tirto.id - Kepala Keamanan Politik di kota Dara’a, Atef Najib, tidak mengira keputusannya menangkap 15 anak yang berusia antara 10 hingga 15 tahun justru mengobarkan revolusi di negerinya. Andai sepupu Presiden Suriah, Bashar Al-Assad, tersebut mengambil tindakan yang lebih bijaksana, kekuasaan Assad mungkin bertahan lebih lama.
Suhu politik di Suriah memang ikut memanas saat revolusi meletus di sejumlah negara tetangganya. Tindakan apa pun yang dianggap bisa menyulut revolusi di negeri itu, termasuk graviti yang berbunyi “Rakyat ingin menumbangkan rezim” sebagaimana dibuat anak-anak tersebut, bisa dianggap serius.
Pada 6 Maret 2011, hari yang sama dengan penangkapan itu, orang tua dari 15 anak yang ditahan mendatangi kantor polisi dan menuntut pembebasan. Seturut Alia Malek dalam The Home That Was Our Country: A Memoir of Syria (2017:212), alih-alih dikabulkan, tuntutan itu dijawab dengan nasihat agar mereka melupakan anak-anaknya.
“Kalau kau mau anak-anak, buat lagi saja. Kalau tidak tahu caranya, bawa istri-istrimu kemari dan kami akan membuatkannya untukmu,” ujar salah satu petugas.
Berita tentang penangkapan 15 anak dan sikap polisi yang semena-mena membuat masyarakat Dara’a naik pitam. Pada 18 Maret 2011, mereka berunjuk rasa dan menuntut agar anak-anak tersebut dibebaskan. Aksi itu ditanggapi pihak kepolisian dengan melepas tembakan ke arah mereka, menewaskan sedikitnya empat orang.
Akibat sikap aparat yang ugal-ugalan, demonstrasi pada hari berikutnya diwarnai pembakaran markas Partai Ba’ath dan gedung Syriatel milik Rami Makhlouf, konglomerat sepupu Bashar Al-Assad. Seiring waktu, protes menjalar ke kota-kota lain, termasuk Damaskus, dan terus menggelinding menjadi revolusi dan perang sipil.
Setengah tahun sejak protes di Dara’a, sedikitnya seribu warga Suriah meregang nyawa akibat sikap brutal aparat. Setelah 13 tahun, jumlah korban tewas tembus setengah juta jiwa. Angka tersebut meliputi 164 ribu warga sipil (25 ribu di antaranya anak-anak) dan 343 ribu kombatan. Lain itu, setengah dari 23 juta penduduk Suriah terusir dari rumah mereka.
Setengah Abad dalam Cengkeraman Al-Assad
Revolusi di Suriah adalah rentetan dari revolusi di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya, yang dikenal dengan Musim Semi Arab (Arab Spring). Tidak seperti di empat negara tersebut, revolusi di negeri yang berjuluk Firdausul ‘Arab (Surga di Arab) itu membutuhkan waktu 13 tahun untuk menggulingkan rezim keluarga Al-Assad yang berkuasa lebih dari setengah abad.
Bashar Al-Assad semula adalah calon dokter mata di London sebelum menggantikan Presiden Hafez, ayahnya, yang mangkat pada tahun 2000. Meski undang-undang mensyaratkan calon presiden berusia minimal 40 tahun, dia berhasil melenggang menjadi orang nomor satu di Suriah setelah parlemen merevisi aturan tersebut menjadi 34 tahun, sesuai usianya saat itu.
Hafez Al-Assad, ayah Bashar, adalah lulusan Akademi Militer Homs. Berkat kedekatannya dengan Partai Ba’ath, pada 1963 dia diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara. Tiga tahun kemudian dia dilantik menjadi Menteri Pertahanan Suriah. Usianya saat itu 36 tahun.
Seturut Dana M. Moss dalam The Arab Spring Abroad: Diaspora Activism againts Authoritarian Regimes (2022:57), setelah mengkudeta presiden sekaligus mentor politiknya, yakni Salah al-Jadid pada 1970, Hafez mengakhiri puluhan tahun gonjang-ganjing politik akibat rangkaian kudeta berumur pendek dengan tangan besi.
Hafez menjalankan pemerintahan dengan penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi terhadap siapa saja yang berseberangan dengannya. Dia menekan lawan-lawan politiknya, membangun angkatan perang yang besar, dan menerjunkan polisi rahasia dalam jumlah banyak untuk mengawasi rakyatnya.
Seturut Alia Malek dalam buku yang sama, di Damaskus yang merupakan ibu kota sekaligus kota terbesar di Suriah, pemerintah mengerahkan empat badan keamanan yang secara kolektif disebut mukhabarat. Badan tersebut memiliki 22 cabang dengan 65 ribu karyawan tetap dan ratusan ribu pekerja paruh waktu.
Konflik sektarian juga mengiringi rezim Hafez Al-Assad. Ketika 6 ribu muslim Sunni di Aleppo dipenjara atas kematian seorang kadet dari golongan Syiah Alawiyah, warga Aleppo melakukan aksi anarkis hingga menewaskan 18 anggota sekte tersebut. Hafez yang juga pengikut Syiah Alawiyah membalas dengan menduduki kota itu selama setahun, membantai 2 ribu penduduknya, dan memenjarakan 8 ribu warga yang lain.
Pada 26 Juni 1979, Hafez selamat dari percobaan pembunuhan yang dilakukan kelompok Islamis. Keesokan hari, saudaranya yakni Mayor Jenderal Rifa’at Al-Assad, menyeret seribu tahanan Islamis di penjara Tadmour dan membantainya. Sepuluh hari kemudian seluruh anggota organisasi Ikhwanul Muslimin dijatuhi hukuman mati.
Ketika Ikhwanul Muslimin melancarkan pemberontakan di Hama pada 1982, Hafez membombardir kota tersebut selama tiga minggu, membuldozer bangunan yang tersisa, dan menewaskan 20 ribu penduduknya. Serangan tersebut dianggap sebagai pembantaian paling berdarah di zaman modern oleh seorang penguasa Arab terhadap rakyatnya sendiri.
ISIS dan Masa lalu Kekhalifahan
Selain karena pemerintah, Suriah juga porak-poranda akibat aksi teror, salah satunya dilancarkan kelompok Islamic State of Iraq and ash-Sham (ISIS). Pada masa jayanya, ISIS menguasai sepertiga wilayah Suriah. Raqqa, kota di Suriah utara bahkan ditetapkan sebagai ibu kota kelompok tersebut.
ISIS adalah sisa-sisa jaringan al-Qaeda di Irak. Sempat tiarap saat tentara Amerika Serikat datang ke negara tersebut pada 2007, kelompok itu bangkit lagi pada 2011 tatkala Suriah dilanda badai revolusi. Pada 2013, mereka mendeklarasikan pembentukan khilafah yang membentang dari Aleppo di Suriah hingga Diyala di Irak.
Sebelum kalah oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat, ISIS telah menyebabkan kematian 68.260 penduduk Irak dalam kurun 2014-2018, sementara jumlah korban di wilayah Suriah tidak bisa dipastikan karena banyaknya daerah yang tidak dapat diakses dan laporan yang simpang-siur di antara pihak-pihak yang terlibat perang.
Jauh melompat ke belakang, Suriah juga pernah menjadi ibu kota Dinasti Umayyah (661-750 Masehi), sebuah dinasti Arab Islam yang didirikan Muawiyah bin Abi Sufyan setelah kematian Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad.
Seturut Shiv Rai Chowdhry dalam Al-Hajjaj bin Yusuf: An Examination of His Works and His Personality (1972:16), setelah Yazid anak Muawiyah meninggal, Abdullah bin Az-Zubair (selanjutnya disebut Ibnu Az-Zubair) dibaiat sebagai pemimpin umat Islam di Makkah dan Madinah.
Khalifah Umayyah saat itu, Abdul Malik bin Marwan, berang dan memerintahkan Al-Hajjaj bin Yusuf, panglima perang yang baru berumur 31 tahun tapi tersohor karena kekejamannya, untuk menyingkirkan pesaingnya itu.
Al-Hajjaj menggempur Makkah dengan tujuh ribu pasukan. Meski berlangsung hingga setengah tahun, pengepungan akhirnya berhasil membuat Ibnu Az-Zubair dan pasukannya tersudut, terlebih setelah 10 ribu penduduk Makkah termasuk dua anak Abdullah yakni Hamzah dan Khubaib membelot.
Dalam pertempuran tersebut, Ibnu Az-Zubair akhirnya kalah. Kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib. Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq itu wafat pada usia 68 tahun.
Kekuasaan Disnasti Umayyah di Damaskus terus berlangsung hingga tahun 750. Monarki pertama dalam sejarah Islam itu tumbang setelah khalifahnya yang terakhir, yakni Marwan bin Muhammad, gagal memadamkan pemberontakan keluarga Al-Abbas.
Setelah sempat melarikan diri ke Mosul lalu Mesir, Marwan tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Dengan wafatnya Marwan berakhir pula era Dinasti Umayyah dan dimulailah kekuasaan keluarga Al-Abbas atau dikenal juga dengan Dinasti Abbasiyah.
Sebagaimana sejarah Dinasti Umayyah yang dimulai dengan pertumpahan darah, Dinasti Abbasiyah juga mengawali kekuasaannya dengan berbagai pembunuhan atas keluarga Dinasti Umayyah dan penduduk Damaskus.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi