kepada Daniel. Daniel menyambut cerita itu dengan bersaksi bahwa ia pernah menemukan file mp3 lagu OK Karaoke di komputer tantenya sekitar tahun 2010.

“Tantenya lho. Aku nge-band sama ponakanku sendiri kan maksudnya,” ujar Adiyat terkekeh. Sebagai perbandingan, Adiyat lahir tahun 1985 sementara Daniel lahir pada 1998.

Praktik Lain di Purwokerto

Di Purwokerto, penyebaran mp3 lebih terarah. Rio Wijaya, penggiat kolektif Heartcorner asal Purwokerto, mengaku bahwa dekade pertama 2000-an, ada tiga warnet yang sering dikunjungi anak-anak skena Purwokerto; B43, Java Net, dan BBC.

“Kalau yang nongkrong di warnet rata-rata di B43, karena dia di tengah kota,” ucap Rio.

Selain menyediakan layanan internet, B43 juga menyediakan jasa burning CD. CD-CD yang dijual itu akan diisi oleh file-file mp3 dari beragam lagu yang dimiliki sang operator, baik dari band-band lokal dan interlokal. Jasa burning CD di warnet ini yang digemari banyak anak muda Purwokerto untuk mencari musik.

“Dulu aku dibanding cari mp3 di tukang CD, mending aku ke B43 untuk ngambil lagu-lagu yang udah ada di situ. Enak, terus aku burning ke operatornya,” kenang Rio.

Kebiasaan ini yang dimanfaatkan oleh para personel band independen di Purwokerto. Mereka menaruh file mp3 lagu-lagu mereka di komputer itu. Tujuannya agar bisa didengar dan ikut tersebar saat ada anak muda yang sedang mencari musik-musik baru.

Infografik Musik dari warnet

Infografik Musik dari warnet. tirto.id/Ecun

Apalagi, kapasitas CD yang biasa dipakai adalah 700MB, bisa untuk mengisi puluhan lagu dengan format mp3. Para operator warnet akan menyarankan untuk mengisi lebih banyak lagu di CD tersebut sebab masih banyak kapasistas CD yang tersisa. Di situlah para file-file mp3 band Purwokerto masuk

“Band-band apapun, mereka copy-in file-nya ke situ, sekalian aja disisipin lagunya dia satu,” terang Rio.

Rio sendiri, yang waktu itu masih pelajar SMA dan belum aktif di kancah independen Purwokerto, mendapatkan banyak rekaman band asal Purwokerto dari warnet. Beberapa band Purwokerto yang ia dapat dari warnet adalah Tunas Bangsa Simphony, Soulsaver, The Telephones, dan Sad Story on Sunday.

“Bahkan beberapa pun masih versi demo doang. Kan kualitas rekamnya masih busuk,” tutur Rio.

Menurut Rio, praktik ini memiliki dampak pada perubahan tren musik di Purwokerto. Rio menuturkan bahwa awal dekade 2000 musik reggae adalah penguasa Puwokerto. Pensi-pensi SMA di Purwokerto akan selalu diisi para bintang tamu yang memainkan musik reggae.

Pada saat yang sama, gelombang emo mulai sedikit menjalar ke Purwokerto, salah satunya lewat lagu-lagu My Chemical Romance dan lagu-lagu Story of the Year – yang juga menyebar dari burning CD. Beberapa anak muda di Purwokerto mulai menggemari emo. Mereka juga mulai mencari musik-musik sejenis dari ranah lokal. Tentu saja, mereka mencarinya di warnet.

Saat itu juga berdiri kafe bernama Kebon yang dijadikan tempat nongkrong anak-anak skena dan anak-anak SMA yang terhitung gaul pada masanya. Kebon memiliki program “Lihat Kebonku”, sesi musik dengan penampilan band-band lokal Purwokerto. Di sana pertemuan langsung antara band-band lokal Purwokerto dengan para penggemar musik-musik baru.

“Akhirnya terjadi pergeseran guest-star di pensi-pensi SMA. Dari yang dulu full reggae, udah pasti jadi lebih beragam. Jadi terbantu secara tidak langsung sih karena anak SMA itu bisa eksplorasi cari band apa band apa” ucap pria yang juga personil dari band,” tutur Rio.

Baca juga artikel terkait MUSIK INDIE atau tulisan lainnya dari Gregorius Manurung

tirto.id - Musik
Kontributor: Gregorius Manurung
Penulis: Gregorius Manurung
Editor: Nuran Wibisono