Menuju konten utama
Mozaik

Riwayat Perkawinan Sedarah Suku Polahi di Gorontalo

Terasing di hutan sejak ratusan tahun lalu karena menghindar dari Kompeni (VOC), suku Polahi akhirnya melakukan perkawinan sedarah.

Riwayat Perkawinan Sedarah Suku Polahi di Gorontalo
Foto udara Pemukiman Suku Polahi yang berada di tengah hutan di perbukitan Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/foc.

tirto.id - Suku Polahi merupakan komunitas nomaden yang hidup dalam isolasi selama berabad-abad. Nama "Polahi" berasal dari bahasa Gorontalo, "lahi-lahi", yang berarti "pelarian". Salah satu praktik unik budaya mereka ialah perkawinan sedarah (inses), yang secara medis kerap melahirkan keturunan disabilitas.

Narasi sejarah suku Polahi berakar pada keputusan untuk melarikan diri ke dalam hutan belantara pada masa Kompeni. Peristiwa ini terjadi sekitar abad ke-17, didorong oleh penolakan terhadap penaklukan dan keengganan membayar pajak kepada VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Seturut Samsi Pomalingo dan Sukirman Rahim dalam buku Potret Etnografi Masyarakat Polahi (2020:36), penguasaan koloni Belanda di wilayah Sulawesi bagian utara mulai dari Gorontalo hingga ke Nusa Utara (Kepulauan Sangihe dan Talaud) terjadi di masa Robertus Padtbrugge sebagai Gubernur VOC (1677-1682).

Pelarian terjadi karena masyarakat Polahi enggan tanahnya diambil, takut dijadikan budak, dan tidak mau membayar pajak. Dalam jurnalnya yang lain terbitan Universitas Nergeri Gorontalo, Samsi Pomalingo menyebut masyarakat Gorontalo yang melarikan diri ke hutan terjadi dalam dua masa Raja Eyato dan Raja Biya (1677-1679), dan masa dua tokoh Sumalata yakni Olabu dan Tamuu sekitar tahun 1899.

Kedua masa tersebut juga menyiratkan adanya perbudakan dan penyiksaan yang menyebabkan migrasi ke hutan-hutan dan pergunungan. Mereka tetap menjalankan kesehariannya sebagai para pencari rotan dan damar.

Mereka dapat ditemui di lereng Gunung Boliohuto, Tilongkabila, dan Sumalata, berbatasan dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Permukiman mereka tersebar di hutan Pangahu dan pegunungan Alawahu, yang hanya bisa dijangkau dengan menyusuri Sungai Pangahu atau Bongo, lalu menapaki jalan setapak dan jejak peramu rotan.

Pilihan melarikan diri bukan sekadar tindakan menghindar, melainkan upaya marginalisasi diri yang disengaja demi mempertahankan otonomi. Konsekuensinya, mereka dikenal sebagai komunitas terasing, sebuah status yang lahir dari perlawanan.

Keputusan sadar untuk memutuskan hubungan dengan struktur sosial dominan pada masa itu berlanjut hingga era pendudukan Jepang, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia.

Uniknya, mereka masih mempertahankan sistem kerajaan, menyebut raja sebagai olongia, dengan kehidupan yang menyatu dengan alam di Kecamatan Asparaga dan Tolanguhula, Kabupaten Gorontalo.

Komunitas Polahi terbagi menjadi kelompok kecil yang masih nomaden dan kelompok besar yang semi-permanen. Isolasi ini, yang awalnya merupakan strategi bertahan hidup, kemudian menjadi mekanisme sosial internal seperti perkawinan sedarah akibat minimnya pilihan pasangan dari luar.

Gaya Hidup Nomaden

Suku Polahi menjalani kehidupan nomaden di hutan, berpindah dalam kelompok kecil dengan gubuk sederhana beratap daun tanpa dinding. Perpindahan mereka bukan hanya untuk mencari sumber daya, tetapi juga karena keyakinan spiritual: kematian di suatu tempat dianggap membawa kutukan, sehingga mereka pindah untuk menghindari kesialan.

Gaya hidup mereka terikat pada alam dan otonomi, bebas dari aturan luar. Untuk bertahan hidup, suku Polahi bergantung pada berburu, meramu, dan pertanian sederhana seperti menanam padi, tanpa mengenal mata uang atau penanggalan formal.

Budaya material mereka minim, namun kaya makna spiritual dan budaya. Nomadisme mereka bukan sekadar adaptasi ekologis, melainkan juga ekspresi pandangan dunia yang menghormati alam dan kebebasan, membuat mereka sering menolak permukiman tetap karena merasa terbatas oleh iklim dan lahan.

Upaya memukimkan suku Polahi sering menemui resistensi, bukan hanya karena kebutuhan praktis seperti lahan tanam, tetapi juga karena bertentangan dengan identitas mereka yang berakar pada nomadisme, spiritualitas, dan keinginan hidup tanpa batasan.

Kebebasan di hutan bagi mereka adalah cara hidup yang tak hanya memenuhi kebutuhan, tetapi juga menjaga jiwa budaya mereka. Dalam berkomunikasi, suku Polahi menggunakan bahasa Hulonthalo atau bahasa Gorontalo Kuno. Mereka terbatas dalam berbahasa Indonesia.

Dari segi keyakinan, mereka menganut kepercayaan animisme, memuliakan alam, seperti keyakinan terhadap Pulohuta sebagai roh atau kekuatan penjaga tanah. Lalu ada Lati yang menjelma pada pohon-pohon besar dan air terjun.

Struktur sosial mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang tersebar, sering kali berdasarkan unit keluarga, dengan interaksi yang terbatas antarkelompok karena jarak yang sangat jauh.

Suku Polahi di Gorontalo

Dua orang warga Suku Polahi Tuuli Palowa yang biasa disapa Bakiki bersama istrinya, Nakiki Palowa berdiri di rumahnya Dusun Tumba, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/pras.

Secara historis, suku Polahi tertutup dan curiga terhadap orang luar, namun kini interaksi meningkat karena kebutuhan ekonomi, seperti menjual hasil hutan atau bekerja sebagai kuli angkut tambang.

Penelitian berjudul "Perilaku Komunikasi Suku Pedalaman Polahi dalam Berinteraksi dengan Masyarakat Luar Suku" menunjukkan perubahan perilaku komunikasi mereka, didorong oleh kebutuhan sehari-hari.

Meski begitu, tantangan seperti kendala bahasa, kesalahpahaman budaya, dan keinginan kuat untuk tetap hidup di hutan masih menghambat interaksi dengan dunia luar.

Tradisi Kawin Sedarah

Praktik kawin sedarah suku Polahi, yang diperkirakan berawal sejak abad ke-17 saat pelarian dan isolasi mereka, dipicu beberapa faktor. Pertama, isolasi ekstrem di kelompok kecil membatasi akses ke pasangan luar. Jarak antarkelompok yang jauh juga menghambat perkawinan eksogami.

Kedua, perkawinan sedarah menjadi cara menjaga kelangsungan kelompok dan garis keturunan di tengah kerentanan demografis, terutama saat mereka melarikan diri ke hutan pada masa VOC.

Menurut studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, suku Polahi atas dasar kekhawatiran tidak memiliki anak serta ancaman punah, pada akhirnya mengizinkan perkawinan sedarah dalam keluarga inti.

Ketiga, menurut beberapa sumber, praktik ini lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang norma sosial atau dampak genetik, bukan adat yang disengaja. Hal ini akibat minimnya pengetahuan tentang pergaulan antarkelompok dan isolasi ekstrem sejak abad ke-17.

Praktik ini, meski berisiko genetik, muncul sebagai adaptasi pragmatis karena keterbatasan pasangan, lama-kelamaan diterima sebagai norma dalam komunitas tertutup mereka. Isolasi juga membatasi paparan terhadap norma luar dan risiko genetik, menjadikan praktik ini hasil dari sejarah, lingkungan, dan budaya yang kompleks, bukan sekadar tindakan primitif.

Mengubahnya butuh lebih dari sekadar informasi, pemahaman terhadap pola sosial-budaya yang telah mengakar selama berabad-abad sangat diperlukan. Dalam komunitas Polahi, perkawinan sedarah seperti antara orang tua dan anak (ayah-anak perempuan, ibu-anak laki-laki) atau antarsaudara kandung diterima tanpa dianggap tabu.

Proses perkawinannya sederhana, sering tanpa upacara rumit atau pacaran, hanya melibatkan ritual memandikan pasangan di sungai dengan mantra dari tetua adat untuk mengesahkan ikatan. Bahkan, beberapa cukup dengan persetujuan keluarga, lalu pasangan langsung hidup bersama.

Kesehatan, Keturunan, dan Anak-Anak Polahi

Ilmu kedokteran dan genetika menegaskan bahwa perkawinan sedarah meningkatkan risiko keturunan mewarisi gen resesif berbahaya, menyebabkan kelainan genetik, cacat bawaan, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh.

Keturunan dari perkawinan antarkerabat berpotensi lemah secara fisik dan mental, bahkan hingga bersifat letal, karena kurangnya variasi DNA yang memperburuk kesehatan secara keseluruhan.

Berbagai sumber secara anekdotal melaporkan bahwa anak-anak suku Polahi yang lahir dari perkawinan sedarah tampak normal secara fisik dan sehat, tanpa kecacatan yang jelas. Antropolog Yowan Tamu juga menyatakan, "Yang unik adalah hasil keturunan mereka tidak ada yang cacat. Mereka normal normal saja."

Kenormalan yang tampak ini sering disorot sebagai sebuah aspek unik dari suku Polahi.

Suku Polahi di Gorontalo

Dua anak suku terasing Polahi belajar permainan dan lagu anak di sungai perbukitan Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi rumah yang berada di perbukitan di tengah hutan, hidup berpindah-pindah dan jauh dari pemukiman warga membuat anak suku Polahi tidak mendapatkan pendidikan yang layak. (ANTARA/ Adiwinata)

Klaim tersebut menuai skeptisisme medis dari ahli genetika, Dr. Wahyuni, yang menegaskan penampilan fisik tak cukup menilai kesehatan, karena gangguan kognitif atau kromosom seperti resesif autosomal mungkin terjadi, misalnya IQ rendah.

Mengutip kembali buku Potret Etnografi Mayarakat Polahi di halaman 57 yang mengungkap kasus disabilitas istri Tayabu, seorang Polahi di Gunung Mahiolo, yang juga saudara perempuannya, memiliki kelainan bicara alias bisu. Begitu pula keponakannya, siswa SDN 1 Bihe, yang juga bisu, menantang narasi keturunan normal.

Temuan ini selaras dengan risiko genetik perkawinan sedarah. Narasi keturunan normal kemungkinan penyederhanaan, akibat observasi dangkal, kurangnya pemeriksaan kesehatan menyeluruh, dan kecenderungan budaya Polahi untuk tidak menonjolkan disabilitas seperti masyarakat umum.

Selain itu, meskipun tidak secara eksplisit dirinci dalam sumber-sumber yang tersedia mengenai suku Polahi, isolasi jangka panjang dan perkawinan sedarah dalam populasi pendiri yang kecil dapat mengarah pada tanda tangan genetik yang unik.

Gen resesif tertentu, jika ada pada para pendiri, bisa menjadi lebih umum, sementara yang lain mungkin hilang. Fenomena yang dikenal sebagai founder effect membuat populasi suku Polahi mewarisi lungkang gen terbatas dari pendiri mereka, dengan frekuensi alel yang berbeda dari populasi asal.

Hanyutan genetik dalam kelompok kecil ini dapat memperkuat atau menghilangkan gen resesif tertentu. Jika pendiri Polahi kebetulan memiliki sifat resesif merugikan yang lebih rendah atau alel pelindung, ini bisa mengurangi beberapa kelainan genetik, meski tidak menghilangkan semua risiko perkawinan sedarah.

Tanpa data genetik langsung, ini spekulasi, tetapi mungkin menjelaskan mengapa beberapa kelainan umum tidak terlihat jelas, sementara kondisi lain tetap ada.

Suku Polahi kini perlahan membuka diri, berinteraksi dengan desa sekitar, pasar, dan menggunakan ponsel. Mereka masih setia pada bahasa Gorontalo asli dan kehidupan hutan, mempertahankan tradisi di tengah perubahan.

Upaya pemerintah dan LSM, seperti pelatihan agroforestri dan penyediaan tempat tinggal, kurang berhasil karena ikatan kuat Polahi dengan hutan dan budaya mereka. Namun, mereka tak lagi terisolasi, sebagian sudah mengenakan pakaian modern, bisa membaca dan berbahasa Indonesia, memanfaatkan layanan kesehatan, dan mengadopsi teknologi.

"Kami sudah lama berpakaian. Beli di pasar dan diberi sama orang lain,” tutur seorang istri Kepala Suku, dilansir Kompas.

Tayabu, yang istrinya bisu itu bahkan tercatat sebagai Polahi pertama yang memeluk agama Islam pada 1998. Ia pernah bekerja sebagai kernet angkot Paguyaman-Kota Gorontalo.

Baca juga artikel terkait PERKAWINAN SEDARAH atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi