Menuju konten utama
Mozaik

Revolusi Bergolak, Tentara KNIL Berlindung di Kampung Kramat

Setelah Jepang kalah dan sejarah memasuki Masa Bersiap, sejumlah eks tentara KNIL menetap di Kampung Kramat. Mereka berlindung dari kekacauan revolusi.

Revolusi Bergolak, Tentara KNIL Berlindung di Kampung Kramat
Pasukan KNIL yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda dimana anggotanya sebagian besar adalah penduduk pribumi Indonesia. FOTO/ Koleksi Moluks Historich Museum

tirto.id - Saat Indonesia sebagai republik baru masih mencari bentuk dan kekuasaan belum sepenuhnya digenggam, Jakarta tak hanya dipenuhi semangat kemerdekaan, tetapi juga bayang-bayang ketakutan.

Di tengah hiruk ibu kota, terdapat ruang-ruang yang memisahkan antara selamat dan terancam. Lorong-lorong sunyi, rumah tua peninggalan kolonial, dan bekas kamp interniran menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang diburu oleh amarah revolusi.

Bagi komunitas Maluku, para mantan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) dan keluarganya, Kampung Kramat bukan sekadar tempat tinggal, namun benteng terakhir. Di balik dinding-dinding tebal arsitektur Moojen dan jendela-jendela tinggi yang pernah menyaksikan zaman kolonial, mereka membangun komunitas dalam bisu: menjaga anak-anak, beribadah, dan saling menguatkan. Tapi rasa aman itu rapuh.

Di luar, suara hasutan bergaung. Mereka dianggap sebagai “Londo Ireng”, pengkhianat yang harus dibersihkan. Ketakutan bukan hanya soal penyerangan fisik, tapi juga kegelisahan psikologis yang membayangi tiap langkah.

Kramat menjadi ruang tempat bertahan yang tak menjamin keselamatan. Di sanalah kisah komunitas Maluku bermula, dalam benturan antara perlindungan dan pengucilan, antara harapan untuk diterima dan rasa gentar akan amarah yang terus digiring oleh propaganda.

Jejak mereka bukan hanya catatan kaki sejarah. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah komunitas yang dulu ditolak, perlahan menemukan tempatnya di tengah republik.

Orang Maluku di Bawah Panji KNIL

Hubungan Belanda dengan Maluku berawal dari aroma cengkih pada abad ke-16, saat VOC menjadikan Maluku sebagai surga perdagangan rempah dunia. Tapi segalanya berubah drastis setelah tahun 1863. Harga rempah jatuh di pasar global, dan ekonomi Maluku pun runtuh. Wilayah yang dulunya kaya raya perlahan berubah jadi ladang rekrutmen tentara kolonial.

Awalnya, profesi tentara KNIL bukan sesuatu yang dibanggakan. Banyak yang menganggapnya pekerjaan rendah, bahkan mirip perbudakan. Hidup dari kebun jauh lebih sejahtera. Namun, saat krisis melanda dan peluang kerja makin sempit, jadi tentara berubah jadi pilihan rasional.

Lewat sistem pendidikan kolonial, para pemuda Ambon mulai melihat seragam militer sebagai jalan keluar. Belanda tak sembarang memilih, mereka fokus merekrut orang Kristen Ambon sebagai tulang punggung KNIL. Siasat ini untuk mengimbangi tentara Jawa yang dianggap kurang bisa dipercaya karena sering memberontak.

Sebagai imbalan, tentara Ambon diberi gaji lebih besar, sekolah untuk anak-anak mereka, dan status sosial yang menonjol. Reputasi mereka tumbuh sebagai prajurit tangguh dan sangat loyal.

“Bila mendapat medali atau tanda jasa lainnya, seorang prajurit Ambon akan mendapat uang sebesar f 10,19,- sedangkan orang Jawa atau Sunda hanya mendapat f 6,39,- saja,” tutur Petrik Matanasi dalam buku Pribumi Jadi Letnan KNIL (2012:22).

Setelah Indonesia merdeka, prajurit Ambon kerap dicap dengan sebutan yang menyakitkan: “Belanda Hitam” atau “Londo Ireng”. Merujuk buku Transcultural Modernities: Narrating Africa in Europe (2009:41), istilah ini bukan asal muncul. Awalnya, “Zwarte Hollanders” dipakai untuk tentara dari Afrika Barat yang direkrut oleh Belanda pada tahun 1830-an.

Seiring waktu, label itu bergeser jadi senjata politik, diarahkan ke kelompok-kelompok pribumi yang dianggap terlalu dekat dengan penjajah. Orang Ambon jadi sasaran utama. Dan meski jumlah mereka tidak dominan, citra prajurit Ambon begitu kuat.

Data dari C.A. Heshusius yang dikutip dalam buku Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003:326) menunjukkan bahwa pada 1929, tentara Eropa dan Indo-Eropa hanya 18 persen dari total 37.000 pasukan KNIL. Jumlah tentara Jawa dan Manado jauh melampaui jumlah orang Ambon. Tahun 1916, tentara Jawa bahkan lima kali lebih banyak.

Lalu kenapa orang tetap percaya KNIL dikuasai oleh orang Ambon? Karena mereka kerap ditempatkan di garis depan, di unit-unit yang terlihat, dan memiliki reputasi sebagai pasukan elite. Kombinasi kekompakan, keberanian, identitas kultural, dan visibilitas itulah yang membuat citra dominasi Ambon tumbuh, meski fakta berkata lain.

Masa Bersiap, Eksodus ke Kramat

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia memasuki periode yang dikenal sebagai Masa Bersiap, sebuah babak penuh gejolak dan kekerasan. Dalam kekosongan kekuasaan antara mundurnya Jepang dan kembalinya Belanda, muncul kelompok-kelompok pemuda bersenjata, digerakkan oleh semangat revolusi dan kekhawatiran terhadap Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Kekerasan meletus tanpa kendali. Targetnya mereka yang diasosiasikan dengan kolonialisme: orang Eropa, Indo, Tionghoa, serta komunitas Kristen dari Ambon dan Manado. Mereka dicap sebagai antek penjajah, sisa-sisa masa lalu yang harus disingkirkan.

Soetan Sjahrir, lewat pamflet Perdjuangan Kita (Oktober 1945), menyoroti kekejaman ini dan menyerukan agar rakyat tidak melupakan bahwa “orang Indo, Ambon, dan Menado tetap saudara sebangsa kita”. Tapi suara moderat seperti ini tenggelam dalam gelombang emosi dan kekacauan.

Bagi keluarga eks tentara KNIL asal Maluku, Minahasa, dan Timor, identitas yang dulu memberi keamanan, kini jadi kutukan. Mereka dicurigai, diancam, bahkan dibunuh secara brutal. Ada kisah satu keluarga yang jasadnya dibuang ke dalam sumur, simbol kengerian revolusi.

Kekerasan ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di Makassar, terjadi “Ambon Moord” pada 3 Oktober 1945. Massa menyerbu dan membunuh warga Ambon yang dianggap pro-Belanda.

Di bulan yang sama di Depok juga terjadi peristiwa “Gedoran Depok”. Ancaman ini menyebar luas dan sistematis.

Dalam waktu singkat, para prajurit dan keluarganya berubah status dari penegak hukum kolonial menjadi pengungsi di negeri yang mereka harap bisa menjadi rumah. Ketakutan mereka bukan sekadar politik, tapi soal bertahan hidup.

Pada akhir Maret 1946, sekitar 120 kepala keluarga atau sekitar 360 jiwa bekas tentara KNIL, melarikan diri atau diselamatkan ke Kampung Kramat, Senen, Jakarta Pusat. Mereka datang dari pinggiran Weltevreden, Meester Cornelis, dan lain-lain. Wilayah Kramat dianggap lebih aman dari gangguan dan ancaman di masa itu.

Seturut buku Sejarah Jemaat BPIB Eben Haezer di DKI Jakarta 1945-1995 (1995:27), di era Perang Dunia II, di masa pendudukan Jepang, wilayah Kramat digunakan sebagai kamp-kamp penampungan tahanan wanita dan anak-anak Belanda. Salah satu tawanannya ialah isteri Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terakhir, Tjarda van Starckenborg.

Komunitas Maluku lantas menetap di rumah-rumah kolonial di sepanjang Jalan Kramat V hingga Kramat Delapan dan sekitarnya. Menurut Reyhan Biadillah, penulis buku Landhuis di Jabodetabek, bangunan-bangunan ini tadinya merupakan kompleks perumahan Eropa sebelum dikosongkan pada masa Jepang.

“Nah orang-orang Ambon ini, menempati rumah eks orang-orang Eropa di Kramat dan buat gereja sendiri,” sambung Reyhan.

Arsitekturnya dirancang oleh arsitek Belanda terkemuka, Piet Moojen, sekitar tahun 1910-an. Moojen adalah pelopor gaya Nieuwe Indische Stijl—Modernisme dengan sentuhan lokal. Beberapa karyanya yang dikenal di Jakarta antara lain Kunstkring (kini galeri seni) dan kantor NILLMIJ (kini gedung Jiwasraya).

Tinggal di rumah-rumah ini jadi pengalaman yang kompleks bagi mereka. Mereka berteduh di bawah bayangan arsitektur para patron masa lalu, yang sekaligus menegaskan tempat mereka yang tak pernah sepenuhnya diakui.

Menegosiasikan Identitas Berlapis

Di tengah pengasingan dan ketidakpastian, komunitas Maluku di Kramat membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar tempat: mereka mendirikan jangkar hidup, sebuah gereja yang menjadi pusat spiritual dan sosial.

Cikal bakalnya muncul pada tahun 1945 dengan nama Jemaat Masohi, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Jemaat Eben Haezer pada 1 Mei 1946. Resmi bergabung dengan GPIB pada 31 Oktober 1948, gedung gerejanya baru berdiri secara permanen di tahun 1956.

Nama “Eben-Haezer” punya makna dalam: “Batu Pertolongan.” Diambil dari 1 Samuel 7:12, nama itu merujuk pada kalimat “Sampai di sini TUHAN menolong kita.” Bagi mereka yang tercerabut dari akar dan dibayangi persekusi, gereja ini adalah bahtera, tempat bernaung, menguatkan satu sama lain, dan merawat identitas yang terancam hilang.

Di Jalan Kramat VII juga berdiri sebuah bangunan yang menjadi saksi sejarah komunitas Maluku, yakni Wisma Dewanto. Dahulu, tempat ini menjadi barak darurat bagi keluarga tentara KNIL yang mengungsi pasca-kemerdekaan.

Namun, jejaknya jauh lebih tua. Bangunan ini awalnya adalah rumah tinggal yang juga dirancang oleh P.A.J. Moojen, pada tahun 1909. Kini, fungsinya telah berubah. Wisma Dewanto menjadi asrama bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dikelola oleh Ordo Yesuit.

Keluarga-keluarga seperti Berhitu, Taihattu, Rebok, Latumeten, Muskita, Haspers, Bakarbessy, dan Pieters termasuk di antara 15 keluarga pertama yang menetap, menurut penuturan Jopie Taihuttu.

“Keluarga ayah saya tiba di sini tahun 1947,” ujarnya kepada BBC Indonesia.

Setelah kedaulatan diserahkan pada akhir 1949, KNIL dijadwalkan bubar pada Juli 1950. Para prajurit Ambon dihadapkan pada dua pilihan: bergabung dengan tentara nasional (APRIS), atau pulang ke kampung halaman.

Tapi situasinya tak sesederhana itu. Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) pada April 1950 membuat pemerintah Indonesia cemas. Jika para eks tentara pulang, mereka bisa memperkuat gerakan separatis.

Presiden Sukarno pun mengambil sikap tegas. Sekitar 4.000 tentara Ambon KNIL yang masih tinggal di Jawa ditolak untuk kembali ke Maluku. Tak ingin mereka telantar, Pemerintah Belanda mengambil langkah ekstrem: memindahkan sekitar 12.500 orang Maluku ke Belanda, termasuk tentara dan keluarga mereka. Ironisnya, mereka ditempatkan di bekas kamp konsentrasi Nazi.

Begitulah kisah diaspora Maluku di Belanda bermula. Tapi di Kramat, Jakarta, ada kisah lain yang jarang terdengar. Komunitas yang memilih tetap tinggal, yang menolak RMS, yang menetap di pusat republik. Mereka memilih integrasi, bukan pemisahan.

Komunitas Maluku di Kramat hidup dalam lapisan identitas yang terus bergeser: etnis Maluku, iman Kristen, warisan militer Belanda, dan status baru sebagai warga Republik Indonesia. Di tengah tekanan sosial dan politik, mereka memilih jalan yang tak mudah, menyatakan dengan tegas bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia, sekaligus menolak gerakan separatis RMS.

Seiring waktu, komunitas asli Maluku di Kramat menyusut drastis. Kiwari, hanya tersisa sekitar 7–8 keluarga dari generasi awal yang masih menetap di kawasan ini. Anak-anak mereka telah tumbuh, sekolah dan menjadi pegawai negeri, menikah dengan latar etnis berbeda, dan menyatu dengan masyarakat Jakarta yang majemuk.

Secara paradoks, lenyapnya enklave ini justru menandai keberhasilan integrasi. Ia hidup dalam gereja kecil yang tetap berdiri, dalam tiang-tiang rumah tua yang masih menopang, dan dalam ingatan orang-orang yang memilih tetap tinggal. Ia melekat pada peta Jakarta yang terus bergeser.

Di Kampung Kramat, Jakarta, Indonesia dijahit dan percaya bahwa masa depan bisa punya ruang untuk semua.

Baca juga artikel terkait SEJARAH JAKARTA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi