Menuju konten utama
Kampanye Capres-Cawpres

Menimbang Janji Program Insentif Guru Ngaji ala Ganjar-Mahfud MD

Jubir TPN Ganjar-Mahfud MD sebut rencana pendanaan program ini akan diambil dari APBN dan menyasar satu juta individu di tahun pertama realisasi.

Menimbang Janji Program Insentif Guru Ngaji ala Ganjar-Mahfud MD
Header Capres Ganjar Pranowo dan Cawapres Mahfud MD. tirto.id/Tino

tirto.id - Cyril Raoul Hakim percaya diri bahwa dengan keinginan politik yang kuat alias political will, program visi-misi pasangan bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mampu terwujud. Begitupun pria yang akrab disapa Chico ini menilai, program visi-misi milik paslon capres-cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dapat terlaksana sesuai harapan.

Chico merupakan Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud. Hal ini disampaikannya saat menjelaskan realisasi rencana program Ganjar-Mahfud, terkait insentif untuk guru ngaji dan pengajar agama nonformal lainnya.

“Kami optimis program ini bisa terlaksana. Seperti banyak program lain, bila ada keinginan politik atau political will yang kuat, selalu terbuka jalan untuk mewujudkannya,” ujar Chico kepada reporter Tirto, Senin (4/12/2023).

Dia menjelaskan, rencana program ini bertolak dari hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Survei itu menyatakan, 65 persen guru ngaji dan tenaga pendidikan keagamaan (non-Islam) memiliki pendapatan jauh di bawah upah minimum regional (UMR).

“Dan aspirasi masyarakat, paslon Ganjar-Mahfud sudah menyiapkan program untuk memberikan insentif bagi mereka,” kata Chico.

Umbar-umbar program ini mulai mengemuka belakangan ketika Mahfud MD menggelar kampanye perdana, Selasa (28/11/2023), di Sabang, Aceh. Sabang dipilih lantaran Mahfud merasa ada ikatan emosional dengan daerah di ujung barat Indonesia tersebut.

Di hadapan masyarakat di Sabang, Mahfud berjanji meningkatkan kesejahteraan guru mengaji dan tenaga pendidik keagamaan lainnya. Bahkan, ia mengatakan akan mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan nasional.

“Mas Ganjar sudah mengambil inisiatif di Jawa Tengah, memberikan hibah lebih dari Rp1 triliun untuk insentif guru ngaji dan pendidik keagamaan lainnya. Kebijakan ini akan diluaskan secara nasional,” kata Mahfud saat itu.

Chico mengaminkan pernyataan Mahfud tersebut. Menurut dia, program ini tidak hanya menyasar guru ngaji, namun juga pendidik agama nonformal lainnya. Program ini berarti juga akan menyasar pendidik sekolah minggu, pasraman, maupun vijjalaya.

“Program ini menyasar Tenaga Pendidikan Keagamaan yang artinya bersifat inklusif dan tidak terbatas hanya pada guru ngaji,” tutur Chico.

Silaturahmi Mahfud MD di Ponpes Situbondo

Calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD (kedua kiri) didampingi wakil pengasuh ponpes Kiai Haji Afifuddin Muhajir (kiri) usai ziarah dan doa bersama untuk Pahlawan Nasional K.H.R As'ad Syamsul Arifin di Pondok Pesantren (ponpes) Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Minggu (3/12/2023). ANTARA FOTO/Seno/Spt.

Dari Mana Dananya?

Program ini rencananya akan memberikan insentif sebesar Rp1 Juta kepada para guru ngaji dan pengajar agama nonformal lainnya. Chico membeberkan, sejauh ini rencana pendanaan program ini akan diambil dari APBN dan menyasar satu juta individu di tahun pertama realisasi.

“Tentu di awal pendataan menjadi penting. Target nilai insentif yang akan diberikan sebesar Rp1 juta per bulan. Akan diambil dari APBN, (sebesar) Rp12 triliun atau 0,4% dari total APBN. Jumlah yang sangat realistis dan mudah direalisasikan,” ungkap Chico.

Chico mengakui bahwa pendataan para penerima insentif merupakan unsur penting yang perlu dibenahi. Saat ini, data guru ngaji dan pengajar agama nonformal lainnya belum terhimpun secara nasional. Menurut Chico, jika Ganjar-Mahfud terpilih, Kemenag akan diarahkan untuk membereskan ihwal persoalan data ini.

“Ini bisa dilakukan melalui rumah ibadah, pesantren, atau oleh pemerintahan setempat/desa. Kementerian Agama yang memiliki infrastruktur di seluruh Indonesia bisa melakukan program pendataan ini,” terang Chico.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai pembenahan data dan ketepatan target sasaran akan menjadi tantangan besar program ini. Menurut Tauhid, sebab yang disasar program ini merupakan pengajar agama nonformal di masyarakat, maka perlu dilakukan verifikasi secara menyeluruh.

“Yang susah kan ini yang (pengajar di) lembaga nonformal, perlu diverifikasi jadinya. Tapi sebagai rangka upaya ini cukup baik ya, guru agama kan jarang dihargai,” ungkap Tauhid dihubungi reporter Tirto, Senin (4/12/2023).

Melihat besaran insentif dan rencana pendanaan melalui APBN, Tauhid menilai program ini cukup berpotensi direalisasikan. Hanya saja, program ini perlu dilakukan bertahap dan memiliki tolak ukur yang jelas dalam pelaksanaanya.

“Pasti pilot dulu kalau pasti nanti menjadi program, mulai dari kebijakan, sistemnya, monitoring, dan evaluasi, mungkin baru bisa semua di tahun kelima. Kalau bertahap begitu masih rasional,” ujar Tauhid.

Tauhid menambahkan, pendataan yang tepat akan berkelindan dengan ketepatan sasaran pelaksanaan program ini. Selain itu, pemberian insentif harus diiringi dengan peningkatan kinerja atau keberlanjutan yang memiliki target terukur.

“Jangan sekadar administrasi saja sangat disayangkan uang segitu,” kata Tauhid.

Ironi Guru Agama Nonformal

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai guru atau pengajar agama nonformal saat ini masih banyak yang mengajar dengan prinsip sukarela. Ia menilai mereka laiknya pengajar yang tidak diakui oleh negara.

“Jadi, jangan bicara soal kesejahteraan, sementara statusnya tak jelas. Ini berbahaya jika dibiarkan, sebab posisi dan peran guru agama di masyarakat ini sangat vital,” kata Ubaid dihubungi Tirto, Senin (4/12/2023).

Ubaid setuju jika insentif untuk guru ngaji dan pengajar agama nonformal diambil alih oleh pemerintah pusat. Saat ini, kata dia, insentif yang dilakukan di segelintir daerah hanya berpotensi menghasilkan kesenjangan dan diskriminasi.

“Sama-sama guru, kenapa mesti status dan kesejahteraannya dibeda-bedakan. Kita punya problem serius soal status dan kesejahteraan guru ini, ya terjadi di sektor formal, maupun informal,” tegas Ubaid.

Menurut Ubaid, persoalan data para pengajar tersebut seharusnya bukan masalah sulit. Masyarakat bisa dilibatkan untuk verifikasi data dan kebijakan politik seharusnya mampu membereskan persoalan tersebut.

“Problemnya seringkali (guru agama nonformal) dijadikan pendulang suara saja, jadi hanya ramai insentif sesaat misalnya pada saat pilkada, pilpres, atau momen-momen politik lain, jadi tidak berkelanjutan,” tutur Ubaid.

Juru bicara TPN Ganjar-Mahfud lainnya, Yusuf Lakaseng, menyampaikan program insentif guru ngaji dan pengajar agama nonformal ini tentunya akan dimulai dengan perbaikan data. Hal ini dilakukan agar realisasi program berjalan akurat dan tepat sasaran.

“Program menaikkan kesejahteraan guru ngaji dan guru agama lainnya diperuntukan untuk membentuk moral dan karakter anak bangsa agar berakhlak mulia, mempunyai budi pekerti yang baik,” ujar Yusuf dihubungi reporter Tirto, Senin (4/12/2023).

Yusuf menambahkan, sebab anggaran dana yang dikucurkan berasal dari APBN, maka alas dari program ini berkaitan dengan upaya melipatgandakan pendapatan negara, pemberantasan korupsi, dan digitalisasi pemerintahan.

“Akan dimaksimalkan pendapatan negara dengan meningkatkan nilai tambah ekonomi dengan hilirisasi di banyak sektor, memaksimalkan pendapatan negara dari sektor ekonomi hijau, biru dan digital. Serta pengembalian anggaran negara dari pemberantasan korupsi,” jelas Yusuf.

Silaturahmi Menkopolhukam bersama ulama Bogor

Menkopolhukam Mahfud MD (tengah) berjabat tangan dengan pengurus ponpes dan santri di Pondok Pesantren dan Majelis Taklim Ar-Rohmah, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (27/11/2023). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/nz

Punya Efek Elektoral?

Peneliti Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai gagasan program insentif guru ngaji dan pengajar agama nonformal tersebut termasuk dalam bentuk janji politik pragmatis. Ia merasa gagasan semacam itu cukup usang, dan seringkali tidak berhasil menjangkau elektabilitas.

“Janji senada lebih banyak berhasil di kontestasi yang lebih rendah, misalnya pemilihan bupati atau wali kota. Untuk pilpres tidak cukup berhasil, dan program eksklusif semacam itu sudah didominasi oleh partai (lain),” kata Dedi dihubungi reporter Tirto, Senin (4/12/2023).

Ia menambahkan, sudah banyak janji serupa bahkan yang lebih dramatis dilakukan pihak lain. Misal, memberangkatkan umrah para pengurus masjid, namun janji semacam itu lebih banyak dilakukan oleh kontestasi pilkada.

“Secara umum tidak efektif untuk program nasional, karena publik yang percaya dengan program semacam itu juga sangat kecil, belum lagi pengetahuan publik yang mulai meningkat,” jelas Dedi.

Gagasan ini, kata Dedi, sudah memiliki kelemahan sejak awal. Terlebih, berkaitan dengan data penerima insentif, guru yang formal sekalipun seperti di madrasah-madrasah, masih ada yang belum terpenuhi kesejahteraannya.

“Artinya, program ini hanya terdengar manis, tetapi pahit implementasinya,” kata Dedi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz