tirto.id - Seiring majunya teknologi di bidang kedirgantaraan, "Perang Dunia II memaksa Amerika Serikat untuk tidak melihat dunia internasional sebagai 'wilayah yang sangat luas', tetapi sebagai 'wilayah sempit' yang mudah dijangkau siapapun," tulis Timothy Barney, Profesor Ilmu Komunikasi dan Retorika Politik pada University of Richmond, dalam studinya berjudul “Richard Edes Harrison and the Cartographic Perspective of Modern Internationalism” (2012).
Pada 23 Februari 1942, Presiden Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa orang-orang AS harus sesegera mungkin meninggalkan "ilusi isolationism". Ia menyuruh asistennya, Kepala Biro Pers dan Media Gedung Putih Stephen T. Early, untuk meminta rakyat AS membawa peta milik mereka masing-masing sebelum pidato dimulai agar "rakyat dapat dengan jelas dan lebih memahami apa yang dibicarakan presiden."
Roosevelt menyebut bahwa kebijakan dalam negeri dan luar negeri sama pentingnya, khususnya terkait keamanan karena "Perang Dunia II adalah perang jenis baru. Perang ini berbeda dari semua perang di masa lalu, tidak hanya dalam metode dan senjatanya, tetapi juga soal geografik. Ini adalah peperangan setiap benua, setiap pulau, setiap laut, setiap jalur udara di dunia."
"Lihat petamu," tegas Roosevelt.
Kecanggihan pesawat dan persenjataan seperti rudal dan roket membuat bumi menjadi mengerucut. Maka bagi Roosevelt, AS harus terlibat dalam Perang Dunia II, terlebih setelah Jepang menyerang Pearl Harbour hampir setahun sebelum ia pidato.
Peta dan Perang
Pada dekade 1980-an, ketika harga komputer masih terlalu tinggi untuk dijangkau masyarakat umum, James Henry Clark mendirikan Silicon Graphic (SGI). Ia memperoleh gelar doktor (PhD) ilmu komputer dari University of Utah melalui disertasi berjudul Three-Dimensional Design of Free-Form B-Spline Surface (1974). SGI didirikan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang komputer 3D, dunia virtual, yang salah satunya membantu Boeing dan Airbus membangun mesin simulasi pesawat.
Memasuki dekade 1990-an saat teknologi komputer semakin bekembang dan harganya menjadi murah, SGI mulai kelimpungan. Saat itu, hadir sejumlah komputer murah yang diberdayakan kekuatan Microsoft (Windows) dan Intel alias "Wintel". Hal ini membuat ilmu komputer 3D kian mudah diakses, apalagi oleh Boeing, Airbus, dan Ford sebagai klien utama SGI.
Tak ingin kehilangan sumber pemasukan, beberapa programmer utama SGI, yakni Brian McClendon, Michael Jones, Chris Tanner, dan Remi Arnaud, keluar untuk membangun peruntungan baru, mereka mendirikan perusahaan rintisan atau startup bernama Intrinsic Graphic. Perusahaan ini memaksa komputer 3D memasuki area baru: video game. Selain itu, Intrinsic Graphic juga membawa 3D ke ranah, yakni clipmapping.
Clipmapping yang kemudian dikenal sebagai Zoom Level merupakan teknologi yang memungkinkan grafis 3D di-render/ditampilkan seperlunya. Alih-alih me-render 3D grafis kolam renang utuh, misalnya, clipmapping hanya me-render kolam renang per bagian, sesuai dengan gerak pengguna yang menjelajah kolam renang virtual.
Karena komputer-komputer Wintel umumnya bertenaga minim, maka teknologi ini kian membuat 3D mudah diakses. Intrinsic Graphic mentransformasikan teknologi ini menjadi "CTFLY" peta digital 3D pertama di dunia. Hal ini memungkinkan siapapun melihat topografi Bumi dari bingkai luar angkasa (zoom-out maksimal) hingga atap rumah (zoom-in maksimal) dengan hanya menggunakan komputer rumahan plus koneksi internet.
Meskipun Intrinsic Graphic berhasil menghadirkan revolusi perpetaan, sebagaimana dipaparkan Bill Kilday dalam memoarnya berjudul Never Lost Again: The Google Mapping Revolution That Sparked New Industries and Augmented Our Reality (2018), namun "CTFLY terlalu sempurna di zamannya." Tak ada satupun perusahaan pada dekade 1990-an yang tahu nilai guna CTFLY.
Untuk mengatasi hal itu, Intrinsic Graphic kemudian membangun startup baru yang khusus menangani peta digital yaitu Keyhole. Proyek baru ini didelegasikan kepada seorang programmer lulusan University of Texas yang sempat mengabdi sebagai diplomat Amerika Serikat di Myanmar bernama John Hanke.
Di tangan Hanke, teknologi Keyhole semakin maju. Ia menjadi satu-satunya peta digital, sebut Kilday, yang memadukan secara apik teknologi 3D dengan topografi Bumi. Sehingga untuk pertama kalinya manusia seakan-akan dapat terbang di langit untuk melihat-lihat Bumi.
Namun, seperti kisah Silicon Graphic, Keyhole tak berkembang secara bisnis setelah ditangani Hanke, bahkan berada di ujung kebangkrutan.
Pada 2003, saat Amerika Serikat menginvasi Irak, peruntungan Keyhole berbalik. Saat itu, karena CNN membutuhkan ilustrasi tentang apa yang terjadi di Irak, sementara mereka pada awalnya tak memperoleh kontributor untuk merekam peperangan, maka Keyhole menjadi pilihan.
Fitur "live-view" yang menggambarkan apa yang tengah terjadi secara langsung dalam tataran topografi Irak, membuat CNN terkesima dan akhirnya membeli hak eksklusif Keyhole lalu menayangkannya. Seketika nama Keyhole melambung. Pendapatannya melimpah, termasuk mahar senilai $35 juta dari Google.
Pemanfaatan peta untuk memberitahu apa yang terjadi dalam suatu peperangan mula-mula diinisiasi oleh Richard Edes Harrison, kartografer majalah Fortune dan Life pada 1940-an. Kala itu, sependapat dengan Presiden Franklin D. Roosevelt yang menyatakan bahwa Perang Dunia II berhasil mengerucutkan jarak atas penggunaan pesawat tempur dan roket serta rudal, Harrison menyuguhkan "imajinasi geografis perang" melalui peta yang diterbitkan Fortune dan Life. Ini memberi petunjuk posisi musuh dan pergerakannya dengan peta berproyeksi azimut (azimuthal equidistant projection) atau proyeksi peta yang digunakan PBB dalam logonya.
Pemilihan proyeksi azimut untuk mengilustrasikan Perang Dunia II dilakukan karena--berbeda dengan proyeksi Mercator yang membagi dunia antara Utara-Selatan, Timur-Barat--proyeksi ini memilih menempatkan "pusat Bumi" di Kutub Utara, Arktik, menghapus kepercayaan Barat bahwa Eropa berada di tengah-tengah dunia.
Dan dari Kutub Utara, secara proporsional semua wilayah di Bumi terwakilkan dengan kian mengerucut ke arah Selatan. Sebuah proyeksi yang sangat pas untuk menggambarkan bahwa benar terjadi "Perang Dunia", bukan "Perang Eropa" ataupun wilayah lainnya.
Hampir delapan dekade setelah Perang Dunia II berakhir, di tengah invasi Rusia ke Ukraina, peta kembali dimanfaatkan untuk mengilustrasikan apa yang terjadi di medan perang kepada masyarakat.
Diawali oleh garis merah sebagai penanda kemacetan di aplikasi Google Maps yang merentang dari Belgorod (sebuah kota di Rusia) hingga Ukraina, imajinasi perang dalam peta dimulai. Hampir semua media internasional, mulai dari The New York Times, Reuters, The Guardian, dan BBC misalnya, menggunakan peta untuk mengabarkan sejauh mana Rusia mengambil alih wilayah Ukraina.
Melihat Perang Rusia-Ukraina dalam peta yang dimuat The New York Times, misalnya, masyarakat disajikan informasi bahwa kota bernama Vilkhivka berhasil diduduki pasukan Kremlin. Atau dalam peta yang dimuat BBC, kota-kota sah milik Ukraina, yakni Mariupol, Donetk, dan Luhansk, diinformasikan telah jatuh ke tangan Vladimir Putin.
Namun, jika masyarakat lebih saksama membaca informasi terkait Perang Rusia-Ukraina, wilayah-wilayah yang digambarkan peta telah jatuh dikuasai Rusia sesungguhnya tak seratus persen diambil alih. Ketidakcocokan ini menurut Richard Edes Harrison--ketika membuat peta untuk Perang Dunia II, terjadi karena "ilustrasi perang melalui peta adalah karya seni yang mencoba merepresentasikan sesuatu yang mustahil direpresentasikan", terlalu menyederhanakan apa yang terjadi di lapangan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi