tirto.id - Dua filsuf pascastrukturalisme asal Prancis, Gilles Deleuze dan Félix Guattari, bisa jadi tak pernah mengira buah pemikirannya akan menjadi inspirasi utama album teranyar dari sebuah grup musik asal Indonesia—yang dirilis bahkan tiga dekade setelah kematian mereka.
Efek Rumah Kaca, salah satu unit rock alternatif paling penting dalam skena musik independen Indonesia pasca reformasi, menggunakan teori “rhizome” (rizoma)—yang pertama kali muncul dalam A Thousand Plateaus : Capitalism and Schizophrenia (1987)—untuk menggambarkan wajah album keempat yang bertajuk Rimpang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kita setidaknya mengartikan “rizoma” dan “rimpang” tak jauh berbeda: akar yang bercabang-cabang seperti jari.
Dalam salah satu pamflet promosinya, band yang terbentuk pada 2001 itu menggambarkan album Rimpang sebagai: “gambaran tentang betapa harapan-harapan, baik yang kecil maupun besar, muncul secara acak, tak linier, tanpa hirarki, dan dalam berbagai situasi (santai maupun tertekan) menjalar secara diam-diam.”
Terdengar rumit? Ini baru perkara tema, belum soal materi.
Pada 23 Januari lalu, Efek Rumah Kaca menggelar pemutaran ekslusif sebelum Rimpang dirilis secara resmi dalam bentuk digital empat hari setelahnya. Diputar secara terbatas dalam sebuah studio bioskop di pusat bisnis Sudirman, Jakarta, Rimpang menyajikan sepuluh nomor terbaru dengan total durasi 45 menit—cenderung pendek dibanding tiga album penuh sebelumnya.
Ramai tanpa Adrian Yunan
Ada satu hal yang pasti: Efek Rumah Kaca tak lagi sederhana seperti yang kita tahu. Rimpang menghadirkan komposisi musik yang ramai, lebih rumit, kendati tetap mengandalkan melodi yang pas. Album ini membawa Efek Rumah Kaca menjadi lebih "berisik" karena berani mengeksplorasi ragam instrumen seperti piano, keyboard, synthesizer, hingga noise.
Mereka mengakui sendiri bahwa komposisi musik di album ini merupakan, “nada-nada yang menghantui kami selepas merilis Sinestesia di akhir tahun 2015.”
Perombakan formasi dalam tubuh Efek Rumah Kaca menjadi salah satu penentu bagaimana musik mereka hari ini berubah. Selain ada Poppie Airil yang memegang bass—pasca Adrian Yunan hengkang pada 2017 akibat kesehatan matanya yang semakin parah, ada juga Reza Ryan yang mengisi posisi piano, keyboard, synthesizer, noise, serta gitar tambahan.
Setelah mendengar utuh Rimpang, sulit untuk tidak mengatakan posisi Reza Ryan ini menjadi sangat krusial.
“Ini merupakan album penuh pertama kami tanpa Adrian Yunan, yang sidik jarinya begitu tebal dalam lagu maupun lirik Efek Rumah Kaca yang lalu. Namun begitu, kehadiran Poppie Airil dan Reza Ryan membuat kami mampu melangkah ke wilayah-wilayah yang belum pernah kami jelajahi sebelumnya, sehingga membuat Rimpang menjadi album yang, kami rasa, berbeda dari album-abum kami sebelumnya. Semoga, begitu juga dengan album-album berikutnya, akan tetap menjelajah," begitu mereka menjelaskan.
Dalam Rimpang, kalian mungkin akan sulit menemukan lagu-lagu minimalis yang dengan ketukan bersemangat seperti "Cinta Melulu" atau "Kenakalan Remaja di Era Informatika". Nomor-nomor yang mudah bikin sing along dengan suara memekik seperti "Mosi Tidak Percaya" dan "Efek Rumah Kaca" juga minim.
Hal ini sebenarnya sudah bisa diendus aromanya sejak album ketiga mereka, Sinestesia. Album ini bisa dikatakan sebagai titik awal Rimpang. Sinestesia memuat berbagai unsur yang saat itu malu-malu digunakan tapi ditonjolkan dalam Rimpang secara maksimal hari ini: permainan vokal semi orkestra, eksplorasi beragam alat musik, hingga pembacaan prosa. Khusus yang terakhir, dalam Rimpang, kita bisa menemukannya dalam nomor seperti "Bersemi Sekebun".
Sebetulnya, bagi para pendengar garis keras dua album pertama, ada sedikit harapan muncul dalam mini album yang dirilis tiga tahun lalu: Jalan Enam Tiga (2020). Ia membawa Efek Rumah Kaca kembali menjadi lebih sederhana, ringkas, dan bersemangat dengan riff-riff gitar yang padat. Ada pendar semangat bahwa mini album ingin kembali seperti ke dua album pertama.
Namun, pada akhirnya, Efek Rumah Kaca seperti ingin melanjutkan proyek eksplorasi dari Sinestesia. Mereka ingin seperti “rimpang”: menjalar dan mengeksplorasi ke wilayah-wilayah yang tak pernah mereka tapaki sebelumnya.
Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Ahmad Sajali, salah seorang pendengar yang hadir dalam pemutaran ekslusif perdana itu. Menurut Jali—sapaan akrabnya, masuknya Reza Ryan menjadi kunci penting perubahan komposisi musik Efek Rumah Kaca Hari ini. Ada banyak kesegaran baru dan ragam bebunyian dalam Rimpang, katanya.
Namun, Efek Rumah Kaca hari ini sudah tak lagi seperti “trio pop minimalis” yang dikenal dulu. “Yang distorsinya tebal seperti di lagu 'Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa',” katanya kepada saya. “Saya lebih suka tipe ERK yang dulu.”
Di sisi lain, Jali menduga perubahan komposisi musik Efek Rumah Kaca hari ini untuk menjangkau pendengar yang lebih luas.
“Rimpang juga menunjukkan kedewasaan, tapi tetap segar. Range materi di Rimpang cocok didengarkan di festival santai seperti Joyland, tapi ada juga yang tetap bisa dibawa di depan Istana atau momen-momen seru lainnya,” tambahnya.
Senada dengan Jali, pendengar lainnya, Alfian Putra Abdi juga menuturkan hal serupa.
“Rimpang adalah Efek Rumah Kaca tahap selanjutnya. Ia tidak lagi menjadikan ERK yang catchy dan nge-pop. Menjadi kian intens dan kompleks secara sounds. Terdengar agak harsh dan ambient. Tetap seru. Bagian yang menyenangkannya ada isian piano atau synthesizer manis.”
Bermain dengan Lirik
Efek Rumah Kaca dikenal sebagai band yang punya lirik tajam. Selama ini, kekuataan mereka ada pada penggunaan tema yang kritis, diksi yang solid, dan mudah dirapal para pendengar. Di dunia akademik, kita dengan mudah menemukan banyak penelitian lintas disiplin atas lirik-lirik mereka.
Lirik-lirik dalam "Di Udara", "Belanja Terus Sampai Mati", "Mosi Tidak Percaya", "Jangan Bakar Buku", hingga "Pasar Bisa Diciptakan" menjadi andalan para pendengar lewat medium digital maupun dinyanyikan saat konser. Dalam diskursus masyarakat yang melek terhadap isu sosial dan politik, lagu-lagu mereka terasa lebih relate—hampir tahu artinya dan ikut merasakan bersama.
Dalam Rimpang, kita masih akan menemukan kekuatan itu di nomor seperti "Ternak Digembala" yang secara alegoris ingin bercerita soal masyarakat kapitalistik yang menjalani pola hidup yang itu-itu saja: bekerja, makan, buang hajat, pulang, patuh, hingga diawasi. Ada juga pion seperti "Fun Kaya Fun", yang berisi kritik atas musik-musik berbasis teknologi tapi minim skill mumpuni dan visi yang solid.
Seisi dunia memahami kita
Teknologi kan mengerti kita
Masa depan bagaimana kita
Ada juga nomor seperti "Sondang", yang jika ditambah kata “Hutagalang” di belakangnya akan mengacu pada seorang mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) yang protes atas ketidakadilan dengan membakar diri di depan Istana Negara pada 2011 silam.
Mereka yang kau ajak
Tiada beranjak
Sumbu yang kau nyalakan
Padam sendirian
Namun menurut saya, dari semua nomor tersebut, "Bersemi Sekebun" adalah yang terbaik. Liriknya seperti ingin mengajak kita untuk tetap merawat semangat, menjaga bara api perlawanan, dan tak mudah goyah di tengah keadaan negeri yang tak menentu seperti ini—demokrasi berjalan semu, kekerasan masif, ketidakadilan di mana-mana, dan oligarki berkuasa.
Nomor ini terdengar indah sekaligus perih ketika bersanding dengan pembacaan prosa oleh Morgue Vanguard alias Herry Sutresna alias Ucok—salah satu pentolan kolektif hip hop paling radikal saat Orde Baru, Homicide. Lagu ini ingin memperingatkan kita semua untuk tetap waras di dunia yang tak baik-baik saja.
Beberapa perang bukan untuk dimenangkan
Beberapa kemenangan bukan untuk dirayakan
Bertahanlah sedikit lebih lama
Tumbuhlah liar serupa gulma
Dalam testimoninya, Ucok seperti ingin mengonfirmasi tafsir-tafsir itu.
“Saya merasa tak ada momen yang lebih tepat untuk menaruh tema kesuraman nihilistik tadi sebagai latar belakang, dan menaruh jendela berharap di ujung ruangannya.”[]
Editor: Nuran Wibisono