tirto.id - Sebagai Kapten KNIL, Julius Tahija pernah bertempur melawan Jepang di front Pasifik, tepatnya di Kepulauan Saumlaki. Setelah Jepang kalah, pada 15 Oktober 1945 ia kembali ke markasnya dan berharap disambut oleh masyarakat Indonesia sebagai pahlawan. Namun, harapannya pupus.
Faktanya, orang-orang Indonesia tengah dibakar api revolusi. Kekalahan Jepang mendorong mereka untuk merebut kemerdekaan dari Belanda secara penuh. Orang-orang yang dianggap pro-Belanda banyak yang dibunuh.
“Saya mengendarai sebuah jip tentara Belanda. Tiba-tiba terdengar suara tembakan […] orang mencoba membunuh saya,” tulis Julius Tahija dalam autobiografinya yang berjudul Melintas Cakrawala (2013:151).
Amuk revolusi juga terutama menimpa orang-orang Ambon dan Manado yang dicap sebagai antek Belanda. Meski demikian, Maluku juga melahirkan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Johannes Leimena, Johannes Latuharhary, dan Alexander Jacob Patty sang pendiri Sarekat Ambon. Pada masa revolusi, banyak pemuda Ambon yang bergabung dalam Laskar Pattimura. Kelak, di antara mereka kemudian masuk TNI dan menajdi bagian dari Divisi Pattimura.
Karier Militer
Pada 1946, usia Julius Tahija sekitar 30 tahun. Karier militernya diawali dengan pangkat sersan, lalu letnan, dan akhirnya kapten. Dia sadar bahwa berpangkat apapun dan memilih pihak manapun—baik Indonesia maupun Belanda—dalam kecamuk revolusi sama-sama punya risiko yang berat.
Meski dia mempunyai sejumlah paman yang terlibat dalam pergerakan nasional, tetapi dia mengaku menerima kolonialisme begitu saja sebagai kenyataan hidup. Itulah kenapa dia yang punya bakat dagang sejak muda masuk tentara kolonial bernama KNIL.
Dia pernah ditempatkan di penerbangan, kemudian dipindahkan ke pasukan marsose terkenal ganas kepada musuh Ratu Belanda. Ketika Hindia Belanda akan jatuh ke tangan tentara Jepang, Julius Tahija termasuk anggota KNIL yang ikut menyingkir ke Australia.
Julius Tahija pernah jadi asisten Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia. Dia diberi latihan soal keuangan oleh tentara Belanda. Setelah itu, dengan cepat dia jadi orang penting bagi Negara Indonesia Timur (NIT) di Makassar.
Menurut Harry Albert Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008:369), bersama Sultan Hamid II dan Soerio Santoso, Julius Tahija pernah mengiringi Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook dalam perundingan Indonesia-Belanda di Hooge Veluwe.
Ketika berada di Jakarta, Julius Tahija bertemu dengan Josef Muskita alias Joost, anak seorang sersan KNIL. Pemuda ini juga terjebak dalam kehidupan kolonial. Secara turun-temurun keluarganya bekerja untuk Belanda. Julius ikut membuat Joost bisa masuk sekolah calon perwira infanteri di Bandung. Sebagaimana serdadu KNIL lainnya, dalam buku Aku Ingat (1996:19) Joost mengatakan bahwa dia dan keluarganya hidup sulit di zaman pendudukan Jepang serta nyawanya terancam.
Awal 1950-an, Julius Tahija masuk TNI. Seperti kebanyakan KNIL yang masuk TNI, Julius Tahija naik pangkat dua tingkat untuk penyesuaian gaji, sebab gaji TNI lebih kecil. Dari Kapten, pangkatnya naik menjadi Letnan Kolonel. Seperti Julius Tahija, Joost juga masuk TNI dengan pangkat penyesuaian kapten.
Masalah penting militer tahun 1950-an adalah soal pemindahan bekas KNIL ke TNI. Banyak anggota KNIL yang gelisah jelang pembubaran Tentara Kerajaan Hindia Belanda itu. Oleh sebagian serdadu KNIL, Julius Tahija dianggap opurtunis.
Para serdadu itu, seperti dimuat dalam arsip Kabinet Perdana Menteri Yogyakarta nomor 82, menyebut Tahija tak paham kondisi terkini di Ambon. Selain itu, dia juga dianggap mengkhinati sumpahnya kepada Ratu Belanda dan harus ditembak mati.
Bagi mereka, Tahija telah masuk perangkap TNI “dengan diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel), motor bagus, uang banyak dan lain-lain…satu atau dua tahun lagi, jika APRIS sudah mulai teratur dan kuat, Kapten Tahija akan dischoop (ditendang) dari APRIS ala TNI.”
Semenatara Joost mesti mengalami kenyataan pahit ketika memutuskan masuk TNI. Ayahnya tak mau bicara padanya selama sepuluh tahun karena Joost ikut memerangi Republik Maluku Selatan (RMS). Menurut pengakuan Henritte Latuharhary—Istri Joost yang merupakan putri sulung dari Gubernur Maluku pertama Johannes Latuharhary—meski ayahnya tak suka, ibunya sangat mendukung langkah Joost.
Menjadi Pengusaha
Karier militer Joost di TNI berakhir dengan pangkat Letnan Jenderal. Sementara Julius Tahija keluar dari TNI dengan pangkat Letnan Kolonel. Ia sadar karier militer tak akan membuatnya kaya. Setelah masa perang berlalu adalah waktu yang baik untuk mulai terjun ke dunia usaha.
Julius Tahija masuk perusahaan dengan bekerja sebagai petinggi di Caltex Indonesia, lalu Freeport Indonesia. Namanya juga terkait dengan sejarah Bank Niaga. Arsip Rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyebut namanya sebagai salah satu pengusaha yang ikut dalam diskusi masa depan ekonomi Indonesia pasca lengsernya Sukarno.
Julius Tahija belakangan dikenal lewat bendera bisnisnya, Austindo. Nama perusahaan yang melambangkan kedekatan Indonesia dengan Australia. Maklum, istrinya adalah seorang dokter gigi dari Australia. Selain Soeharto, Julius Tahija adalah mantan sersan KNIL terkaya di Indonesia.
Julius Tahija meninggal pada 30 Juli 2002, tepat hari ini 18 tahun lalu. Bisnisnya diteruskan dua anak laki-lakinya, George Santosa Tahija dan Sjakon George Tahija. Keduanya adalah komisaris Austindo Group yang bergerak di bidang kelapa sawit dan pertambangan.
George merupakan salah seorang pendiri sekolah PSKD Mandiri. Sementara Sjakon adalah Ketua Dewan Penasehat Medis Klinik Mata Nusantara.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 18 Juni 2020. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh