tirto.id - Sekelompok anak muda hendak berlibur ke Pangandaran. Dari Ciamis, mereka menumpang angkutan umum menuju stasiun Banjar, daerah perbatasan dengan Jawa Tengah dan menjadi pintu gerbang utama jalur lintas selatan. Saat kereta tiba di tujuan, perjalanan berlanjut melewati bentang alam.
Empat terowongan dilewati, beberapa jembatan dilalui, dan Samudera Hindia menyambut kedatangan kereta di Pangandaran. Yaps, mereka menikmati jalur Banjar-Cijulang yang telah lama mati. Ahmad Bakri merekam jalur yang kadang disebut 'BanCi' itu dalam Rajapati di Pananjung, sebuah novel berbahasa Sunda yang mula-mula terbit pada 1985.
Jalur kereta api Banjar-Cijulang terbentang lebih dari 82 kilometer. Staatsspoorwegen, sebuah perusahaan kereta api di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, mula-mula membangun jalur Banjar sampai Kalipucang yang diresmikan pada 15 Desember 1916. Proyek itu berlanjut dengan membuka jalur Kalipucang yang berakhir di Cijulang, dan diresmikan pada 1 Januari 1921, demikian tulis Sudarsono Katam dalam Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe (2014),
Ada 6 stasiun—Banjar, Padaherang, Kalipucang, Ciputrapinggan, Pangandaran, Parigi, Cijulang—dan 16 halte yang dilalui oleh jalur ini. Ke-16 halte itu adalah Batulawang, Gunungcupu, Cikotok, Sukajadi, Banjarsari, Banjarsari Pasar, Cangkring, Cicapar, Kedungwuluh, Ciganjeng, Tunggilis, Sumber, Cikembulan, Cikalong, dan Cibenda. Mereka memanjang ke selatan, menuju pantai dan debur ombak Samudera Hindia.
Jalur ini tergolong berat sebab mesti melalui perbukitan dan lembah-lembah yang dalam tetapi menampilkan lanskap menawan. Empat terowongan dari jalur ini—Hendrik (105 meter), Juliana (147 meter), Philip (281 meter), dan Wilhelmina (1.116 meter)—ialah terowongan kereta api terpanjang di Pulau Jawa.
Persaingan moda transportasi darat dan kerugian yang kerap dialami PT Kereta Api Indonesia menjadikan jalur ini menemui ajal. Pada 1 Februari 1982, jalur Banjar-Cijulang resmi ditutup. Pada 1998, ketika rakyat Indonesia terbebas dari rezim Soeharto, banyak rel yang dicuri dan muncul bangunan permukiman warga di atas areal rel kereta api.
Rencana Menghidupkan Jalur Rel Pangandaran
Saya menelusuri sebagian jalur ini, dari Cijulang sampai Banjarsari, pada akhir 2015. Kecuali stasiun Pangandaran yang relatif masih utuh, banyak stasiun dan halte tak bersisa; kalau pun masih ada, tak lebih dari reruntuhan lapuk yang sulit diidentifikasi sebagai bekas stasiun dan halte.
Meski kondisinya memprihatinkan, warga di sekitar stasiun dan halte masih mengingat jejak moda transportasi tersebut. Banyak warga di sekitar jalur rel, yang lahir setelah tahun 1982, mendengar kisah dari para orangtua ihwal jalur Banjar-Cijulang.
Pangandaran telah lama jadi sebuah kabupaten mandiri dan berkembang cukup pesat terutama di sektor pariwisata. Jumlah pengunjung setiap akhir pekan dan libur panjang, seperti Lebaran kemarin, kerap bikin kemacetan sangat panjang.
Oji, juru parkir di sebuah minimarket di Jalan Kidang Pananjung, mengatakan pada puncak kunjungan libur lebaran, antara 27 dan 29 Juni lalu, kemacetan mengular puluhan kilometer.
“Banyak pengunjung yang akhirnya putar balik dan kembali ke kotanya masing-masing,” ujarnya.
Bahkan, menurutnya, dari pintu gerbang utama ke Pantai Barat dan Pantai Timur, para pelintas harus menghabiskan waktu sekitar 2 sampai 3 jam.
“Kasihan, banyak yang enggak jadi main di pantai,” ujar Oji.
Kondisi ini tentu membutuhkan solusi yang cepat demi mendukung laju ekonomi Kabupaten Pangandaran. Transportasi kereta api sangat mungkin bisa memecahkan masalah tersebut.
Pengaktifan kembali jalur kereta api Banjar-Cijulang sebenarnya sudah lama diwacanakan, dan ada rencana akan dimulai pada 2020.
Darma Widjaja, Kepala Bidang Perhubungan Dinas Pekerjaan Umum Perhubungan Komunikasi dan Informatika Pangandaran, mengatakan pihak Kementerian sedang menyusun apa yang disebut Detail Engineering Design dan Feasbility Study, sementara dinas provinsi tengah mengkaji dampak sosial dari proyek tersebut.
“Stasiun kereta api lama, yang dulu pernah dijadikan aktivitas, rencananya akan direnovasi dan difungsikan kembali menjadi angkutan kereta wisata,” ujarnya.
Soal wacana ini, warga yang saya datangi, termasuk yang rumahnya di atas areal bekas rel, menyambut baik rencana tersebut. Ini cukup menarik karena di beberapa jalur mati lain, seperti jalur Bandung-Ciwidey, warga justru khawatir jika jalur ini dihidupkan kembali.
“Di sini bekas Stasiun Ciputrapinggan. Persis yang sekarang menjadi rumah saya,” ujar seorang ibu.
Di areal bekas halte Cikembulan, Cibenda, Tunggilis, dan Ciganjeng, warga berkata hampir seragam. “Pada dasarnya kami tahu yang kami tempati ini tanah milik PJKA. Kalau suatu saat mereka mau pakai, ya kami harus pindah,” ujar seorang bapak setengah baya di Cikembulan.
Warga dari Cijulang sampai Banjarsari bahkan menuntun saya untuk menunjukkan bekas stasiun dan halte kereta api, dan beberapa di antara mereka mengantar saya ke lokasi.
Beberapa lokasi wisata di Kabupaten Pangandaran yang populer—seperti Pantai Barat, Pantai Timur, Cagar Alam Pananjung, Batu Hiu, Batu Karas, Citumang, Santirah, dan Green Canyon—tidak terlalu jauh dari jalur kereta api Banjar-Cijulang. Mengingat moda transportasi udara belum bisa digunakan untuk angkutan massal, dan jalan raya sebagai jalur mobil serta sepeda motor kerap kepayahan menanggung beban tinggi volume kendaraan, menjadi makin relevan bila jalur kereta api Banjar-Cijulang dihidupkan kembali.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Fahri Salam