tirto.id - Seorang pria asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, Ansar (32) menikahi adik kandungnya bernama Fitriani (20). Saat keduanya melaksanakan perkawinan secara diam-diam di Kalimantan pada 23 Juni 2019, Fitriani diduga sedang hamil empat bulan.
Hal itu diketahui setelah istri sah Ansar melaporkan perkawinan sedarah tersebut ke polisi atas tuduhan perzinaan pada Senin (1/7/2019).
Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Pol Dicky Sondani menyatakan kepolisian setempat masih memeriksa laporan tersebut. “Saya cek terlebih dahulu,” ujar dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (2/7/2019).
Sementara itu, menurut Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, kasus pernikahan sedarah bisa dikategorikan dalam tindak pidana.
"Karena hukum lebih tinggi dan hukum itu melarang inses. Selain itu, inses pasti zina. Tapi zina belum tentu inses,” kata Mudzakir, ketika dihubungi Tirto, hari ini.
Untuk pembuktian perkawinan inses, Mudzakir menyatakan salah satu caranya dengan meneliti dokumen akta pernikahan.
“Pembuktian dapat dilakukan semisal dengan bukti kehamilan, tes DNA anak yang lahir, hubungan sedarah atau tidak, pernikahan mereka pun bisa jadi bukti awal,” kata dia.
“Bila betul terbukti maka dapat dikeluarkan sanksi berupa pembatalan pernikahan,” tambah dia.
Larangan inses memang tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut pasal itu, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu, dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Perempuan Bisa Menjadi Korban dalam Perkawinan Inses
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia meminta polisi jeli menangani perkara perkawinan sedarah warga Bulukumba tersebut. Dia mengingatkan, perempuan bisa jadi merupakan korban dalam perkawinan inses.
“Harus diketahui apakah kehamilannya karena perkosaan, relasi kuasa atau bukan,” kata Alicia.
Menurut dia, polisi harus mengedepankan perspektif melindungi korban dalam menangani kasus ini. Sebab, bila mempelai perempuan dihukum, artinya ia memiliki beban ganda: mengandung anak dan dipidanakan.
“Selama ini penegakan hukum inses agak sulit, apalagi perempuannya [Fitriani] bukan usia anak. Karena tidak ada pasal yang dapat menjerat si laki-laki,” ujar dia.
Alicia menambahkan lembaga negara yang bertugas memberikan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual juga bisa terlibat turun tangan.
"Misalnya ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), jika si perempuan itu menjadi korban perkosaan," ujar dia.
Kasus tersebut, kata dia, juga menjadi pelajaran bagi semua Kantor Urusan Agama (KUA), untuk lebih teliti sebelum menikahkan siapa pun. Pengecekan latar belakang calon mempelai harus lebih ketat guna mencegah potensi administrasi pernikahan diakali.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom