tirto.id - Presiden Joko Widodo mendapat “serangan” beruntun, mulai dari eks pimpinan lembaga tinggi negara hingga mantan anak buahnya di kabinet. Mereka bercerita soal pengalamannya semasa masih menjabat terkait dugaan upaya intervensi yang dilakukan Jokowi.
Hal tersebut berawal ketika eks Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengaku pernah dipanggil Jokowi secara pribadi –biasanya bersama pimpinan KPK lain—ke Istana Negara dalam acara Rosi di Kompas TV. Dalam acara tersebut, Agus mengatakan Jokowi marah dan minta agar kasus Setya Novanto dihentikan. Saat itu, Novanto adalah ketua umum Partai Golkar cum Ketua DPR RI.
“Presiden sudah marah, menginginkan waktu saya masuk dia sudah teriak hentikan. Kan saya heran yang dihentikan apanya? Saat itu saya baru tahu yang suruh dia hentikan kasus Pak Setnov,” kata Agus dalam acara tersebut.
Agus pun mengatakan dirinya tidak bisa menghentikan proses kasus Novanto karena KPK tidak punya ketentuan penghentian penyidikan atau SP3. Hal itu, dugaan Agus, lantas memicu revisi Undang-Undang KPK yang berujung pada pelemahan KPK. Detial artikel bisa dibaca di link ini.
Tidak lama berselang, mantan Menteri ESDM Kabinet Kerja, Sudirman Said ikut buka suara. Pria yang kini Co-Captain Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar itu kembali mengungkit kisah saat dirinya melaporkan Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Saat itu, kata Sudirman, Jokowi juga marah.
“Beliau menanyakan dengan nada tinggi ‘siapa di balik semua ini?’ dan saya jawab tidak karena saya sedang melakukan ini dengan profesional sebagai penanggungjawab sektor. Karena pada saat itu saya ditugaskan menata sektor,” kata Sudirman di Rumah Koalisi Perubahan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Minggu (3/12/2023).
Sudirman mengaku bahwa tindakan yang dia melaporkan Setya Novanto ke MKD DPR RI sudah dilakukan atas restu Jokowi.
“Karena ketika dikonsultasikan ada berbagai opsi untuk dilakukan,” kata dia.
Namun, Sudirman mengaku tak tahu mengapa Jokowi justru berbalik memarahinya saat melaporkan Setya Novanto. Sebagai bawahan Jokowi saat itu, Sudirman tak bertanya maupun membantah atas kemarahan Jokowi tersebut.
“Jadi saya tidak tahu mengapa pada saat itu presiden marah. Saya merasa semua tindakan tidak akan saya lakukan tanpa ada konsultasi,” kata dia.
Terbaru, beredar video eks Menteri Agama Jenderal (purn) Fachrul Razi mengungkapkan tentang alasan dirinya dicopot dari jabatan menag. Hal ini terungkap dalam akun Youtube EdSahreOn yang dilihat reporter Tirto, Senin (4/12/2023).
Dalam video tersebut, Fachrul bercerita dirinya di-reshuffle karena berbeda pandangan dengan mantan Wali Kota Solo itu dalam menangani FPI. Ia mengaku sempat dipanggil presiden dan wapres karena menyuarakan agar ormas bentukan Rizieq Shihab itu dibina daripada dibubarkan.
“Saya selalu katakan ke Pak Presiden dan Pak Wapres. Saya dipanggil Bapak Presiden dua kali terkait ini, Pak Wapres sekali. Saya bersikap bahwa 'Pak ndak perlu dibubarkan cukup dibina dan ndak masalah, bukan ancaman kalau pandangan saya'," ujar Fachrul.
Fachrul kemudian bercerita dirinya menghadiri rapat pembubaran FPI. Istri Fachrul pun sempat mewanti-wanti kepada mantan Wakil Panglima ABRI itu bahwa dirinya akan di-reshuffle ketika membela FPI.
“Istri saya bilang, 'Pah, kalau papah tetap bertahan tidak membubarkan FPI, tapi hanya membelanya atau membinanya, papah pasti 100 persen di-reshuffle. Tapi menurut saya, itu pilihan terbaik. Kalau enggak, papah malu sama umat Islam. Malu sama orang Aceh. Orang organisasi Islam besar dibina saja cukup kenapa harus dibubarkan',” kata dia.
Fachrul membuka isi pertemuan bahwa semua menteri, kepala badan, dan lembaga dalam rapat kabinet tersebut memiliki satu suara untuk bubarkan FPI, kecuali dirinya. Tak lama kemudian, posisi menag pun diganti. Ia juga senang pembubaran FPI terjadi setelah purnawirawan TNI ini diganti.
Respons Istana Negara
Istana tentu merespons terkait “serangan” di atas. Jokowi bahkan secara langsung mempertanyakan soal pernyataan Agus Rahardjo. Jokowi mengingatkan, ia mendorong agar Novanto mengikuti proses hukum pada 2017. Jokowi mengatakan kasus Novanto akhirnya diproses dan akhirnya divonis 15 tahun penjara.
Jokowi lantas mempertanyakan muncul narasi tersebut. “Terus untuk apa diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu, untuk kepentingan apa? Dah itu aja,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023).
Semenetara terkait pernyataan Sudirman Said, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, justru mengatakan Jokowi mengapresiasi upaya Sudirman melaporkan Novanto ke MKD.
“Faktanya, presiden seperti disampaikan Bapak Sudirman Said tanggal 7 Desember 2015 di Istana, justru sangat mengapresiasi proses terbuka yang telah dilakukan MKD dan terus mengikuti dari berbagai media dan stafnya. Presiden juga berpesan untuk terus mendidik masyarakat karena persoalan etika itu penting bagi publik,” kata Ari Dwipayana dalam keterangan.
Sedangkan terkait pernyataan Fachrul Razi, Ari menegaskan bahwa pengangkatan dan pemberhentian menteri oleh Presiden Jokowi telah mempertimbangkan banyak hal.
“Presiden pasti mempertimbangkan banyak hal, untuk yang terbaik bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” kata Ari.
Ari juga menjelaskan, keputusan pembubaran FPI tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani enam menteri dan kepala lembaga dibawah koordinasi menkopolhukam, antara lain mendagri, menkumham, menkominfo, jaksa agung, kapolri, dan kepala BNPT.
“SKB 6 K/L itu disampaikan pemerintah setelah rapat bersama yang dilakukan di Kantor Kemenkopolhukam pada 30 Desember 2020. Jejak digitalnya bisa di-check lagi,” kata Ari.
Ari juga mengaku tidak tahu alasan di balik isu pemberhentian Fachrul Razi dan isu seperti yang dilontarkan Agus Rahardjo dan Sudirman naik di tengah proses pemilu.
“Saya tidak tahu apa yang melatarbelakangi, mengapa isu pergantian Bp. Fachrur Razi sebagai menteri agama dan isu/kasus yang lain, baru diangkat saat ini, di tengah proses kontestasi politik dalam pemilu. Dalam istilah Bapak Presiden untuk apa diramaikan? Dan untuk kepentingan apa itu diramaikan?” kata Ari.
Bagian dari Kampanye Negatif?
Analis politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Silvanus Alvin, menilai kritik intens tersebut tidak lepas dari situasi dinamika politik yang semakin kompleks. Hal ini diduga tidak lepas dari permasalahan hubungan Jokowi dengan PDIP, parpol yang telah membesarkannya.
Alvin menilai, pernyataan para tokoh bisa disebut sebagai kampanye negatif. Ia menambahkan, serangan kepada Jokowi kali ini spesial karena akan menyasar kepada paslon nomor urut 2, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Seringkali, kampanye negatif dilancarkan pada kandidat incumbent, tapi di sini sedikit spesial, karena Jokowi diasosiasikan berada mendukung paslon 2. Sehingga serangan yang diarahkan pada Jokowi kental sekali nuansanya bertujuan untuk memengaruhi opini publik menjelang pemilihan,” kata Alvin, Senin (4/12/2023).
Alvin mengatakan isu yang diangkat cukup sensitif seperti kasus korupsi e-KTP yang bisa berdampak sebagai pukulan kepada pemerintahan Jokowi. Alvin juga menilai, perlu ada upaya pembuktian atas kritik yang dilempar Agus tersebut.
“Namun, kalau bicara citra, maka itu di ranah akhir. Di saat sekarang, masih ada ruang gerak bagi pemerintahan Jokowi untuk merespons, apakah tuduhan itu benar atau bualan belaka,” kata Alvin.
Menurut Alvin, kubu paslon 1 akan diuntungkan akibat serangan-serangan tersebut. Sebab, kata Alvin, kubu paslon 2 juga bisa terkena, tetapi ia memprediksi tidak signifikan.
“Soal pengaruh ke [paslon nomor] 2, tentu akan ada, tapi selama tidak bersinggungan langsung pada Prabowo dan Gibran, saya rasa tidak akan signifikan," kata Alvin.
Sementara itu, analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai bahwa aksi kritik kepada Jokowi bisa dikategorikan sebagai serangan untuk menurunkan angka kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi.
Menurut Arifki, approval rating Jokowi yang masih tinggi perlu dikurangi oleh pihak yang ingin mengurangi kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi. Selain itu, Arifki menduga motif serangan tidak lepas dari posisi Jokowi yang kini secara tidak langsung mendukung Prabowo-Gibran.
Ia meyakini serangan tersebut upaya untuk mengganggu proses politik dan menggoyang persepsi positif publik yang masih tinggi terhadap Jokowi.
“Artinya serangan kepada Pak Jokowi tentu mau enggak mau juga mengganggu kekuatan publik Pak Jokowi kan? Ini juga akan mengarahkan mengurangi arah politik Pak Jokowi,” kata Arifki.
Arifki menilai, upaya menyerang bisa dikategorikan sebagai ikhtiar mengurangi suara kepercayaan publik kepada pemerintahan Jokowi. Namun, kata dia, tidak semua isu bisa dipakai untuk menurunkan tingkat kepercayaan publik pada pemerintahan saat ini. Ia mencontohkan kasus Iriana Jokowi.
“Misalnya soal menyerang Ibu Iriana, artinya menyerang hal pribadi tentu publik menilai bahwa ini lebih kepada kebencian dan ketidaksenangan dibandingkan sebuah narasi untuk menggiring opini agar publik percaya dengan narasi yang dimainkan oleh kompetitor,” kata Arifki.
Akan tetapi, Arifki mengingatkan dampak ikhtiar kompetitor akan sulit. Ia beralasan mereka yang mengkritik dari semua paslon adalah bagian pemerintahan. Ia mengatakan posisi PDIP dengan kursi terbanyak maupun PKB dan Nasdem yang masih memiliki kursi di kabinet pemerintahan Jokowi.
“Mungkin efektif, tapi mereka masih bagian pemerintahan, tapi merasa oposisi. Kan enggak bisa kayak gitu karena publik lihat Nasdem punya kursi di pemerintahan, PKB punya kursi di pemerintahan dan PDIP pemilik kursi mayoritas di pemerintahan Jokowi,” kata Arifki.
Arifki melihat tindakan ini akan menyasar dua hal. Pertama, merebut maupun menjaga pemilih yang tidak suka Jokowi. Hal itu dapat dilihat dari 20 persenan publik tidak suka Jokowi. Di sisi lain, kompetitor tengah berusaha meraih suara swing voters agar mendukung mereka.
Di sisi lain, kata dia, kubu paslon nomor 2 harus berhati-hati. Jika tidak dikelola dengan baik, maka aksi konsisten serangan kepada Jokowi bisa berdampak politik.
“Ini masa kampanye. Semua orang menjaga narasi. Kalau ada narasi yang berkembang lebih concern. ada yang negatif di-concern, yang positif disambut. Yang penting itu aja,” kata Arifki.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz