tirto.id - Di depan para awak media di Gedung Parlemen Malaysia, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Kamis (18/7) mengumumkan kabar pahit. Mahathir yang baru saja menjabat ini mengakhiri gengsi besar proyek high-speedrail (HSR) yang awalnya menjadi kebanggaan rezim Najib Razak.
“Melihat situasi keuangan negara saat ini, kami berpikir bahwa kami tidak bisa melanjutkan pembangunan proyek kereta cepat yang menghubungkan Malaysia dengan Singapura. Tentu saja kami tidak mengatakan bahwa kami tidak akan pernah membangun kereta cepat ini, tapi saat ini kami tidak memiliki dana. Jadi harus menunda,” kata Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia, seperti dikutip dari kanal YouTube milik Channel NewsAsia.
Kepada Financial Times, Mahathir Mohamad mengatakan ia harus memangkas berbagai proyek infrastruktur yang dianggap "tidak perlu" seperti pembangunan proyek kereta cepat yang menelan dana hingga RM110 miliar. Keputusan ini merupakan bagian dari langkah-langkah pemotongan belanja negara secara radikal untuk menghindari persoalan keuangan negara.
Menteri Urusan Ekonomi Azmin Ali kepada Channel NewsAsia mengatakan, Malaysia akan segera memutuskan status proyek kereta cepat kepada pihak Singapura sebagai mitra proyek ini.
“Kami harus membuat keputusan yang jelas sekarang. Jika kita ingin menunda, seluruh proses perlu ditinjau kembali; kita tidak bisa memperlambatnya, kita harus menangguhkannya sekarang atau menghentikannya,” kata Azmin.
Ia berencana bertemu Khaw Boon Wan, Menteri Transportasi Singapura, sebelum akhir Juli untuk membahas kejelasan rencana pembangunan proyek kereta cepat yang menghubungkan kedua negara ke depan. Jika dibatalkan, Malaysia terancam harus mengganti biaya konsultasi rancangan infrastruktur sipil, biaya penghitungan tenaga kerja serta biaya pembebasan lahan untuk mega proyek ini senilai 250 juta dolar Sing, yang telah digelontorkan oleh pemerintah Singapura.
“Ini adalah jumlah uang nyata yang telah dihabiskan untuk proyek kereta cepat yang berasal dari uang pembayar pajak kami,” kata Khaw Boon Wan, Menteri Transportasi Singapura, seperti dilansir dari Channel NewsAsia.
Menurut Khaw, jumlah dana yang telah dihabiskan Singapura secara signifikan akan benar-benar terbuang jika Malaysia menyatakan tidak akan pernah melanjutkan proyek kereta cepat. Khaw menambahkan, Singapura telah mengeluarkan lebih dari 6 juta dolar Sing sepanjang Juni 2018, sebagai biaya tambahan mega proyek ini. Jumlah yang sama diperkirakan kembali digelontorkan pemerintah Singapura sepanjang Juli ini.
“Biaya-biaya ini akan meningkat pesat seiring waktu, dengan setidaknya lebih dari 40 juta dolar Sing diharapkan mulai dibelanjakan pada Agustus hingga akhir 2018 untuk biaya tenaga kerja yang sedang berlangsung, biaya operasional dan biaya kontrak,” tambah Khaw.
“Ini akan sangat disayangkan, jika Malaysia sebenarnya memutuskan untuk mengakhiri, tetapi menunda memberitahu kami (Singapura) apakah akan lanjut atau hanya ditunda akan membuat pengeluaran yang terbuang menjadi lebih besar di kemudian hari,” jelas Khaw.
Selain Singapura, proyek ini juga menarik minat dari investor dari Cina, Jepang, dan Eropa. Pembangunan proyek kereta cepat disepakati pada Desember 2016 di bawah rezim Najib Razak.
Proyek kereta cepat yang ditargetkan selesai pada 2026, diharapkan mampu mempersingkat waktu tempuh perjalanan antar dua kota dua negara Malaysia-Singapura sejauh 355 km dalam waktu 90 menit saja. Sekarang, berdasarkan laman Google Maps, wisatawan domestik maupun internasional menempuh waktu selama 4 jam 12 menit jika berkendara dengan mobil melalui rute jalan bebas hambatan dan rute perbatasan negara.
Waktu tempuh yang lebih lama yaitu hampir selama enam jam, bila ditempuh dengan transportasi publik seperti kereta api dan juga bus. Jika melalui jalur udara, dibutuhkan waktu selama 55 menit. Kereta cepat sebelumnya merupakan proyek unggulan Nazib.
Nasib Kereta Cepat di ASEAN
Kereta cepat adalah proyek prestise di ASEAN karena belum ada satu pun negara yang mampu membangunnya. Kereta cepat seolah sudah jadi perlombaan di kawasan ASEAN. Selain duet Malaysia-Singapura, ada Indonesia yang juga sedang berambisi membangunnya.
Sayangnya, nasib proyek kereta cepat di Indonesia pun terancam tertunda. Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Eka Sanatha menuturkan, target penyelesaian pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung dipastikan molor sampai 2021.
“Informasinya menjadi 2021 dari sebelumnya 2019. Mengenai alasannya, belum diketahui,” kata Eka seperti diwartakan Antara.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan hambatan utama pembangunan proyek kereta cepat ini adalah lambatnya proses pembebasan lahan sejak 2016. Sampai dengan Maret 2018, konsorsium kerjasama Indonesia-Cina yaitu PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), baru menyelesaikan proses akuisisi 56,5 persen dari total rute sepanjang 142 km.
Jika selesai, kereta yang memiliki kecepatan sampai dengan 350 km per jam ini dapat menghubungkan Jakarta-Bandung dengan waktu hanya 45 menit saja. Ini tentu menghemat perjalanan jalur darat dengan menggunakan kendaraan roda empat yang paling cepat ditempuh selama empat jam tanpa hambatan kemacetan serta lima jam menggunakan kereta api yang saat ini beroperasi.
Investasi senilai Rp77 triliun dibutuhkan untuk mewujudkan proyek ini dengan luas lahan setidaknya mencapai 550 hektare, yang tersebar di sembilan kota dan kabupaten di sepanjang rute rel kereta api yang direncanakan. China Development Bank (CDB) akan menggelontorkan dana pinjaman sampai dengan 75 persen dari total pendanaan, yang terdiri dari $1,5 miliar setara Rp20 triliun berasal dari ekuitas empat perusahaan BUMN karya yang bergerak di bidang konstruksi, kereta api, jalan tol, dan perkebunan milik negara.
Awalnya Indonesia dan Malaysia diproyeksikan sebagai negara perintis kereta cepat di ASEAN. Namun, setelah melihat kondisi terkini, justru Vietnam dan Thailand justru punya kesempatan. Thailand misalnya, pada Maret 2018, kabinet menyetujui proyek kereta api berkecepatan tinggi yang diperkirakan menelan biaya sekitar 225 miliar Bath atau setara $7,22 miliar yang akan menghubungkan tiga bandara di Thailand.
“Biaya proyek ini lebih tinggi dibanding perkiraan sebelumnya yang senilai 200 miliar bath,” kata Nathporn Chatusripitak, juru bicara kantor Wakil Perdana Menteri Thailand seperti dilansir Reuters.
Jaringan rel kereta api cepat ini akan menghubungkan dua bandara di Ibukota Thailand, Bangkok yaitu Don Mueang International dan Suvarnabhumi Internasional dengan U-Tapao International Airport, provinsi Rayong. Pada Oktober mendatang, pemenang proyek kemitraan publik-swasta atau Public-Private Partnership (PPP) akan diumumkan. Setelah itu, pembangunan diharapkan dapat segera terlaksana dan operasional kereta cepat dapat dimulai pada 2023.
Vietnam juga tak mau kalah, mereka menargetkan bisa menggarap pembangunan proyek kereta berkecepatan tinggi yang menghubungkan kota bagian utara dan selatan negara tersebut pada 2020. Nguyen Ngoc Dong, Wakil Menteri Transportasi Vietnam mengungkapkan, investasi yang dibutuhkan untuk total membangun proyek kereta cepat Utara-Selatan ini menghabiskan biaya lebih dari $50 miliar.
Proyek kereta cepat Utara-Selatan Vietnam ini pernah diusulkan pada 2007 ditunda karena berbiaya tinggi. Namun pada 2010, wacana pembangunan proyek infrastruktur kereta berkecepatan tinggi kembali mengemuka. Vu Anh Minh, Ketua Vietnam Railway Cooperation Cooperation (VNR) seperti dilansir dari Saigoneer, menyatakan strategi untuk mengatasi mahalnya biaya investasi pembangunan proyek kereta cepat adalah dengan membagi proyek menjadi bagian yang lebih kecil masing-masing $5-7 miliar.
“Bagian dengan permintaan tinggi seperti Ho Chi Minh City-Nha Trang atau Hanoi-Vinh akan diprioritaskan,” kata Vu Anh Minh.
Tahap pertama dari kereta double-track standar-gauge akan dibangun dari 2020 hingga 2030. Pemerintah Vietnam berharap kereta api berkecepatan tinggi sampai dengan 350 km per jam ini seluruhnya dapat selesai pada tahun 2050. Jika selesai, dapat mengurangi waktu perjalanan antara Hanoi dan Saigon yang berjarak 1.100 km lebih, menjadi delapan jam, dari sekitar 30 jam perjalanan darat saat ini. Namun, Vietnam, maupun Thailand tentu tak mudah merealisasikan proyek kereta cepat dengan segala kelebihannya.
Peningkatan sistem dari kereta api konvensional menjadi kereta cepat memang menjadi alternatif bagi negara-negara di ASEAN untuk meningkatkan kenyamanan alat transportasi publik. Edward Clayton, Strategy and Lead Partner South East Asia Consulting PwC Malaysia mengatakan mayoritas penduduk di ASEAN sejak 1960-an sangat bergantung pada transportasi udara sehingga bandara pun menjadi sangat padat.
Keberadaan kereta berkecepatan tinggi dapat menjadi alternatif untuk mengintegrasikan transportasi udara dan darat sekaligus, sehingga memungkinkan bagi negara-negara kawasan ASEAN untuk memindahkan lalu lintas pengangkutan jarak pendek ke jalur darat melalui kereta cepat.
“Ini memungkinkan lalu lintas di bandara untuk fokus pada perjalanan jarak menengah serta jarah jauh,” tulis Edward Clayton, dalam jurnal berjudul The Future of ASEAN Time to Act yang diterbitkan PwC Growth Markets Centre pada Mei 2018 (PDF).
Di luar persoalan manfaat praktis proyek kereta cepat, proyek ini bukan barang yang murah sehingga ada dampak yang menyertainya. Selain tentu saja butuh dana besar, masalah politik seringkali jadi persoalan, seperti yang terjadi di Malaysia, saat rezim berganti maka kebijakan kereta cepat pun beda haluan. Kita tunggu saja siapa yang jadi juara perlombaan kereta cepat di ASEAN?
Editor: Suhendra