tirto.id - Tahun 1920-an, tentara Australia yang dikirim ke medan pertempuran Perang Dunia I (1914-1918) diminta pulang oleh pemerintah. Mereka menerima banyak hadiah, salah satunya sebidang tanah di Australia Barat yang kelak akan dibangun pabrik pengelolaan wol dan ditanami gandum.
Para prajurit menyambut baik. Apalagi banyak yang tidak melanjutkan karier di dunia militer. Menjadi petani kiranya adalah opsi terbaik untuk menyambung hidup. Mereka pun mulai mengelola tanah yang semula tandus, kering, dan kosong, lambat laun ditanami gandum. Industri pengelolaan wol dibangun dan sistem irigasi mulai berjalan.
Ketika depresi ekonomi mulai terjadi pada 1930, dengan dijanjikan subsidi oleh pemerintah, mereka terus berusaha menggerakkan roda perekonomian dari perkebunan. Akan tetapi, masalah muncul di penghujung tahun 1932: harga gandum turun drastis, sementara subsidi dari pemerintah hanya janji belaka. Kondisi ini semakin runyam karena ladang gandum yang susah payah dibangun dan siap panen hancur berantakan dirangsek ribuan burung emu.
Burung besar dengan tinggi hampir dua meter itu, setiap tahun usai berkembang biak rutin melakukan migrasi ke barat dari daerah pedalaman yang kering. Tujuannya untuk mencari makanan dan air selama musim dingin. Kala itu, wilayah yang disinggahi burung emu banyak yang sedang mengalami krisis air dan makanan. Maka saat menemukan perkebunan yang kaya akan makanan dan air, mereka langsung menyerbunya.
Para petani yang merupakan veteran perang itu langsung berusaha menghalaunya. Beragam cara dilakukan, mulai dari serangan senjata api hingga sayembara berhadiah untuk menaklukkan emu. Namun, semua usaha itu tidak berhasil mengusir kawanan burung emu.
Mereka kemudian memutuskan untuk menggempur kawanan burung emu menggunakan senapan mesin secara serentak. Keputusan ini tidak bertentangan dengan hukum lantaran burung dengan nama latin Dromaius novaehollandiae ini bukan lagi hewan yang dilindungi. Statusnya sebagai hewan yang dilindungi berdasarkan Game Act 1874 berubah pada tahun 1922 karena dianggap sebagai hama yang kerap merusak perkebunan warga.
Selanjutnya, para petani membuat petisi dan meminta pemerintah turun tangan. Menteri Federal Bidang Pertahanan, Sir George Pearce, langsung memberikan perintah tanpa meminta izin terlebih dahulu ke pemerintah pusat. Pearce menginstruksikan militer lokal untuk membasmi burung emu. Dia melarang penyerbuan itu dilakukan oleh warga sipil sekalipun pernah berkarier di militer. Alasannya karena terdapat aturan yang tidak memperbolehkan senapan mesin digunakan oleh sipil. Meski begitu, Pearce menekankan bahwa di tengah ekonomi yang sulit, biaya akomodasi, makanan, dan amunisi harus ditanggung masyarakat.
Menurut Murray Johnson dalam "'Feathered foes': Soldier Settlers and Western Australia’s 'Emu War' of 1932” (2009), sikap Pearce menunjukkan bahwa pemerintah selalu ada dan setia di sisi pahlawan perang PD 1, serta sangat berkaitan dengan upaya mencari perhatian para veteran.
Tak lama berselang, pasukan militer yang dipimpin Mayor G.P.W Meredith mulai bergerak. Tak lupa mereka membawa serta juru kamera. Awalnya mereka merencanakan serangan pada awal Oktober 1932, tetapi gagal karena faktor cuaca. Setelah mundur selama sebulan, serangan awal dilaksanakan pada 2 November 1932, tepat hari ini 89 tahun lalu.
Pertempuran yang kelak dikenal sebagai Perang Emu ini menggunakan taktik sederhana: pasukan hanya bersembunyi di tempat yang tidak terlihat sembari menembaki kawanan emu, atau memancing kawanan emu agar berkumpul di satu tempat lalu pasukan mengepungnya sembari menembak.
Pada hari pertama, serangan berjalan lancar. Namun pada hari kedua dan hari-hari selanjutnya, serangan berlangsung sangat kacau. Emu ternyata memiliki strategi yang lebih cerdas dan tidak pernah dipikirkan manusia. Mereka memiliki insting yang kuat. Ketika mendengar letusan senjata, pemimpin kawanan Emu langsung memberi isyarat kepada teman-temannya agar melarikan diri tanpa arah untuk menghindari bidikan senjata. Mereka kemudian menyerbu balik ke semak-semak belukar yang menjadi tempat bersembunyi pasukan bersenjata.
Pergerakan kawanan burung emu ini membuat militer tak bisa menembakinya dengan mudah. Peluru banyak terbuang sia-sia karena tembakan kerap meleset. Apalagi terkadang turun hujan yang kian menyulitkan dalam membidik emu. Dengan kondisi seperti ini, dalam dua minggu militer hanya mampu membunuh 300 burung emu. Untuk membunuh 200 emu digunakan 2.500 butir peluru atau 25 persen dari total peluru yang dialokasikan. Meredith, dikutip dari riset Johnson, juga melaporkan bahwa untuk membunuh seekor emu dibutuhkan 10 peluru. Dalam perang, ini adalah pemborosan.
Pertempuran yang semula dinilai mudah dimenangkan itu langsung dibayangi kegagalan dan menarik perhatian banyak orang, termasuk anggota parlemen. Banyak senator yang kemudian menanyakan aksi pemerintah Australia Barat. Senator Harold Thomby, misalnya, menuntut PM Lyons agar bertanggung jawab terhadap kejadian ini. Lalu banyak senator yang meminta Menhan Pearce menarik pasukan dari ladang gandum. Alasannya sederhana: terlalu konyol untuk memerangi burung.
Namun, pemerintah menampik tuduhan itu. Pemimpin Australia Barat, Sir James Mitchell, mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan demi kepentingan masyarakat. Meredith juga melakukan pembelaan. Menurutnya, sebagai pemimpin pasukan ia telah melakukan perhitungan secara ekonomis dan menyatakan bahwa biaya memerangi burung emu lebih murah dibandingkan kerugian yang kelak akan diterima.
Meski begitu, pembelaan tersebut berbeda jauh dengan fakta dan kondisi di lapangan. Hingga detik-detik berakhirnya penyerangan, tidak sampai 1.000 emu yang dibunuh militer. Angka ini sangat kecil dibandingkan jumlah emu yang mencapai 20 ribu. Akhirnya, setelah menerima tekanan yang besar, pasukan militer pun ditarik mundur. Penarikan ini menandakan kemenangan burung emu dan kekalahan militer Australia.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi