Menuju konten utama
Mozaik

Saat Amunisi Tahi Menghalau Serbuan Mataram ke Batavia

Mataram menelan kekalahan memalukan saat menyerbu Batavia. Salah satunya karena "amunisi" tahi yang dilemparkan tentara Kompeni dari dalam benteng.

Saat Amunisi Tahi Menghalau Serbuan Mataram ke Batavia
Pengepungan Batavia oleh Sultan Mataram. Pada tahun 1628 kota VOC di Batavia menjadi korban Sultan Agoeng dari ambisi Mataram untuk menaklukkan. Dengan menaklukan Batavia, sultan akan memperoleh hampir seluruh pulau Jawa. Akibatnya masa depan VOC di Jawa tergantung pada keseimbangan. Tetapi tembok-tembok benteng Batavia yang baru saja selesai terbukti cukup kuat untuk menahan serangkaian serangan dari pedalaman oleh tentara Sultan Agoeng dari Mataram. Karena kekurangan makanan untuk pasukan, Sultan terpaksa mengundurkan diri. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Sejak abad pertengahan, manusia telah mengenal bermacam-macam senjata biologis. Tren senjata biologis dalam peperangan mula-mula dikenal lewat wabah penyakit via mayat maupun bangkai hewan yang membusuk.

Sebagai contoh, mayat-mayat pasukan Gerombolan Emas dari Mongol yang terjangkit pes bubo (pandemi black death) mengisi pelontar raksasa trebuchet, guna dilemparkan kala invasi Pengepungan Kaffa pada 1343-1347. Mayat-mayat itu berjatuhan lalu hancur saat menghantam tanah, menularkan infeksi bakteri Yersinia pestis, yang bisa membunuh dua dari tiga korban hanya dalam waktu empat hari.

Beratus tahun kemudian, sebelum dan selama Perang Dunia II, wabah pes bubo kembali menjangkit. Kali ini pelakunya militer Jepang dalam Perang Tiongkok-Jepang II, tepatnya insiden pengeboman kota Ningbo.

Insiden ini dinarasikan ulang dalam film Unit 731 & Shiro Ishii Documentaryuntuk mengingat kekejaman Shiro Ishii, ahli mikrobiologi dan perwira medis Angkatan Darat Jepang. Dialah direktur yang memimpin proyek pengembangan senjata biologis di Unit 731. Sebuah unit yang turut dituding sebagai dalang di balik wabah tetanus di kamp romusa Klender, Jakarta.

"Perang biologis & bioterorisme merupakan alat yang ampuh di tangan negara dan teroris. Sejarahnya bermula pada abad kedelapan belas (1754-1767) ketika Inggris mendistribusikan selimut yang digunakan oleh pasien cacar kepada penduduk asli Amerika dan tingkat kematian di beberapa suku mencapai 50 persen. Jepang juga menggunakan senjata cacar terhadap bangsa Mongolia & Tiongkok selama perang dunia II," tulis Alok Kumar dkk. dalam "Biologicar Warfare, Bioterrorism and Biodefence" (2011: 69).

Lalu pada 1628, prajurit Mataram yang dipimpin Sultan Agung juga tak luput dari keganasan senjata biologis. Saat menyerbu Batavia, mereka mesti takluk terhadap kegigihan pertahanan VOC. Bukan kalah lantaran adu mekanik biasa, tetapi senjata biologis yang digunakan sebagai peluru oleh VOC sungguh di luar nalar militer.

Serdadu VOC menggunakan tahi guna membendung gempuran bala tentara Mataram yang merangsek ke Benteng Fort Hollandia atau Redoute Hollandia (Benteng Magdaleen). Bukan tahi dalam artian metaforis, tetapi memang betul-betul tahi alias tinja hasil ekskremen manusia berbentuk padat dan lunak itu.

Belanda Lempar Tahi, Lahirlah Tanah Betawi

Di antara banyak perang dengan ragam senjata biologis yang mematikan, serangan Mataram ke Batavia pada 1628 adalah salah satu yang menjijikkan. Bayangkan, bongkahan tahi dalam bentuk, warna, dan bau yang beraneka ragam dilempar ke barisan musuh, sehingga mereka kocar-kacir dan hampir muntah.

Walhasil, Mataram pun menjuluki Batavia sebagai Kota Tahi. Sebuah julukan bernada kekesalan terhadap kegagalan yang memalukan.

Julukan Kota Tahi bukan hanya umpatan yang menyembur dari mulut ke mulut. Dokumentasi heuristik atas julukan menyebalkan ini telah santer dimuat di berbagai arsip dan tulisan sejarah.

Menurut Zaenuddin HM dalam Kisah-Kisah “Edan” Seputar Djakarta Tempo Doeloe (2016: 2), adalah Seyger van Rechteren, seorang pegawai VOC yang mengaku menjadi saksi hidup kejadian senewen tersebut. Saat tahi-tahi menghujani pasukan Mataram, dia tengah berlindung di dalam benteng.

Insiden pelemparan tahi terhadap pasukan Mataram disebut bukan strategi utama, tetapi diklaim sebagai serangan pemungkas. Sebagaimana ditulis Zaenuddin, penyerangan pada 1628 bukanlah tahun ketika malapetaka yang dimaksud berlangsung. Namun merupakan cikal bakal rangkaian peristiwa ini.

Sultan Agung memandang Benteng Hollandia sebagai duri di kaki Batavia. Membombardir benteng tersebut dapat melepaskan belenggu kolonialisme Belanda. Maka itu, gelombang serangan pertama diluncurkan pada 1628. Operasi penyerangan Mataram dikomandoi Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja.

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen dalam laporannya kepada Dewan Hindia pada 3 November 1628 menyebut kedua patih Mataram membawa rombongan yang begitu besar menuju Batavia. Sementara itu serdadu VOC yang bertahan di dalam benteng hanya berjumlah 24 orang.

"Mereka membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Mereka dilindungi oleh beberapa orang, yang terus menembaki kubu dengan memakai bedil laras panjang, tulis Coen.

Serangan pertama membuat Belanda gelagapan, tetapi tak cukup membuat mereka menyerah. Sementara di kubu Mataram, mereka telah kehilangan banyak amunisi dan bubuk mesiu.

Kendati jumlah prajurit yang dikerahkan melebihi pertahanan di Fort Hollandia, tetapi perlengkapan senjata dan artileri mereka masih kalah canggih. Bahkan perjalanan dari Mataram menuju ke Batavia pun mereka tempuh dengan kaki telanjang.

Karena itulah pertempuran pertama hanya berlangsung sehari semalam. Dan Coen mengatakan kegigihan pasukan Belanda serta strategi matang adalah taktik jitu untuk membendung pasukan Mataram.

Namun, agaknya laporan ini terdengar meragukan dan malu-malu. Bagaimana mungkin ratusan prajurit Mataram kalah hanya dengan beberapa puluh orang yang bertahan di dalam benteng?

Rupanya, terdapat laporan lain yang lebih mencengangkan. Laporan ini lebih tepat disebut catatan perjalanan seorang saudagar VOC, Johannes Nieuhof, dengan judul Het gezantschap der Nederlandstche Oost-Indische Compagnie, aan den grooten Tartarischen Cham, den tegenwoordigen keizer van China.

Judul aslinya memang cukup panjang lantaran catatan ini sebenarnya berbentuk sebuah laporan naratif yang Nieuhof susun dan tujukan untuk Tartarischen Cham, penguasa Tiongkok waktu itu. Laporan tersebut disusun Niehuof dari 1618 sampai 1672, tetapi diperbarui berkala dan terbit perdana pada 1655.

Kemenangan VOC atas Mataram tidak sesimpel narasi laporan yang ditulis Coen. Niehuof menuliskan, tanggal 25 Oktober 1629 pasukan Mataram kembali menyerbu Batavia. Sisa pasukan dari dalam benteng hanya berjumlah 17 serdadu. Sementara itu, Mataram menyerbu dari hampir segala penjuru benteng.

Memang betul bahwa perlengkapan senjata VOC lebih canggih, tetapi bertahan dari serangan segala penjuru membutuhkan modal amunisi dan mesiu yang besar. Tak ada lagi sebutir peluru di kotak mesiu. Mereka bahkan menggunakan alat-alat seadanya seperti batu dan panci dari dalam benteng.

Salah satu sersan muda asal Jerman, Hans Madelijn, yang berusia 23 tahun memiliki ide gila. Dia menyelinap ke ruang serdadu lantas memerintahkan anak buahnya membawa sekeranjang penuh tinja. Bukan lantaran perawatan sanitasi benteng, tetapi digunakan sebagai amunisi pemungkas.

Entah dari mana sekeranjang penuh kotoran manusia itu didapat. Tetapi dalam keadaan darurat, pasukan yang tersisa belasan ini menurut saja apa yang diperintahkan Madelijn secara spontan.

Tinja-tinja itu ditempatkan dalam pot lalu dilemparkan kepada para prajurit Mataram. Praaak...! Kotoran itu menimpa kepala, muka, dan menempel ke sekujur badan. Rupanya, serangan itu berhasil dan mengakibatkan formasi prajurit kocar-kacir. Bala tentara Mataram lari tunggang-langgang meninggalkan benteng sembari mengibas-ibaskan kotoran yang menempel. Serangan mandek, sebab hidung dan perut tak kuasa menahan enek.

Sambil berteriak dalam bahasa lokal, “O Seytang Orang Hollanda de bachalay sammatay” yang artinya: O, Setan orang Belanda berkelahi pakai tai.

Sejarawan Afolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta (2007: 44) menyebut bahwa kata ini boleh jadi adalah kalimat Melayu pertama dalam buku yang pernah ditulis oleh orang Jerman.

Zaenuddin HM menambahkan pekikan orang-orang Mataram yang lain, “Mambet tahi! Mambet tahi!” (artinya: Bau tahi! Bau tahi!). Konon, pekik dan lolongan itu kemudian padu padan dengan embrio istilah nama "Betawi".

"Secara bergurau, banyak pula orang mengatakan bahwa itulah asal-muasal tanah Betawi,” tulis Zaenudin HM (hlm. 4).

Menurut F. De Han, penulis buku Oud-Batavia, menyebut pada 1899 jalan di sebelah barat bekas Benteng Hollandia yang bernama Buiten Kaaimans Straat oleh penduduk setempat disebut Gang Tahi.

Kota Tahi dalam Babad

Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, selain dipakai sebagai senjata biologis melawan musuh, tahi juga memiliki manfaat yang beraneka ragam di dunia medis Jawa.

Warsa 1941, sejarawan Belanda bernama W. L. Olthof menerjemahkan salah satu versi Babad Tanah Jawi dari bundel Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 ke dalam prosa berbahasa Belanda.

“Orang Belanda bubuk mesiunya semakin menipis. Kotoran orang atau tinja dibuat obat mimis. Orang jawa banyak yang muntah-muntah, sebab kena tinja... Adapun Pangeran Mandurareja masih tetap mempertahankan perangnya, tetapi tetap tidak dapat mendekati benteng, karena tidak tahan bau tinja. Pakaian mereka berlumuran tinja. Para adipati pesisir bala prajuritnya banyak yang tewas. Sedang yang hidup tidak tahan mencium bau tinja. Sepulang berperang lalu merendamkan diri di sungai," tulisnya.

Demikian halnya ditegaskan kembali dalam Babad Dipanagara yang ditulis oleh Pangeran Dipanagara selama pengasingan di Fort Amsterdam, Manado, pada 1831-1832. Di Bagian II, Pupuh XII, Durma, yang berkisah tentang peristiwa penyerangan Mataram ke Batavia pada September 1628.

"... Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja. Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening."

Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (Jilid II, 1817, hlm. 154) mengatakan bahwa serangan yang dilakukan prajurit Mataram terhadap Batavia menemui kegagalan. Sebabnya, karung-karung berisikan tahi dilesatkan ke rombongan prajurit dari Jawa. Karenanya, benteng (kota) tempat peristiwa ini berlangsung dilabeli sebagai “Kota Tahi”.

Baca juga artikel terkait BATAVIA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi