tirto.id - Suatu hari, Lopias--serdadu KNIL asal Ambon--melihat perkelahian yang tidak seimbang. Seorang Belanda dewasa melawan seorang remaja Bumiputra. Solidaritasnya timbul. Tanpa pikir terlalu lama, Lopias maju dan membantu si remaja. Tinjunya sempat menghantam si Belanda sebelum perkelahian itu dibubarkan. Setelah peristiwa itu, pangkat Lopias yang saat itu kopral, diturunkan.
Kisah ini dituturkan dalam beberapa biografi Jenderal Ahmad Yani, salah satunya Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan (1981:43). Ya, si remaja Bumipyra itu adalah Ahmad Yani. Setelah menjadi petinggi Angkatan Darat, Ahmad Yani bertemu lagi dengan Lopias yang sudah masuk TNI.
Ambon kini hanya nama kota di gugusan kepulauan yang disebut Maluku. Namun dulu, Ambon adalah nama sebuah keresidenan. Tak heran jika di masa lalu, hampir semua orang dari Maluku disebut sebagai orang Ambon.
Seperti suku-suku lainnya, mereka juga dikerahkan oleh Belanda sebagai alat perang. Satu satu prajurit asal Keresidenan Ambon yang terkenal adalah Kapitan Jonker, yang akhir hidupnya dianggap akan memberontak kepada Belanda. Belakangan, sosok ini sangat dihormati di kalangan personel KNIL asal Ambon.
Jonker, seperti disebut I.O. Nanulaitta dalam Timbulnja Militerisme Ambon: Sebagai Suatu Persoalan Politik Sosial–Ekonomis (1966:155), "adalah spiritual hero mereka. Dia mendjadi contoh bagi mereka dan dia adalah impian keberanian dan kesetiaan seorang militer Ambon. Kapitan itu pelindung mereka dalam marabahaya."
Sebagian orang Ambon di KNIL begitu memercayai bahwa arwah Kapitan Jonker bersama mereka dan kerap membawakan kemenangan.
Keberadaan orang-orang Ambon di KNIL tersebar di beberapa penjuru Hindia Belanda. Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003:325-326), pada tahun 1916 terdapat 4.000 orang Ambon dari total 30.402 serdadu KNIL. Meski demikian, jika serdadu KNIL asal Ambon dan Minahasa digabungkan, jumlahnya tidak akan sanggup menyamai jumlah serdadu KNIL asal Jawa yang saat itu mencapai 17.854 orang.
Posisi mereka tak melulu sebagai serdadu bawahan, tapi ada juga yang berpangkat sersan atau perwira. Jan Apituley misalnya, sebelum tahun 1942 dia mencapai pangkat setara letnan kolonel sebagai dokter militer. Di kalangan pasukan tempur, tidak sedikit pemuda Ambon yang menjadi komandan. Selain itu, banyak pula di antara personel KNIL asal Ambon yang menerima bintang ksatria Militaire Willems Orde kelas empat dan kelas tiga seperti Habel Salawono dan Th Nussy.
Setelah tahun 1942, tak ada anggota KNIL asal Ambon yang segemilang Julius Tahija. Setelah sukses dalam misinya di Kepulauan Saumlaki, dia mendapat Militaire Willems Orde dan pangkatnya naik dari sersan menjadi letnan di Australia.
Pada masa revolusi, Tahija pernah menjadi staf dari panglima tertinggi Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor. Setelah 1950, Tahija sempat sebentar menjadi letnan kolonel TNI sebelum akhirnya terjun ke dunia bisnis dan dikenal pernah menjadi bos Bank Niaga, Freeport, dan Caltex Indonesia.
Korban Politik dan Masa Bersiap
Orang-orang Ambon yang terkait dengan KNIL hidup dalam suasana kemiliteran. Pemerintah kolonial bahkan pernah mengadakan sekolah dasar macam Ambonsch School yang muridnya didominasi oleh anak-anak kolong. Mereka, meski kerap dicap sebagai antek Belanda, sejatinya punya juga sejarah perlawanan terhadap Belanda. Namun, cap itu kadung terlalu kuat sehingga orang-orang Ambon banyak yang jadi korban dalam periode Masa Bersiap.
Menurut Josef dalam buku Aku Ingat (1996:18), masa-masa sejak 1942 hingga 1950 adalah "masa kegelapan" yang ia sesali. Pada zaman pendudukan Jepang dan Masa Bersiap adalah masa yang cukup mengerikan bagi pemuda ambon seperti dirinya. Dia kerap jadi sasaran kecurigaan tentara Jepang yang kemudian diteruskan oleh para pemuda Republiken di masa revolusi.
Karena selama Masa Bersiap mereka rawan menjadi korban, maka tak sedikit yang memilih mencari aman bersama Belanda, salah satunya menjadi serdadu KNIL. Itulah yang dilakukan Josef Muskita dan banyak pemuda Ambon lainnya.
Setelah Konferensi Meja Bundar 1949, kondisi berubah. Salah satu konsekuensinya adalah Indonesia harus menerima bekas KNIL ke TNI. Para serdadu KNIL berdarah Ambon termasuk golongan yang bimbang. Mereka banyak yang memilih pindah ke Belanda, tetapi juga tidak sedikit yang memilih masuk TNI seperti Josef Muskita dan Julius Tahija.
Josef Muskita--yang akhirnya jadi menantu —setelah tahun 1950 adalah andalan TNI, setidaknya hingga zaman Ahmad Yani menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Sementara Julius Tahija terlibat dalam memberi masukan kepada serdadu bawahannhya itu. Selain Julius, ada letnan bekas KNIL lainnya yang punya peran sama, yakni Letnan Jacob Julius Sahulata, yang belakangan menjadi jenderal di Korps Komando (Marinir).
Menurut Ernest Utrecht dalam Ambon: Kolonisatie, Dekolonisatie en Neo-kolonisatie, (1972:24), kebanyakan orang-orang Ambon di masa itu adalah orang yang tidak paham politik. Kata Utrecht, orang Ambon akan sibuk jika "keluarganya atau teman-temannya terancam, dan bersikap spontan tanpa memahami permasalahannya dahulu." Maka itu, mereka kerap menjadi "korban politik praktis".
Editor: Irfan Teguh Pribadi