Menuju konten utama

Kisah Terowongan Sasaksaat dan Lampegan

Terowongan kereta api tertua dan terpanjang yang masih aktif di Indonesia ini terletak di Jawa Barat

Kisah Terowongan Sasaksaat dan Lampegan
Terowongan Lampegan. Dok. Tropenmuseum/Wikipedia

tirto.id - PT. KAI (Kereta Api Indonesia) meluncurkan kereta baru bernama KA Pangandaran yang melayani perjalanan Jakarta-Banjar (pp). Satu bulan pertama, 2 Januari hingga 1 Februari 2019, tiket promosi diberlakukan untuk kereta baru ini.

Menurut Kepala Humas PT KAI, Agus Komarudin, layanan baru ini adalah salah satu dukungan PT KAI terhadap program pariwisata serta meningkatkan aksesibilitas warga Jakarta dan Bandung ke wilayah Garut, Tasikmalaya, Banjar, dan Pangandaran.

Selain itu, kehadiran KA Pangandaran juga sebagai langkah awal untuk mengaktifkan kembali jalur kereta api Banjar-Pangandaran yang sudah lama mati.

Sejak Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jawa Barat, sejumlah jalur mati kereta api direncanakan akan dihidupkan kembali. Menurut mantan Wali Kota Bandung itu, hal ini perlu dilakukan agar masyarakat Jawa Barat bisa menikmati layanan trasportasi yang nyaman dan terintegrasi.

Terowongan Aktif Terpanjang

Perjalanan menggunakan kereta api di Indonesia, termasuk di Jawa Barat, banyak disuguhi pemandangan yang memanjakan mata. Gunung, sawah, sungai, lembah, dan suasana perdesaan, terhampar di sepanjang jalur yang dilalui. Bahkan jika jalur Banjar-Pangandaran telah aktif kembali, pemandangan Samudra Hindia dapat juga dinikmati. Dan di balik beberapa terowongan kereta api yang ada di Jawa Barat, terdapat kisah yang mewarnai riwayatnya. Salah satunya adalah terowongan Sasaksaat.

Terowongan ini berada di daerah Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat. Letaknya antara Stasiun Sasaksaat dan Stasiun Maswati. KA Pangandaran yang melayani Jakarta-Banjar nantinya akan melewati terowongan ini. Dibangun dari 1902 sampai 1903, terowongan Sasaksaat merupakan terowongan kereta api aktif terpanjang di Indonesia, yakni 949 meter.

Agus Mulyana—pengajar Pendidikan Sejarah di Universitas Pendidikan Indonesia—yang mengutip dari Verslag Der Staatsspoorwagen In Negerlandsch Over Het Jaar 1902, mengatakan bahwa sebelum terowongan ini dibangun, terlebih dulu diadakan upacara pemberian sesajen.

Upacara tersebut bertujuan agar pembangunannya tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, masyarakat sekitar terowongan Sasaksaat masih percaya bahwa tempat-tempat yang mereka anggap angker ada yang “menguasainya”.

Saat dilakukan penggalian terowongan, terdapat batuan cadas. Dinamit sebetulnya bisa digunakan untuk menghancurkannya. Namun, untuk menghindari getaran hebat yang dapat mengakibatkan longsor, maka penggalian batuan cadas itu ditembus dengan menggunakan bor. Dan lagi-lagi agar tidak terjadi getaran kuat, pengeboran pun tidak menggunakan mesin, tapi secara manual mengandalkan tenaga manusia.

Para kuli yang mengerjakan pembutan terowongan ini terdiri dari orang-orang Indonesia dan Cina. Sementara orang Eropa bertugas selaku mandor pekerja, pemborong, dan teknisi.

Terowongan digali dari sisi utara dan selatan secara bersamaan, dan dikerjakan siang dan malam. Dalam pengerjaannya, imbuh Agus Mulyana dalam artikel bertajuk “Kuli dan Anemer: Keterlibatan Orang Cina dalam Pembangunan Jalan Kereta Api di Priangan (1878-1924”, tidak banyak memakan korban jiwa, hanya saja seorang kuli pribumi meninggal dunia karena tertimpa batu.

Lampegan dan “Argo Peuyeum”

Terowongan kereta api lain yang masih dilalui kereta di Jawa Barat adalah Lampegan yang terletak di Desa Cibokor, Kabupaten Cianjur. Meski terowongan ini tak dilalui oleh jalur pelayanan KA Pangandaran, tapi kelak jika jalur Bandung-Cianjur sudah terhubung, maka penumpang dapat melewatinya. Sementara ini, terowongan Lampegan hanya dilalui kereta api yang melayani jalur Sukabumi-Cianjur.

Terowongan Lampegan yang dibangun mulai tahun 1879 sampai 1882 ini merupakan terowongan kereta api tertua di Indonesia Pembuatan terowongan sepanjang 686 meter ini terlaksana berkat kerjasama antara SS (Staatsspoorwegen)—perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda—dengan pengusaha perkebunan di daerah Cianjur yang bernama Van Beckman.

Juragan perkebunan itu mau membantu Staatsspoorwegen dengan pertimbangan bahwa jalur kereta api akan mendukung pengangkutan hasil perkebunan. Maka bukit Gunung Keneng di Desa Cibokor pun dibobol untuk dibangun terowongan.

Van Beckman mengerahkan sejumlah pekerja untuk menggali perbukitan tersebut dari dua arah yang berlawanan hingga tersambung. Setelah selesai dibangun, menurut Her Suganda dalam Jendela Bandung (2007), Van Beckman menyelenggarakan pesta dengan mengundang kelompok kesenian ronggeng Nyi Sadea.

“Di kemudian hari [Nyi Sadea] menjadi legenda dalam pembangunan terowongan tersebut,” imbuhnya.

Infografik Terowongan Sasaksaat Lampegan

Infografik Terowongan Sasaksaat Lampegan

Menurut Kamus Sunda-Indonesia (2011) yang disusun oleh R. Satjadibrata, kata “lampegan” diartikan sebagai “sejenis pohon kecil”. Sementara dalam Kamus Basa Sunda (2015) karya R.A. Danadibrata berarti “kata yang diambil dari kebiasaan saat terowongan [antara Sukabumi-Cianjur] dibuka, setiap kereta api sudah dekat terowongan itu, kondektur Belanda menyuruh anak buahnya untuk menyalakan lampu dengan kata ‘lampeu-an’.”

Arti kata “lampegan” seperti yang ditulis dalam kamus R.A. Danadibrata, merupakan cerita lisan yang sampai hari ini beredar di kalangan masyarakat Priangan. Sementara “lampegan” sebagai jenis tumbuhan kecil kurang populer.

Hampir mirip dengan kisah yang ditulis dalam kamus karya R.A. Danadibrata, Her Suganda menceritakan kata “lampegan” berasal dari ucapan Van Beckman saat pembangunan terowongan. Setiap kali ia memeriksa pekerjaan dan melihat pekerja hendak masuk ke dalam terowongan yang belum tersambung, ia memperingatkan dalam bahasa campuran Belanda dan Indonesia, “Lamp pegang…, lamp pegang…”

Maksudnya, tambah Her Suganda, menyuruh pekerja untuk membawa lampu ke dalam agar terhindar dari bahaya karena kekurangan zat asam. Selain terowongan, “lampegan” pun menjadi nama kampung dan stasiun/halte di daerah sekitar terowongan tersebut.

Dalam perjalanannya, terowongan Lampegan sering tertutup akibat longsor. Hal ini membuat jalur Bandung-Cianjur kerap terputus. Dulu, saat jalur Bandung-Cianjur masih beroperasi, dan terowongan itu tak berfungsi, kereta api dari Bandung hanya sampai Halte Lampegan. Menurut Her Suganda, perjalanan kereta rute Bandung Cianjur amat amburadul.

“Kereta api tersebut bisa berhenti di mana saja sesuai dengan kehendak penumpang,” tulisnya. Hal ini membuat kereta api tersebut dijuluki “Argo Peuyeum” sebagai bentuk olok-olok.

Baca juga artikel terkait JALUR KERETA API atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono