tirto.id - Kereta Rel Listrik (KRL) jurusan Jatinegara-Bogor mengalami kecelakaan di Kebon Pedes, Bogor, pada Minggu (10/3/2019). Kereta tersebut anjlok pada pukul 10.15 di petak jalan antara Cilebut-Bogor dan menghantam tiang listrik.
Sejumlah penumpang dan warga di sekitar kejadian memberikan kesaksian detik-detik kecelakaan tersebut. Seorang penumpang memperkirakan anjloknya kereta disebabkan lajunya terlalu kencang.
Sementara PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) belum bisa menyimpulkan penyebab kecelakaan. Melalui VP Komunikasi KCI, mereka menyebut bahwa kecelakaan biasanya disebabkan faktor internal dan eksternal.
Faktor internal biasanya berupa human error, gangguan jaringan listrik, atau persinyalan. Sementara faktor eksternal bisa disebabkan bencana alam dan sabotase dari pihak yang tidak bertanggungjawab.
Dalam catatan Tirto, dari 1993 sampai 2019 (termasuk yang terjadi di Kebon Pedes, Bogor), telah terjadi 11 kali kecelakaan di jalur KRL Jabodetabek. Beberapa insiden menelan korban jiwa yang tidak sedikit, seperti yang terjadi pada 1993 di daerah Ratu Jaya, Depok yang menewaskan 20 orang.
Dari 11 kecelakaan KRL sepanjang 1993-2019, hampir semuanya terjadi di jalur Jakarta-Bogor.
Mula Pembangunan dan Elektrifikasi
Pembangunan rel kereta api lintas Jakarta-Bogor dimulai pada 1869 dan rampung pada 1873. Pengerjaannya dilakukan perusahaan swasta bernama Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).
Dua tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perusahaan kereta api yang bernama Staatsspoorwegen (SS) pada 1875. Jalur Jakarta-Bogor pun diambilalih oleh SS. Dari jalur ini, pembangunan rel kereta api dilanjutkan menuju wilayah Priangan melalui Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Cicalengka.
Pemasangan tenaga listrik pada jalur Jakarta-Bogor sebagai lintas penting yang menghubungkan dua istana gubernur jenderal mulai diwacanakan sejak 1917. Namun wacana pemasangan tenaga listrik baru terealisasi pada 1923. Elektrifikasi selesai pada 1924.
Menurut laman resmi Kereta Commuter Indonesia, sejumlah pembangkit listrik dibangun untuk mendukung proyek elektrifikasi ini. Dinas Tenaga Air dan Listrik pemerintah Hindia Belanda membangun PLTA Ubrug di Sukabumi dan PLTA Kracak di Bogor.
Dari PLTA Ubrug, listrik dialirkan ke Gardu Induk Ancol dan Jatinegara. Sementara PLTA Kracak dialirkan ke Gardu Induk Depok dan Kedungbadak (Bogor) untuk mendukung suplai listrik lintas Manggarai-Bogor.
Seiring elektrifikasi pada jalur tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mendatangkan sejumlah lokomotif listrik buatan Swiss, Jerman, Belanda, serta dari perusahaan Westinghouse Electric Corporation dan General Electric Amerika Serikat.
Lokomotif dari Swiss adalah seri 3000 buatan Swiss Locomotive Machine Works dan Brown Beveri & Cie. Sementara buatan Jerman adalah seri 3100 yang diproduksi perusahaan Allgemaine Elektricitats-Gesellischaft. Dan dari Belanda adalah seri 3200 buatan pabrik Werkspoor.
Sebelum jalur Jakarta-Bogor yang telah menggunakan tenaga listrik diresmikan pada 1930, pemerintah Hindia Belanda terlebih dulu meresmikan jalur Tangjungpriok-Jatinegara pada 1925 berbarengan dengan perayaan ulang tahun SS yang ke-50.
Sembilan tahun setelah jalur elektrifikasi Jakarta-Bogor diresmikan, tercatat telah ada 72 perjalanan KRL yang melintasi jalur Jakarta-Manggarai-Bogor.
Mulai 1976, lokomotif listrik peninggalan zaman Hindia Belanda—karena faktor usia—sudah tidak mampu lagi melayani jalur ini. Untuk menggantinya, pemerintah Indonesia mendatangkan rangkaian KRL dari Jepang.
Selanjutnya, untuk mengembangkan KRL Jabodetabek, pada 2008 PT Kereta Api Indonesia membuat anak perusahaan yakni PT KAI Commuter Jabodetabek sebagai operator sarana KRL. Pada 2017 perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT Kereta Commuter Indonesia.
Penggagas Elektrifikasi dan Suplai Listrik Pertama
Majalah Kereta Api edisi 99, Oktober 2014 mencatat pengajuan proposal elektrifikasi untuk sejumlah jalur kereta api di Jawa mula-mula digagas Ir. Damme pada 1911. Namun, saat itu gagasannya tidak mudah diterima oleh parlemen di Belanda.
“Upaya keseriusan akhirnya terwujud dengan dibuatnya proposal elektrifikasi jalur KA di Jawa oleh Ir. PA Roelofsen pada tahun 1917. Bulan November 1920, Ir. SA Reitsma menyusun detail rancangan elektrifikasi kompleks Batavia dan jalur KA Batavia (Jakarta)-Buitenzorg (Bogor),” tulis Ahmad Sudarsih dalam majalah tersebut.
Ia menambahkan, setelah mengajukan elektrifikasi jalur Jakarta-Bogor, prioritas elektrifikasi yag diajukan selanjutnya adalah tiga pilihan jalur pergunungan, yaitu jalur Bogor-Sukabumi-Bandung, Jakarta-Purwakarta-Bandung, dan Surabaya-Malang.
Namun, tambah Sudarsih, parlemen di Belanda pada 1923 mula-mula hanya menyetujui anggaran untuk jalur di yang ada di Jakarta, yakni Tangjungpriok-Jatinegara.
Untuk penyediaan tenaga listrik, digunakan PLTA Ubrug di Sukabumi yang mampu memenuhi 70 kilovolt arus listrik bolak-balik untuk menggerakkan rangkaian kereta yang disuplai dari perusahaan listrik bernama Nederlanche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM).
Lalu untuk Listrik Aliran Atas (LAA) yang hanya membutuhkan 1500 volt DC (arus listrik searah) yang digunakan pada rangkaian kereta pemerintah Hindia Belanda membuat gardu di Jatinegara dan Ancol.
“Itulah karenanya Gardu LAA di Jatinegara yang sekompleks dengan Dipo Lokomotif dan Gardu LAA di Ancol termasuk asset heritage yang harus dilestarikan. Termasuk juga PLTA Ubrug […] juga semestinya perlu dilestarikan sebagai bagian asset heritage perusahaan lisrik milik pemerintah,” tulis Sudarsih.
Lintas Awal Menuju Daerah Perkebunan
Pembangunan jalur kereta api Jakarta-Bogor yang rampung pada 1873 merupakan lintas awal menuju daerah perkebunan di Priangan. Saat itu Priangan adalah penghasil komoditas perkebunan yang banyak menopang perekonomian Hindia Belanda.
Dalam Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumberdaya Alam di Halimun (2008) suntingan Latipah Hendarti, dijelaskan bahwa dari Bogor jalur kereta api dilanjutkan sampai Cicurug sepanjang 27 kilometer yang resmi dibuka pada 1881.
Kemudian berturut-turut pada 1882, 1883, dan 1884 jalur tersebut tersambung ke Sukabumi, Cianjur, dan Bandung. Di daerah-daerah tersebut terdapat banyak sekali perkebunan yang hasil buminya kemudian diangkut lewat jalur kereta api.
Para juragan perkebunan merasa terbantu dengan kehadiran moda transportasi kereta api. Sehingga, sebagai contoh, salah seorang juragan perkebunan di Cianjur bernama van Beckman membantu Staatsspoorwegendalam pembuatan terowongan Lampegan yang menghubungkan Cianjur-Bandung.
Meski berat karena harus membobol bukit Gunung Keneng di Desa Cibokor, tapi van Beckman tetap ikut membantu. Baginya jalur kereta api itu mempermudah pengangkutan hasil perkebunan miliknya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan