Menuju konten utama

Ridwan Kamil di antara Napak Tilas Jalur Mati Kereta Jawa Barat

Jalur kereta api peninggalan Belanda banyak yang sudah mati, termasuk di Jawa Barat. Di bawah kepemimpinan gubernur baru, Pemprov Jabar berencana mengaktifkan kembali jalur-jalur tersebut

Ridwan Kamil di antara Napak Tilas Jalur Mati Kereta Jawa Barat
Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil saat masih jadi Wali Kota Bandung sebelum mengikuti rapat kabinet terbatas di kantor kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/1). Antara foto/widodo s. Jusuf.

tirto.id - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang baru dilantik pada Rabu (5/9/2018) mulai tebar pesona soal terobosan rencana aksi. Lewat kanal media sosialnya, ia mewartakan bahwa Pemprov Jabar akan menggunakan teknologi silinder pada sejumlah pembatas jalan untuk mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas.

Selain itu, ia juga mengunggah rencana revitalisasi Kali Malang di Kota Bekasi. Yang terbaru, Ridwan Kamil mengabarkan bahwa empat jalur mati kereta api di Jawa Barat akan kembali diaktifkan setelah terlantar selama puluhan tahun.

Dalam unggahan di media sosialnya pada 12 September 2018, Ridwan Kamil menyebutkan keempat jalur kereta. "SIAP-SIAP KE PANGANDARAN, KAWAH PUTIH & JATINANGOR NAIK KERETA API. Rapat kerja dgn direksi PT KAI membahas akselerasi 4 jalur baru rel kereta api: 1. Jakarta-BDG-Pangandaran, 2. BDG- Ciwidey, 3. Bekasi-BDG-Garut, 4. BDG-Rancaekek-Jati Nangor-Tanjung Sari Sumedang."

Namun, jika melihat jalur kereta api yang benar-benar mati seperti yang dimaksud Ridwan Kamil, jalur-jalur tersebut tepatnya adalah Banjar-Pangandaran, Bandung-Ciwidey, Cibatu-Garut-Cikajang, dan Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari. Ia mengharapkan provinsi yang dipimpinnya bisa seperti Eropa yang mampu melayani warganya dengan sarana transportasi yang nyaman dan terintegrasi.

“Jawa Barat harus seperti Eropa di mana urat nadi ekonomi dan transportasinya mayoritas berbasis kereta api,” tambah Ridwan Kamil.

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Edi Sukmono seperti dilansir Pikiran Rakyat, pihaknya akan mengevaluasi jalur mana yang paling mungkin diaktifkan kembali dalam waktu dekat. “Dari empat jalur itu mana yang lebih akomodatif membantu masyarakat. Baik untuk mengangkut orang maupun barang, seperti misalnya hasil bumi,” tambahnya.

Gagasan reaktivasi atau menghidupkan kembali sejumlah jalur rel mati di Jabar bukan hal baru, sebab pada saat kepemimpinan gubernur Jabar sebelumnya pun telah diwacanakan. Bahkan untuk jalur Banjar-Pangandaran telah masuk tahap studi kelayakan. Namun, rencana tersebut gagal direalisasikan.

“Permasalahannya sekarang kan ada tidak anggaran pemerintah untuk [reaktivasi] itu,” tutur Saridal selaku Kepala PT KAI Daerah Operasi 2.

Di luar persoalan dana seperti yang diungkapkan Saridal setahun lalu, mayoritas masyarakat Jawa Barat menyambut gembira atas rencana reaktivasi sejumlah jalur rel mati kereta api. Mereka menaruh harapan baru kepada gubernur baru. Waktu tentu akan mengujinya.

Jalur-jalur mati kereta api itu, selain menghamparkan sejumlah tantangan bagi para pengambil kebijakan untuk merealisasikan rencananya, juga membentangkan kembali lembar-lembar sejarah yang mengiringi riwayatnya.

Banjar-Cijulang Si Jelita

Jalur Banjar-Cijulang yang kini secara administratif membelah Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Pangandaran, mula-mula hanya dibangun sampai Kecamatan Kalipucang yang letaknya berbatasan dengan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jalur tersebut diresmikan pada 15 Desember 1916.

Proyek itu dilanjutkan dengan menyambungkan Kalipucang sampai Cijulang, dan diresmikan pada 1 Januari 1921. Total panjang jalur Banjar-Cijulang lebih dari 82 Km. Sepanjang jalur tersebut, pemandangan amat memanjakan mata karena melewati beberapa jembatan dengan air sungai yang bersih, empat terowongan panjang, lembah-lembah dalam, serta pesisir Samudera Hindia.

Salah satu jembatan yang dilalui, yakni Jembatan Cikacepit merupakan jembatan kereta api terpanjang di Indonesia. Sementara empat terowongan yang dilewati adalah Hendrik (105 meter), Juliana (147 meter), Philip (281 meter), dan Wilhelmina (1.116 meter) yang juga merupakan terowongan kereta api terpanjang di Indonesia, demikian tulis Sudarsono Katam dalam Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe (2014).

Namun, bentang alam yang menawan tersebut sekaligus menjadikan jalur ini salah satu jalur yang berat untuk dilalui. Menurut Hevi Fauzan, seorang railfan yang mengumpulkan dan menyigi sejumlah informasi lampau terkait jalur ini, kereta api sempat mogok karena beratnya medan. Jalur cantik nan berat ini ditutup pada 1 Februari 1982.

Infografik Jalur Mati Kereta api di Jabar

Menuju Cikajang, Menembus Ketinggian

Jalur Cibatu-Cikajang dibuka pada 1926 yang dilayani oleh lokomotif uap. Jalur ini berada di ketinggian dan stasiun Cikajang letaknya berada pada 1.246 mdpl yang merupakan stasiun tertinggi di Indonesia.

Untuk melayani jalur pergunungan ini dibutuhkan sejumlah lokomotif yang modern. Salah satu lokomotif legendaris yang melayani jalur ini oleh masyarakat dijuluki “Si Gombar” bertipe DD52 tipe SS1200, mempunyai 8 buah roda besar di depan dan berpasangan. Sebutan “Si Gombar” diambil dari salah satu tokoh film Perancis bernama Zigomar yang berperawakan besar serta kuat.

Jalur ini berhenti beroperasi pada 1982. Menurut Hevi Fauzan, salah satu penyebab matinya jalur ini adalah karena kala itu Djawatan Kereta Api mengganti lokomotif uap dengan lokomotif diesel tipe CC200 buatan General Electric pada 1953, yang ternyata tidak mampu menempuh jalur pergunungan tersebut.

“Lokomotif diesel enggak kuat ke Cikajang, di sisi lain lokomotif uap sudah tua dan suku cadangnya sulit diperoleh,” tutur peminat sejarah kereta api ini.

Menderu ke Bandung Selatan

Jalur kereta api di Priangan yang menuju ke dataran tinggi lainnya adalah jalur Bandung-Ciwidey. Mulanya jalur ini hanya sampai Soreang yang pembangunannya dimulai pada 1917 serta resmi digunakan pada 13 Februari 1921. Dari Bandung, jalur ini melewati Stasiun Cikudapateuh, Buahbatu, Citeureup (Dayeuhkolot), Banjaran, dan berakhir di Soreang. Sebelum memasuki dataran tinggi, jalur ini melewati sejumlah kawasan padat penduduk. Dari Soreang, pembangunan jalur kereta api dilanjutkan sampai ke Ciwidey dan mulai dibuka pada 17 Juni 1924.

Menurut Agus Mulyana dalam Sejarah Kereta Api di Priangan (2017) rencana pembangunan sampai ke Ciwidey memang sudah direncanakan sejak awal. Mulyana menambahkan, rencana awal perpanjangan jalur ini tidak hanya ke Ciwidey, tapi juga ke arah Cimahi, Batujajar, dan Padalarang. Namun, rencana tersebut batal, Padalarang akhirnya hanya bisa ditempuh kereta api lewat Bandung.

Selama masih aktif, jalur Bandung-Ciwidey sempat memakan korban di awal 1970-an saat satu rangkaian yang ditarik lokomotif seri BB mengalami kecelakaan yang mengakibatkan sejumlah penumpang tewas. Jalur ini akhirnya ditutup di awal 1980-an.

Rancaekek-Tanjungsari: Habis oleh Jepang

Untuk kepentingan militer, pemerintah kolonial Belanda sempat berencana menghubungkan Bandung dengan Cirebon lewat jalur kereta api. Namun, hal tersebut urung terlaksana karena keterbatasan dana terkait Perang Dunia I yang melibatkan Belanda.

Akhirnya pembangunan hanya dikerjakan dari Cirebon sampai Kadipaten, dan dari Rancaekek sampai Tanjungsari yang berada di Kabupaten Sumedang. Meski tidak rampung, tapi jalur ini tetap berguna bagi kepentingan militer.

“Pembangunan jalan kereta api Rancaekek-Sumedang memiliki arti strategis untuk mengadang serangan musuh yang akan masuk dari arah sebelah timur Bandung,” tulis Agus Mulyana dalam Sejarah Kereta Api di Priangan (2017).

Panjang jalur ini hanya 11,5 meter dan mulai beroperasi pada 13 Februari 1921. Dibandingkan dengan tiga jalur mati lainnya, jalur ini paling cepat menemui ajal sebab Jepang buru-buru mempreteli relnya untuk dipakai di tempat lain.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra