Menuju konten utama

Setahun Prabowo-Gibran: Penerimaan dan Rasio Pajak Mencemaskan

Tax ratio yang sempat 10,2 persen pada 2024 berpotensi kembali turun ke bawah 10 persen akibat terkontaksinya penerimaan.

Setahun Prabowo-Gibran: Penerimaan dan Rasio Pajak Mencemaskan
Presiden Prabowo Subianto memanjatkan doa untuk para Pahlawan Revolusi saat meninjau sumur maut tempat dibuangnya beberapa pahlawan yang gugur saat 30 September 1965 di Museum Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Rabu (30/9/2025). ANTARA/HO-BPMI Sekretariat Presiden/aa.

tirto.id - Kabar kurang menggembirakan muncul dari konferensi pers Realisasi APBN KiTA edisi Oktober 2025. Paslanya, data-data yang dipaparkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberi sinyal kian sempitnya ruang fiskal di tengah ambisi besar pemerintahan Prabowo-Gibran.

Ini tercermin dari kondisi realisasi penerimaan pajak Indonesia masih jauh dari harapan. Per akhir September 2025, Kementerian Keuangan melaporkan realisasinya hanya sebesar Rp1.295,28 triliun, atau baru 62,4 persen dari target tahunan. Angka ini bahkan lebih rendah dibandingkan capaian periode sama tahun lalu, yang sebesar Rp1.354,86 triliun.

Kondisi ini secara langsung berpengaruh pada target-target yang dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Salah satunya, rasio penerimaan perpajakan yang dibidik mencapai 10,24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir 2025dan meningkat ke kisaran 11,52-15 persen di akhir masa jabatan.

Apalagi, pada paruh pertama 2025, rasio pajak Indoneisia berada di posisi 8,42 persen, merosot dari posisi 10,08 persen pada tahun sebelumnya. Ini tak lepas dari melemahnya penerimaan pajak sebesar 7 persen pada kurun tersebut, sehingga Direktorat Jenderal Pajak hanya mampu mengantongi Rp831,27 triliun atau 38 persen dari target APBN 2025.

Kondisi penerimaan pajak yang masih jauh dari harapan ini lantas menimbulkan pertanyaan besar: dapatkah target rasio pajak dalam RPJMN 2025-2029 tercapai? Dan, lebih penting lagi, bagaimana kemampuan negara membiayai janji-janji besar pemerintah, mulai dari Program Makan Bergizi Gratis, Swasembada Pangan, hingga modernisasi pertahanan.

“Sayangnya, kinerja fiskal awal menunjukkan tren melambat. Hingga Agustus 2025, penerimaan pajak melemah dibanding tahun sebelumnya; PPh badan dan PPN dalam negeri bahkan mengalami kontraksi akibat lesunya konsumsi dan industri,” ujar Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kepada Tirto, dikutip Kamis (16/10/2025).

Menurut Achmad, penurunan penerimaan pajak yang terus berlanjut tak bisa lagi dianggap sepele. Terlebih, berdasarkan proyeksi Kementerian Keuangan, penerimaan pajak di tahun ini hanya akan finish di angka Rp2.076,9 triliun. Artinya, akan terdapat shortfall pajak hingga Rp112,4 triliun.

Dalam kondisi seperti ini, target rasio pajak dalam RPJMN 2025 tampak lebih seperti ambisi politik daripada capaian realistis, kecuali terjadi lompatan kebijakan yang nyata. Padahal, rasio pajak bukan hanya indikator utama kemandirian fiskal, melainkan juga mencerminkan kepercayaan publik terhadap negara.

“Negara-negara dengan tax ratio tinggi biasanya punya administrasi yang efisien dan masyarakat yang yakin pajak mereka dikelola dengan baik. Indonesia tertinggal di kisaran dibawah 10 persen, jauh dari Vietnam (17 persen) dan Thailand (16 persen). Masalahnya bukan pada potensi ekonomi, tetapi pada lemahnya kemampuan memobilisasi penerimaan,” jelas dia.

Analogi sederhananya seperti rumah tangga dengan banyak sumber pendapatan, tapi pembukuan amburadul. Potensi besar, tapi bocor di banyak sisi. Tax gap Indonesia—selisih antara potensi dan realisasi pajak—masih sangat lebar.

Di luar itu, pemerintahan baru Prabowo-Gibran juga menghadapi tekanan berat akibat kombinasi ekonomi global yang melambat, ketegangan geopolitik dan beban fiskal dari program populis pemerintah.

“Program makan bergizi gratis saja diperkirakan menelan hingga Rp150 triliun per tahun. Tanpa kenaikan rasio pajak, pembiayaan utang akan menjadi jalan pintas, namun berisiko bagi disiplin fiskal,” tambah Achmad.

Sementara itu, untuk mencapai rasio pajak 12 persen saja, Indonesia harus menambah penerimaan setara 2 persen PDB, atau lebih dari Rp600 triliun—tanpa menaikkan tarif pajak. Artinya, basis pajak harus diperluas secara drastis. Namun lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia masih di sektor informal, yang kontribusi pajaknya minim.

Dalam hal ini, reformasi pajak menjadi sebuah keniscayaan. Namun, reformasi pajak bukan sekadar mengganti sistem dengan teknologi baru, tetapi membangun budaya integritas dan pelayanan pajak yang lebih baik.

“Era Jokowi sudah memulai digitalisasi pajak lewat core tax system dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tapi hasilnya belum maksimal karena implementasi lambat dan kepercayaan publik rendah. Sistem baru tak akan efektif tanpa perubahan perilaku aparat dan wajib pajak. Pemerintahan Prabowo harus melanjutkan reformasi ini dengan menanamkan etos compliance by design,” jelas Achmad.

Meski begitu, peningkatan rasio pajak tak boleh mengorbankan keadilan. Jika beban justru menimpa kelompok menengah dan sektor usaha akar rumput -Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), ekonomi bisa kehilangan daya dorongnya. Karena itu, pemerintah perlu fokus pada sektor dengan potensi besar namun masih under-taxed seperti ekonomi digital, tambang dan properti mewah.

“Integrasi data lintas lembaga menjadi kunci. Jika data transaksi, kepemilikan aset, dan catatan kependudukan terhubung, pajak bisa lebih akurat dan adil. Pajak akan berbasis bukti, bukan sekadar pengakuan,” saran Achmad.

Terpisah, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menilai upaya keras yang kini dilakukan Kementerian Keuangan akan membuat target penerimaan pajak tidak akan jauh di bawah target. Kondisi tersebut juga akan menyebabkan rasio pajak hingga akhir tahun ini tidak akan terkerek tinggi.

“Upaya Kemenkeu untuk mengerek penerimaan pajak sudah terlihat di antaranya berupa kebijakan pengalihan dana dari rekening BI ke rekening bank-bank plat merah agar sektor ekonomi riil lebih bergairan; kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, baik oleh DJP maupun DJBC, melalui joint program, joint audit, dan joint monitoring,” katanya, kepada Tirto.

“Pembenahan sumber aparatur pajak di DJP dan DJBC, serta percepatan perbaikan aplikasi Coretax,” sambung Prianto.

Namun demikian, jika dilihat dari sudut pandang optimisme, target rasio pajak pada RPJMN 2025-2029 bisa saja diraih Indonesia. Apalagi, jika upaya yang dilakukan Kementerian Keuangan tersebut diteruskan dengan konsisten.

Sebaliknya, dari sudut pandang pesimistis, Prianto mengakui, target rasio pajak sebesar 15 persen di akhir 2029 terlalu ambisius. Belum lagi, kondisi ekonomi Indonesia dan dunia sampai saat ini belum juga membaik.

“Saya pribadi memilih optimisme, sehingga target rasio pajak tetap dapat tercapai. Dengan optimisme, banyak jalan dapat ditempuh guna mencapai target tersebut. Dengan demikian, opsi tambah utang dapat menjadi solusi. Opsi lainnya adalah penggunaan SILPA, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, yang berasal dari selisih lebih antara realisasi penerimaan dan belanja selama satu periode anggaran,” lanjut dia.

Sementara itu, seiring dengan membaiknya aktivitas ekonomi nasional, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, optimis rasio pajak Indonesia akan meningkat sebesar 0,5 persen pada 2026. Kenaikan tersebut pun akan berpotensi menambah penerimaan negara hingga lebih dari Rp110 triliun.

"Harusnya ke depan akan membaik terus. Tax ratio-nya mungkin nggak 23 persen, tapi akan naik pelan-pelan ke depan. Saya harapkan sih tahun depan dengan mulai hidupnya sektor riil, rasionya akan naik otomatis tuh 0,5 persen tuh. Itu ada tambahan income Rp110 triliun lebih. Mudah-mudahan terjadi,” ujar Purbaya di Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Dalam kesempatan lain, Purbaya memperkirakan, rasio pajak akan menunjukkan peningkatan di tahun depan, yakni mencapai 11 persen. Meski begitu, ia belum dapat memastikan berapa pertumbuhan rasio pajak tahun ini, karena dampak kebijakan stimulus fiskal baru berjalan satu bulan.

Lebih lanjut, mantan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS) itu menjelaskan, rasio pajak tahun ini yang masih berada di kisaran 10 persen, terjadi akibat berbagai kebijakan stimulus yang diterapkan pemerintah. Namun, dengan perbaikan regulasi, ia yakin kondisi akan berbalik dan membaik di kuartal terakhir tahun ini.

"Tax ratio-nya kan kita kan 10 persen kemarin kan ya. Ini kan perubahan kebijakan baru satu bulan. Mungkin kuartal terakhir baru kelihatan penuh, kuartal keempat," ujarnya, kepada awak media, di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Rabu (15/10/2025).

Sementara itu, pencapaian target tax ratio menuju 11 persen akan didorong melalui berbagai langkah efisiensi dan optimalisasi penerimaan pajak. Purbaya menekankan bahwa dengan efisiensi yang maksimal, realisasi tax ratio bisa melampaui target minimal. "Kalau saya efisiensikan yang lain-lain, harusnya lebih tinggi lagi," tambahnya.

Ketika ditanya mengenai target spesifik 11 persen, menurut Purbaya pihaknya akan mengejar ke arah itu. "Kita mengejar ke arah sana,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana