tirto.id - "Anda adalah tuan rumah dan kami adalah tamu. Bawalah apa pun yang Tuan miliki yang cocok untuk kami,” kata Hulagu Khan kepada Khalifah Al-Mustasim menurut sebuah kronik.
Itu bukan dialog di antara dua penguasa setara, tapi ramah-tamah palsu yang terjadi di antara seorang penakluk dan mangsanya.
Khalifah Al-Mustasim dari Dinasti Abbasiyah tak mampu membendung serangan tentara Mongol dan sekutunya yang dipimpin cucu Genghis Khan. Pada Februari 1258, tentara Hulagu Khan berhasil mengalahkan tentara kekhalifahan dan membumihanguskan Kota Baghdad. Kota yang sedari abad ke-8 didaku sebagai pusat kebudayaan Timur Tengah dan Islam itu luluh lantak hanya dalam beberapa minggu.
Al-Mustasim yang sudah tak punya kuasa tak bisa berbuat lain selain mematuhi Hulagu Khan. Ia serahkan seluruh harta yang disimpan di istananya. Hulagu Khan lantas membagikan seluruh harta itu kepada para panglima dan sekutunya. Pangeran Mongol itu kemudian berbalik kepada Khalifah dan memberinya sebuah nampan emas untuk dimakan—benar-benar untuk dimakan.
Al-Mustasim tentu saja menolak. Siapa pula yang sanggup memakan emas.
“Lantas mengapa Tuan menyimpan?” tanya Hulagu Khan. “Alih-alih Tuan bisa memberikannya kepada prajuritmu? Dan mengapa Tuan tidak melebur saja pintu besi istana ini lalu menjadikannya mata panah? Dengan panah-panah itu setidaknya Tuan bisa menghalau pasukanku.”
“Ini semua kehendak Tuhan,” jawab sang Khalifah.
“Kalau begitu, apa yang akan terjadi pada Tuan setelah ini adalah kehendak Tuhan juga,” kata Hulagu mengakhiri percakapan.
Beberapa hari kemudian setelah menghancurkan Baghdad, Hulagu keluar dari kota itu dengan membawa serta Khalifah Al-Mustasim berikut putranya yang sulung dan para pelayan. Hulagu lantas mengeksekusi mereka semua di sebuah desa bernama Waqaf. Di istana Baghdad, sisa-sisa keluarga Khalifah juga dibantai.
Ada beberapa versi tentang bagaimana Khalifah Al-Mustasim menemui ajalnya—tergantung dari kronik siapa yang dibaca. Tapi, menurut editor majalah Medieval Warfare dan pendiri laman Medievalists Peter Konieczny, versi yang mungkin mendekati akurat mengatakan bahwa Khalifah dijebloskan dalam karung kulit dan dinjak-injak kuda sampai tewas.
“Bangsa Mongol percaya bahwa darah bangsawan yang tumpah ke bumi akan membawa malapetaka bagi mereka. Jadi, metode hukuman mati ini adalah cara yang populer di antara mereka untuk menghindari masalah,” tulis Konieczny dalam makalah How to Invade Iraq: The Mongol Way.
Banyak kalangan menyebut momen runtuhnya Kekhalifahan Abbasiyah dan Kota Baghdad ini sebagai akhir kejayaan kebudayaan Islam. Namun, sebenarnya masa jaya kebudayaan Islam sudah luruh sejak lama. Saat Al-Mustasim naik takhta pada 1242, kekuatan politik dinasti ini sudah jauh terkikis. Kekhalifahan Abbasiyah saat itu bukanlah kekhalifahan yang sama seperti saat masa jayanya di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9.
Baghdad sebagai ibu kota kekhalifahan barangkali tetaplah kota metropolitan dibandingkan kota-kota lain di antero Jazirah Arab. Namun, berlainan dengan masa Khalifah Harun Al-Rasyid (786-803) atau Abdullah Al-Makmun (813-833), wajah kotanya sudah penuh bopeng tersebab luapan banjir dari Sungai Tigris dan kebakaran di permukimannya yang padat. Kondisi itu makin dekaden gara-gara intrik politik, perang saudara di antara elite kekhalifahan, dan konflik Sunni-Syiah.
“Seabad setelah era Harun al-Rashid, pengaruh dan kejayaan kota telah menurun. Perubahan politik membuat kekuatan politik khalifah kikis dan wilayahnya menyempit, meskipun muslim Sunni di berbagai daerah masih mengakui otoritas spiritualnya,” tulis Ian Frazier di laman The New Yorker.
Pada pertengahan abad ke-13, wilayah kekuasaan efektif Kekhalifahan Abbasiyah terbatas hanya di Irak bagian tengah dan selatan. Predikat tradisional khalifah sebagai amir al-mukminin—penguasa kaum beriman—pada akhirnya adalah otoritas yang semu belaka. Terlebih setelah munculnya Kekhalifahan Umayyah di Spanyol dan dinasti Fatimiyah di Mesir.
Keagungan semu itu jadi ilusi yang mematikan ketika khalifahnya inkompeten, arogan, dan tak mampu mengukur diri. Ilusi itulah yang menggiring Khalifah Al-Mustasim pada kematiannya yang tragis dan mengakhiri lima abad sejarah Kekhilafahan Abbasiyah.
Ekspedisi Hulagu Khan
Sementara Dinasti Abbasiyah melemah, Kekhanan Mongol sedang berjaya. Pada 1251, Mongke, kakak tertua Hulagu, naik takhta sebagai Khan Agung Mongol. Pada tahun awal pemerintahannya, ia langsung mencanangkan kampanye perluasan Kekhanan Mongol. Hulagu lantas diutus kakaknya itu mengadakan ekspedisi penaklukan ke barat.
Ensiklopedia Britannica menyebut Hulagu memulai ekspedisinya pada 1253 dengan membawa 130.000 tentara Mongol. Tiga tahun kemudian hampir seluruh wilayah yang kini adalah Afghanistan dan Iran bagian utara sudah digenggamnya. Ia lalu mendeklarasikan wilayah taklukannya sebagai Ilkhanat yang menjadi subordinasi dari Kekhanan Agung Mongol.
Baghdad adalah incaran Hulagu selanjutnya sebelum merambah Suriah dan Mesir. Sebelum menjadikannya target serangan, Hulagu sempat memberi tawaran kepada Khalifah Al-Mustasim untuk menjadi subordinasi Ilkhanat dan mengirim pasukannya untuk menyerang kota-kota kaum Syiah Ismailiyah di Persia.
Tawaran itu menggores kebanggaan Al-Mustasim dan lalu membutakan penilaiannya. Tak sadar akan kekuatan politik dan militernya yang lemah, Al-Mustasim menolak mentah-mentah tawaran itu. Penolakan itu adalah alasan kuat bagi Hulagu untuk mengerahkan pasukannya dan menginvasi Baghdad.
Hulagu membariskan pasukannya dan bergerak dari ibu kota Ilkhanat di Maragha (kini termasuk wilayah Azerbaijan) menuju Baghdad pada November 1257. Tentara asli Mongol yang dikerahkan kali ini diperkirakan mencapai 150.000 orang. Kekuatan sebesar itu didukung pula oleh sekutu Ilkhanat dari Armenia, Antiokhia, dan seribuan insinyur artileri dari Cina.
“Berkebalikan dengan itu, Al-Mustasim hampir tidak melakukan persiapan yang cukup untuk bentrokan yang akan datang. Tembok keliling Kota Baghdad tidak diperkuat dan tak ada pula usaha meminta bantuan kepada para amir negeri-negeri tetangga atau Kekhalifahan muslim lainnya,” tulis Jay Hemmings di laman War History.
Pembantaian dan Penaklukkan
Konieczny menyebut Hulagu memecah formasi pasukannya ketika mendekati wilayah kekuasaan Abbasiyah. Itu adalah strategi perang standar orang-orang Mongol untuk menggempur kota dari berbagai penjuru. Dengan begitu tentara kekhalifahan juga dibuat bingung menentukan dari mana Mongol akan memulai invasi.
Pertempuran pertama antara pasukan Hulagu dan tentara Al-Mustasim terjadi di daerah Anbar, di sebelah barat laut Baghdad, pada 11 Januari 1258. Pada palagan ini, Dawatdar, komandan tertinggi militer Abbasiyah, berhasil memukul mundur pasukan Hulagu. Usai pertempuran, Dawatdar mengirim pesan gembira kepada Al-Mustasim.
“Hamba telah mengalahkan mereka semua dan besok hamba akan memburu sisa-sisa pasukan Mongol yang selamat,” tulis Dawatdar sebagaimana dikutip Konieczny dari sebuah kronik Armenia.
Dawatdar sebenarnya terlalu percaya diri. Pasalnya, pasukan yang ia kalahkan hanyalah kelompok pengintai Mongol. Esoknya, pasukan Hulagu menyerbu dengan kekuatan penuh dan balik memporak-porandakan kubu pertahanan Dawatdar. Konon, 12.000 tentara kekhalifahan tewas dan hanya tiga orang—termasuk Dawatdar—yang berhasil mundur ke Baghdad.
Pada 18 Januari pasukan Hulagu telah mencapai pinggiran Baghdad dan mengepung kota itu. Saat itulah Al-Mustasim sadar ia telah membuat keputusan yang salah menolak tawaran Hulagu sebelumnya. Khalifah ke-37 Dinasti Abbasiyah itu lantas mengirim utusan kepada Hulagu untuk mencegah perang lebih lanjut.
Namun, orang Mongol tak pernah mengenal kesempatan kedua. Al-Mustasim telah menyia-nyiakan satu-satunya tawaran damai dari Hulagu. Satu-satunya pilihan yang dimilikinya kini hanya melayani nafsu perang Hulagu dan sekutunya. Situasi makin runyam bagi Al-Mustasim karena hanya ada sekitar 80.000 tentara untuk mempertahankan kota dari gempuran Mongol.
“Pada 29 Januari, pasukan Mongol memulai serangan mereka. Menurut sumber China, bagian barat Baghdad yang tidak memiliki tembok jatuh pada hari pertama pertempuran,” tulis Konieczny.
Tak butuh waktu lama bagi pasukan Mongol untuk meruntuhkan kubu pertahanan Abbasiyah yang sudah rapuh. Pada 5 Februari, sebagian besar segmen tembok kota berhasil dijebol. Hanya tinggal menunggu waktu saja tentara Mongol untuk bisa memasuki kota. Tapi, Hulagu memutuskan untuk tetap bertempur di luar tembok daripada bersusah payah bertempur di kota yang minim ruang manuver.
“Dalam keadaan putus asa, Al-Mustasim mencoba bernegosiasi lagi dengan Hulagu, tetapi utusannya dibunuh. Sekitar 3.000 bangsawan Baghdad juga mencoba menemui Hulagu untuk menawarkan penyerahan diri bersyarat. Mereka semua juga dihabisi,” tulis Hemmings.
Jelas bahwa Baghdad tak mampu lagi bertahan dari gempuran Mongol. Akhirnya, pada 10 Februari 1258—tepat hari ini 762 tahun silam—Khalifah Al-Mustasim diiringi keluarga dan para abdinya berjalan keluar kota Baghdad dan menyatakan menyerah di hadapan Hulagu. Namun itu bukan momen berakhirnya pertumpahan darah, bahkan awal dari peristiwa yang lebih menggiriskan.
Ribuan pasukan Abbasiyah yang telah dilucuti senjatanya dibantai di depan mata Al-Mustasim. Khalifah yang malang itu tak berdaya untuk menghentikannya, sebab ia sendiri harus menghadapi keputusan akhir Hulagu atas nasibnya. Tiga hari setelah itu, tentara Mongol memasuki kota dan melakukan pembersihan yang berdarah-darah.
Tentara Mongol membantai hampir semua penghuni kota, tak peduli rakyat biasa atau tentara. Hemmings menyebut hanya segelintir kelompok Kristen Nestorian yang dibiarkan hidup—ibu Hulagu adalah seorang Nestorian, karena itu kelompok ini dikecualikan. Istana, masjid, gereja, perpustakaan, balai ilmu pengetahuan dan tengara kota lain yang dibangun selama beberapa generasi juga tak luput dari penghancuran.
“Perkiraan yang paling rendah menyatakan bahwa 90.000 orang dibantai ketika bangsa Mongol memasuki kota. Perkiraan yang lebih tinggi berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan,” tulis Hemmings.
Khalifah Al-Mustasim sementara waktu dibiarkan hidup hanya untuk melihat kotanya dibumihanguskan. Setelah itu, ia digiring keluar kota dan dieksekusi.
Editor: Irfan Teguh