tirto.id - Bertarikh 6 November 2024, dengan difasilitasi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, beraudiensi dengan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, dan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas.
Dalam audiensi tersebut, ketiganya membahas skema pengupahan untuk menggantikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang pengupahan yang tidak berlaku lagi setelah terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Judicial Review (JR) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja.
Pada kesempatan itu, Yassierli menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan dua kelompok dalam menentukan ketetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025. Perbedaan kelompok akan berdasarkan pada indeks tertentu atau alpha dalam koefisien yang menentukan kenaikan UMP.
“Kelompok pertama, industri padat karya, indeks tertentu atau alphanya nilainya adalah 0,2 sampai 0,5 dan kelompok kedua, industri padat modal, nilai indeks tertentunya atau alphanya 0,2 sampai 0,8,” beber Said Iqbal, kepada Tirto, Selasa (26/11/2024).
Selain mengusulkan dua kelompok UMP, Said Iqbal juga menyayangkan keputusan Yassierli yang mendasarkan rancangan penghitungan UMP 2025 itu dari usulan pengusaha saja tanpa ada keterlibatan buruh dalam pembahasan skema 2 golongan UMP itu.
Oleh karena itu, Said lantas menilai bahwa Guru Besar di Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) itu tak menetapkan UMP dan hanya memasrahkan penetapan upah di tangan pengusaha.
“Kata Menaker, itu adalah sudah dibicarakan dan disetujui oleh pengusaha. Nah saya bilang, kalau begitu bapak hanya mempertimbangkan usulan pengusaha dong. Buruh kan belum ditanya. Nah karena buruh nggak diikutkan, saya tolak. Itu aneh. Maksudnya, yang mendengarkan usulan pengusaha, usulan buruhnya nggak ditanya. Kan lucu,” terangnya.
Tak cuma menolak, jika UMP 2 golongan tetap dijalankan, Said Iqbal mengklaim pemerintah telah melanggar putusan MK. Ia beralasan, putusan MK yang diterbitkan pada 31 Oktober 2024 menyatakan hanya ada satu jenis UMP, yakni yang ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan provinsi dan/atau bupati/wali kota.
Selain itu, UMP juga ditetapkan sama rata antara satu industri dengan industri lainnya. Pun, dalam penghitungannya UMP juga harus mencakup tiga variabel, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Kemudian, hal yang tidak boleh ketinggalan juga penetapan UMP harus didasarkan pada unsur kebutuhan hidup layak (KHL)
“Yang mana aturan upah minimum? Ya yang diputuskan MK. Hanya mendasarkan kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertemuan ekonomi, dan indeks tertentu. Dengan memperhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak atau KHL. Udah cuma itu, nggak ada pengelompokan-pengelompokan,” tegas Said.
Tak muluk-muluk, buruh hanya ingin kenaikan UMP di kisaran 8-10 persen, agar buruh tak terjebak dalam kemiskinan absolut meski bekerja. Angka itu didapat dari perkiraan inflasi sekitar 2,5 persen yang kemudian ditambah pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen.
“Tahun 2024 kemarin kita nombok 1,3 sampai 1,4 (persen). Jumlah lainnya itu kan 9 persen. Berarti 7,6 tambah 1,4 itu kan 9 persen. Makanya saya bilang di antara 8 persen sampai 10 persen. Gampang banget ngitungnya. Memang alphanya atau indeks tertentunya itu adalah 1,0 sampai 1,2. Itu usulan buruh,” jelas dia.
Menurut Said Iqbal, permintaan ini masih wajar, apalagi tidak ada korelasi antara UMP dengan kondisi industri saat ini yang masih dipenuhi oleh tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dia mencontohkan, salah satu daerah yang menjadi penyumbang angka PHK tertinggi adalah Jawa Tengah, namun UMP Jawa Tengah juga lah yang terendah di seluruh Indonesia.
Menukil data Kementerian Ketenagakerjaan, ada sekitar 63.947 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Oktober 2024, melonjak 20,67 persen dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 52.993 tenaga kerja. Tidak hanya itu, jumlah pekerja ter-PHK ini juga jauh lebih besar ketimbang periode Oktober 2023 yang sebanyak 45.576 tenaga kerja.
Jika dirinci, provinsi Jakarta menjadi wilayah yang paling banyak menyumbang angka PHK, yakni mencapai 14.501 tenaga kerja. Kemudian disusul oleh Jawa Tengah sebanyak 12.489 tenaga kerja, Banten 10.702 tenaga kerja, Jawa Barat 8.508 tenaga kerja, dan Jawa Timur 3.694 tenaga kerja.
“Jawa Tengah tuh upah termurah atau upah tertinggi? Upah termurah. Bahkan upah termurah seluruh dunia akhirat, kalau bercandaan kita itu. Jadi kalau ada upah minimum dunia akhirat, nah itulah Jawa Tengah,” terangnya.
Ihwal masalah yang berkembang akhir-akhir ini, yakni ambruknya raksasa tekstil Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex, bahkan menurutnya lebih didominasi oleh masalah gagal bayar alih-alih ketenagakerjaan. Begitu pula dengan PHK di industri-industri manufaktur/pengolahan lainnya yang juga lebih banyak disebabkan oleh perlambatan kinerja industri dan gempuran barang impor berharga murah.
“Nah kenapa dia jadi upah disalahin? Pastinya upahnya terendah sedunia akhirat, PHK juga. Jadi bukan karena upah,” tambah Said.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, mengatakan KSBSI mengusulkan kenaikan UMP 2025 dengan rumus pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi dan ditambah indeks tertentu (kumulatif). Artinya, variabel indeks tertentu yang selama ini diterapkan dalam PP 36/2021 dan PP 51/2023 menjadi variabel pengurang harus diubah menjadi penambah.
“Jika di DKI Jakarta UMP 2024 sebesar Rp5,07 juta, maka dengan formula kumulatif dari 3 variabel itu, terdapat kenaikan upah sebesar 7,74 persen atau Rp392.215, dimana pertumbuhan ekonomi 4,84 persen, inflasi 1,70 persen dan rentang nilai indeks tertentu 1,2 persen,” kata dia, kepada Tirto, Selasa (26/11/2024).
Akan tetapi, menurut Elly, sebetulnya berapa pun kenaikan upah, asal dalam koridor rasional, akan diterima oleh pengusaha. Namun, hal yang menjadi masalah dalam penetapan UMP adalah soal aturan yang berubah-ubah.
Dalam kurun waktu terakhir saja, skema pengupahan telah berubah sebanyak tiga kali, sejak diterbitkannya PP 78/2015. Tidak hanya itu, bukan lebih baik, dengan bergantinya tahun regulasi formula pengupahan malah sangat berdampak buruk baik bagi buruh maupun bagi pengusaha.
“Bagi buruh buruk karena regulasi formula pengupahan mulai dari PP 36/2021 sampai PP 51/2023 cenderung mendegradasi upah riil buruh. Kenaikan upah 1-3 persen di masa lalu tidak ada artinya karena kenaikan itu tidak mampu mengimbangi harga kebutuhan hidup sehari-hari buruh dan keluarganya. Inflasi tidak dapat dikendalikan pemerintah,” jelas Elly.
Sebaliknya, formula penghitungan ini sangat disukai pengusaha karena pengusaha mengedepankan kepastian hukum, birokrasi tidak berbelit-belit dan upeti dihapus. Jika pemerintah mampu menjaga kepastian hukum, regulasi tidak berubah dalam waktu singkat dan tak terduga, pengusaha akan mampu membuat rencana kerja dan keuangan perusahaannya ke depan.
Namun, putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 membuat formula dengan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang diatur dalam PP 51/2023 menjadi tidak berlaku. Mahkamah Konstitusi justru mereformulasi variabel indeks tertentu dengan kalimat baru yang masih membutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
“Perubahan PP 51/2023 ini sangat mendesak dilakukan pemerintah supaya ada payung hukum pengaturan formula penghitungan upah minimum tahun 2025,” tegas dia.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Bob Azam, mengklaim UMP 2025 paling adil ditetapkan berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Sedangkan upah di atas UMP dapat dilakukan oleh masing-masing perusahaan dengan pekerjanya setelah melalui diskusi bipartit.
Terpisah, Praktisi Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, melihat dua kelompok UMP sebagai bentuk diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap tenaga kerja. Menurut Tadjudin, sikap buruh yang menuntut kenaikan upah tinggi di tengah perlemahan kinerja industri memang tak patut dibenarkan, tetapi mematok dua UMP berbeda bagi industri padat karya dan padat modal juga bukan sikap yang harus dibenarkan.
Meskipun rencana ini didasarkan pada perlambatan kinerja industri dan juga daya beli masyarakat yang membuat ekonomi Indonesia tumbuh melambat. Lemahnya kinerja industri padat karya ini tercermin dari data Purchasing Manager’s Index (PMI) yang telah terkontraksi selama beberapa bulan terakhir. Perlu diingat, PMI pada Oktober 2024 tercatat masih terkontraksi di level 49,2, tak beranjak dibanding bulan September 2024.
“Menurut saya kalau upah tidak bisa diskriminasi seperti itu. Masa upah katakan aja lah sama-sama tukang lah. Jadi padat karya katakan lebih tinggi, eh lebih rendah dibandingkan dengan yang padat modal?” kata dia, saat dihubungi Tirto, Selasa (26/11/2024).
Jika memang tujuannya memperbaiki kinerja industri manufaktur, menurut Tadjudin, akan lebih baik kalau pemerintah memberikan dukungan lebih banyak kepada industri padat karya. Dukungan ini dapat diberikan dalam bentuk insentif perpajakan atau kemudahan akses bahan baku yang dapat menjaga kelangsungan produksi.
“Insentif pajak untuk industri padat karya itu mungkin dikasih lebih tinggi dibandingkan dengan yang padat modal. Jadi yang padat modal insentif pajaknya misalnya katakan 10 persen, untuk yang padat karya mungkin 15 persen. Jadi jangan upahnya yang dimainkan itu nggak masuk di akal. Masa sama-sama bekerja dalam bidang yang sama upahnya beda. Itu nggak logis,” jelas Tadjudin.
Berbeda dengan Tadjudin, Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat melihat pengelompokan UMP berdasarkan jenis industri merupakan langkah progresif dan berpotensi menciptakan keseimbangan yang lebih adil dalam sistem pengupahan. Sebab, skema ini memberikan pendekatan yang lebih adaptif terhadap kebutuhan dan tantangan masing-masing sektor industri, yang memiliki karakteristik ekonomi berbeda.
Industri padat karya, seperti tekstil, garmen, atau manufaktur ringan misalnya, biasanya memiliki struktur biaya yang lebih sensitif terhadap komponen upah. Di sisi lain, industri padat modal, seperti teknologi, otomotif, atau farmasi, memiliki daya dukung yang lebih besar karena penggunaan teknologi canggih dan skala investasi tinggi.
“Dengan penggolongan UMP, industri padat karya dapat memiliki standar upah yang lebih sesuai dengan kemampuan finansial mereka, sementara industri padat modal tetap memberikan upah yang lebih tinggi, sejalan dengan margin keuntungan mereka yang lebih besar,” kata Achmad, kepada Tirto.
Rencana pengelompokan ini, kata Achmad, berpotensi meningkatkan daya saing industri, khususnya bagi sektor padat karya yang menghadapi persaingan ketat dari negara lain seperti Vietnam atau Bangladesh. Dengan upah lebih kecil, praktis membuat biaya produksi menjadi lebih kompetitif sehingga lebih menarik bagi para investor, baik investor dalam negeri maupun asing. Saat daya saing mengalami penaikan, relokasi pabrik dari investor potensial ke negara lain pun dapat dicegah.
“Selain itu, kebijakan ini dapat membantu sektor padat karya mempertahankan lapangan kerja, mengurangi risiko PHK akibat tekanan biaya yang terlalu tinggi. Dalam konteks tenaga kerja, kebijakan penggolongan UMP memberikan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk menciptakan keadilan,” sambungnya.
Industri padat modal, dengan pekerja yang umumnya memiliki keterampilan tinggi, dapat didorong untuk memberikan upah lebih besar, sehingga memperkuat daya beli dan kesejahteraan pekerja. Sedangkan bagi sektor padat karya, skema pengupahan ini diharapkan tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar pekerjanya tanpa membebani kapasitas finansial perusahaan secara berlebihan.
Meski begitu, dalam pembahasan skema ini, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan harus memastikan adanya dialog yang lebih intensif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja. Dus, skema yang ditetapkan nantinya bisa dirancang secara inklusif, berbasis data, dan mencerminkan kondisi riil di lapangan.
"Hal ini memastikan bahwa kebijakan tersebut dapat diterima dan dijalankan secara efektif oleh semua pihak yang terlibat. Penggolongan UMP berdasarkan padat karya dan padat modal, jika diterapkan dengan baik, akan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pekerja dan keberlanjutan usaha,” terang Achmad.
Soal berapa upah yang paling adil untuk pengusaha dan buruh, lanjut dia, UMP yang ditetapkan haruslah tidak terlalu tinggi, sehingga membuat dunia usaha terbebani dan berpotensi mengurangi daya saing industri. Namun, kenaikan UMP tidak boleh pula terlalu rendah karena di tengah kondisi harga barang tinggi, upah yang diterima para pekerja di sektor padat karya ditakutkan akan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya.
“Kebijakan ini tidak hanya memberikan keadilan tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memastikan transparansi, pengawasan yang baik, serta keterlibatan semua pemangku kepentingan untuk menjamin keberhasilan implementasinya,” tukas Achmad.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, membantah pihaknya bakal menerapkan aturan UMP pada 2 kelompok. Dokumen yang diperlihatkannya kepada Presiden KSPI, Said Iqbal merupakan bahan awalan untuk diskusi saja.
“(Draf) itu buat diskusi-diskusi awal,” kata dia, di Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Meski memang benar rencana itu dipikirkannya untuk meringankan beban banyak perusahaan manufaktur yang sedang mengalami kesulitan finansial, namun setelah mengalami kajian lebih mendalam, aturan ini cukup sulit untuk diterapkan.
“Tidak sesederhana (itu) memisahkan (UMP) padat karya dan non padat karya (padat modal). Kayaknya kita nggak (jadi) ke sana,” imbuh dia.
Dalam kesempatan lain, dia mengatakan bahwa sebelumnya dia juga telah melaporkan progres pembahasan UMP 2025 kepada Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara. Pada kesempatan itu, dia juga telah mendengarkan arahan orang nomor satu di Indonesia tersebut. Sehingga, Setidaknya aturan soal UMP 2025 sudah bisa dirilisnya paling lambat awal Desember 2024.
“Jadi berikan kami (waktu) dulu untuk merumuskan sesuai arahan beliau. Sesudah itu nanti kita akan menghadap beliau untuk terakhir kalinya, sesudah itu kita akan edarkan peraturan menterinya kepada gubernur,” kata Yassierli usai acara Social Security Summit di Hotel Bidakara Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2024).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher