tirto.id - Fajar belum menyingsing di Rangkasbitung, Citeras, Maja, dan Tenjo, namun di stasiun-stasiun kecil itu, kehidupan sudah bergerak. Di tengah dingin subuh, para petani dan pedagang kecil mulai berdatangan, memanggul karung berisi pisang, singkong, jagung, petai, jengkol, dan daun pisang yang diikat rapi.
Aktivitas ini telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Setiap hari, kecuali Senin, mereka menanti kereta rel listrik (KRL) pertama yang meluncur pukul empat pagi menuju Tanah Abang.
Di dalam gerbong, mereka bukan sekadar penumpang, tapi juga pelaku ekonomi akar rumput yang memanfaatkan celah kecil dalam sistem transportasi kota yang tak dirancang untuk mereka. Di antara para komuter berdasi dan pegawai kantoran, mereka menyelipkan diri, menata barang dagangan di sudut-sudut gerbong, di ruang yang terbatas.
Tak ada fasilitas khusus, tak ada ruang kargo. Mereka bergerak cepat, efisien, dan penuh perhitungan. Gerak mereka adalah koreografi sunyi yang lahir dari keterpaksaan dan ketekunan. Pada Selasa, Rabu, dan Kamis, aktivitas memuncak. Jumat mereka sisihkan untuk ibadah.
Di balik rutinitas itu, ada logika ekonomi yang sederhana namun mendesak. Dengan omzet harian antara Rp250.000 hingga Rp800.000, mereka bisa membawa pulang bersih Rp100.000. Jumlah yang cukup untuk bertahan, asal ongkos tetap rendah. Dan KRL, meski tak ideal, adalah pilihan terbaik yang mereka punya.
Perjuangan mereka tak selalu terlihat. Di tengah arus jutaan penumpang harian KRL Jabodetabek, komunitas kecil ini nyaris tak terdengar. Mereka bukan gangguan, tapi gejala. Mereka adalah bukti bahwa sistem logistik desa-kota belum menjangkau semua. Ada kebutuhan nyata yang belum dijawab.
Pada 28 September 2025, KAI akan genap berusia 80 tahun. Di tengah sorotan kereta cepat dan layanan mewah, KAI memilih merayakan momen ini dengan rencana peluncuran Kereta Khusus Petani dan Pedagang, sebuah jawaban atas kebutuhan yang selama ini hanya terdengar dalam bisik-bisik subuh.
Dari Pikoenlanwagen hingga Gerbong Ternak
Sejarah perkeretaapian di Indonesia, yang dirintis pada masa Hindia Belanda, pada dasarnya adalah sejarah pengangkutan komoditas. Peresmian jalur rel pertama pada 10 Agustus 1867 oleh perusahaan swasta Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) menghubungkan Semarang dan Tanggung sepanjang 26 kilometer.
Pembangunan tersebut bukan didorong oleh kebutuhan mobilitas penduduk, melainkan oleh urgensi untuk mengangkut hasil bumi dari pedalaman perkebunan menuju pelabuhan-pelabuhan di pesisir untuk diekspor.
Kebijakan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870 menjadi pendorong utama ekspansi besar-besaran jaringan kereta api, yang secara spesifik dirancang untuk melayani kepentingan perkebunan swasta yang kian menjamur.
Begitu pula kemenangan militer kolonial pasca-Perang Diponegoro menyadarkan Pemerintah Belanda bahwa penguasaan teritorial tanpa dukungan logistik yang efisien adalah kemenangan yang semu. Kereta api menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut, menawarkan efisiensi waktu dan biaya yang jauh melampaui moda transportasi tradisional.
Namun, di sela-sela gerbong yang mengangkut gula, kopi, cengkeh, hingga tembakau, tumbuh sebuah ekosistem ekonomi mikro yang melayani kebutuhan masyarakat lokal. Pemerintah kolonial dan perusahaan kereta api swasta menyadari potensi pasar dari para pedagang pribumi.
Dari kesadaran inilah lahir konsep pikoenlanwagen, sebuah gerbong khusus yang dirancang untuk para pedagang yang membawa barang dagangan dengan cara dipikul. Keberadaan gerbong ini adalah bukti konkret bahwa sejak awal, sistem perkeretaapian dirancang untuk melayani fungsi ganda: pengangkutan komoditas skala besar dan fasilitasi perdagangan rakyat skala kecil.
Jaringan ini diperkuat oleh sistem trem uap yang menjalar di kota-kota seperti Batavia, Malang, dan Semarang, yang berfungsi sebagai penghubung antara pusat produksi lokal dengan pasar-pasar di dalam kota.

Akses terhadap transportasi massal yang efisien ini secara fundamental mengubah tatanan sosial dan ekonomi masyarakat perdesaan. Penelitian mengenai dampak jalur kereta api Yogyakarta-Pundong menunjukkan bagaimana rel baja menjadi katalisator perubahan yang mendalam.
Stasiun-stasiun baru yang dibangun di sepanjang jalur, seperti Stasiun Pasar Gede di Kotagede, dengan cepat menjadi pusat keramaian dan transaksi ekonomi. Kemudahan mobilitas ini memicu pertumbuhan pasar-pasar baru di sekitar stasiun dan mendorong pertumbuhan populasi yang signifikan di kota-kota yang dilaluinya.
Lain itu, kelancaran arus barang dan jasa yang dibawa kereta api memperkenalkan sistem ekonomi berbasis uang secara lebih luas, mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih komersial.
Dampak lainnya, menurut penelitian tersebut ialah lahirnya kelas sosial baru, seperti “Orang Kalang” di Kotagede, sebuah kelompok pedagang pribumi yang ulet dan terampil. Dengan memanfaatkan jaringan kereta api, mereka berhasil membangun kekuatan ekonomi yang mampu menyaingi kaum bangsawan tradisional, menjadi jembatan antara pemerintah kolonial dan masyarakat lokal.
Dengan demikian, infrastruktur kereta api yang sejatinya dibangun untuk tujuan ekstraksi kolonial, secara tidak sengaja menciptakan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kapitalisme pribumi.
Kereta api, sebuah alat imperialisme, secara paradoks menjadi inkubator bagi pemberdayaan ekonomi dan mobilitas sosial masyarakat terjajah.
Pergeseran Paradigma dan Rel-Rel yang Tertidur
Setelah kemerdekaan, di bawah naungan Djawatan Kereta Api (DKA) yang kemudian menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), tradisi kereta api serbaguna yang melayani penumpang dan barang terus berlanjut.Sistem Kereta Api Barang Terusan (TRS) menjadi tulang punggung angkutan barang di Pulau Jawa, melayani rute-rute utama seperti Surabaya-Jakarta dan Sidotopo-Bandung. Meskipun sistem ini lebih berorientasi pada pengiriman kargo dalam skala yang lebih besar dibandingkan melayani pedagang pikulan perorangan, ia tetap menunjukkan bahwa fungsi logistik kereta api masih menjadi prioritas.
Kereta-kereta campuran, yang merangkaikan gerbong penumpang dengan gerbong barang, masih jamak ditemui, melanjutkan warisan fungsi ganda dari era sebelumnya. Lebih unik lagi, PJKA bahkan mengoperasikan kereta khusus untuk mengangkut ternak.
Salah satu jejak penting dari masa ini adalah keberadaan Stasiun Cipinang yang menjadi titik akhir perjalanan kereta api angkutan ternak rute Kandangan-Cipinang. Seturut Diaz Radityo dkk dalam buku Merekam Jejak Lokomotif Diesel di Indonesia (2023:30), salah satu lokomotifnya ialah C300 bermesin diesel yang bertugas melangsir gerbong-gerbong barang untuk bongkar muat.
Stasiun Cipinang juga dilengkapi dengan emplasemen penyusun khusus untuk menyimpan gerbong ternak dan bahkan memiliki jalur khusus menuju Balai Karantina Hewan milik Kementerian Pertanian. Pada tahun 1964, PJKA mendatangkan gerbong khusus angkutan ternak yang dapat memuat beberapa ekor sapi dalam satu gerbong.
Memasuki masa Orde Baru, ditandai era modernisasi besar-besaran dalam sistem perkeretaapian Indonesia. Pemerintah fokus pada rehabilitasi dan modernisasi jaringan kereta api yang rusak, dengan bantuan teknologi dan pendanaan dari Jepang. Pada tahun 1976, sistem kereta komuter Jakarta-Depok-Bogor diresmikan, menandai dimulainya era kereta rel listrik (KRL) modern di Indonesia.
Namun, masa itu hingga dekade 1980-an, sebuah pergeseran paradigma pembangunan nasional mulai terjadi. Di bawah pemerintahan Orde Baru, fokus pembangunan infrastruktur secara masif beralih ke transportasi darat berbasis jalan raya.
Pembangunan jalan tol dan arteri menjadi primadona, sementara kereta api, terutama di jalur-jalur cabang yang dianggap kurang vital, mulai terpinggirkan. Periode ini menjadi saksi bisu dari penutupan sistematis ratusan kilometer jalur kereta api di seluruh Jawa.
Rute-rute seperti Banjar-Cijulang, Secang-Parakan, Babat-Tuban, dan puluhan lainnya, yang selama puluhan tahun menjadi urat nadi ekonomi lokal, satu per satu berhenti beroperasi antara tahun 1970-an hingga awal 2000-an.
Penutupan ini didasari oleh logika efisiensi. Jalur-jalur cabang tersebut dianggap tidak menguntungkan dari sudut pandang akuntansi perusahaan. Fokus modernisasi PJKA saat itu diarahkan pada peningkatan kecepatan dan efisiensi di jalur-jalur utama yang padat, sementara layanan lokal yang lebih lambat dan melayani kantong-kantong ekonomi kecil dibiarkan meranggas.
Konsekuensinya sangat terasa. Rantai pasok yang sebelumnya efisien di atas rel terpaksa beralih ke jalan raya yang lebih mahal dan kurang efisien untuk volume besar. Petani dan pedagang kecil kehilangan akses langsung ke pasar dan menjadi semakin bergantung pada tengkulak yang memiliki armada truk.
Merancang Ulang Gerbong untuk Roda Ekonomi Desa
Konsep kereta khusus petani dan pedagang yang dikembangkan KAI terinspirasi dari kebijakan “slow train” di Cina yang telah beroperasi sejak 2006. Hingga saat ini, Cina masih mengoperasikan 81 rute kereta api lambat untuk melayani masyarakat ekonomi lemah, termasuk petani miskin.
Kereta lambat Cina berfungsi ganda sebagai transportasi hasil tani sekaligus pasar berjalan. Dengan kecepatan rendah sekitar 40 kilometer per jam, fokus utamanya bukan efisiensi waktu melainkan kesejahteraan sosial. Para petani dapat membawa hasil bumi mereka ke kota besar, bahkan berjualan langsung di dalam kereta maupun di stasiun pemberhentian.
Kereta khusus petani dan pedagang yang rencananya dihidupkan lagi oleh KAI akan beroperasi sangat pagi, bahkan sebelum subuh, untuk mengangkut hasil pertanian dan perdagangan.
Desain baru kereta mengadopsi kursi memanjang di sisi dinding, mengurangi kapasitas dari 106 menjadi 73 kursi. Sebagai gantinya, lorong tengah dibuat lapang untuk menampung barang dagangan seperti karung dan keranjang.
Begitu pula pintu antargerbong diperlebar, sekat internal dihilangkan, dan alur gerak di dalam kereta dibuat lebih lancar. Toilet dan rak bagasi tetap disediakan, menjaga fungsi ganda sebagai angkutan orang dan barang.
Prosesnya dimulai sejak Mei 2024, dengan uji statis dan dinamis pada Agustus 2025. Sertifikasi dari DJKA menjadi syarat akhir sebelum peluncuran resmi pada 28 September 2025.
Secara ekonomi, kereta ini memberi akses transportasi murah dan efisien bagi petani dan pedagang, menekan biaya logistik dan meningkatkan pendapatan bersih. Penelitian menunjukkan bahwa efisiensi transportasi dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 10-15 persen dalam setahun.
Transportasi yang efisien juga dapat mengurangi limbah dan kerusakan selama distribusi, yang membantu mengurangi kehilangan hasil panen dan berkontribusi pada ketahanan pangan lokal.
Bagi konsumen kota, rantai pasok yang lebih pendek dan efisien membantu menjaga stabilitas harga pangan. Distribusi yang lancar dan biaya yang lebih rendah berkontribusi pada pengendalian inflasi, terutama untuk kebutuhan pokok.
Dari segi sosial, pengamat transportasi Djoko Setijowarno, meyakini kereta khusus petani dan pedagang berpotensi menahan laju urbanisasi. Dengan membuat sektor agraris lebih menarik dan berkelanjutan, ia memberi alasan bagi generasi muda untuk tetap membangun ekonomi lokal, bukan pindah ke kota yang sudah padat.
Di sepanjang rute, kehadiran kereta juga bisa menghidupkan kembali kota-kota kecil. Stasiun menjadi titik tumbuh ekonomi baru, memicu usaha lokal seperti jasa angkut, warung makan, dan layanan penginapan.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































