tirto.id - Sering kita dengar guru sekolah dasar menyebut para pejuang kemerdekaan kita memakai bambu runcing sebagai senjata untuk melawan Belanda. Ia lalu dikontraskan dengan serdadu Belanda yang menggunakan senjata api modern dan artileri. Sebuah bentuk romantisme untuk memperkuat imaji di benak siswa belia akan beratnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Semakin banyak kita menyerap wawasan, semakin kita tahu bahwa fakta sejarah tak sekontras itu. Namun, ia pun tak sepenuhnya salah lantaran senjata yang awalnya disebut cucukan itu memang cukup lazim digunakan bersisian dengan senjata api modern.
Tengoklah misalnya laskar Barisan Muslimin Temanggung (BMT) asuhan ulama kharismatik K.H. Subchi yang berbasis di Parakan, Jawa Tengah. Laskar BMT amat lekat dengan bambu runcing. Ia bahkan menjadi simbol keberanian para pemuda anggota laskar ini.
Laskar BMT lahir tak lama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Tepatnya, ia lahir kala Temanggung tengah menghadapi hari-hari genting jelang kedatangan pasukan Sekutu dan Belanda.
Hari-hari Penuh Letupan
Kabar Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai di Temanggung kira-kira pada paruh akhir Agustus. Warga Temanggung menyambutnya dengan rapat umum di alun-alun kota. Kala itu, Kiai Subchi sudah terhitung lanjut.
Meski Jepang sudah dipastikan bakal angkat kaki dari Indonesia, segelintir perwira dan serdadu-serdadunya masih berpatroli di Temanggung hingga awal Oktober. Benderanya pun masih berkibar di pos-pos tentara.
Gerak-gerik mereka tak pelak memicu letupan dengan orang-orang Republik. Di suatu waktu, sekelompok pemuda Parakan mengadang patroli Jepang di Kali Kuas—alias Kali Galeh seturut penyebutan warga. Dalam insiden itu, senjata tajam dan bambu runcing yang dihunus para pemuda beradu dengan katana tentara Jepang.
“....tiga prajurit Jepang tewas, senjata mereka dirampas. Yang lain cepat-cepat kabur ke pos mereka di Temanggung. Tak ada catatan mengenai korban di pihak pemuda Parakan,” catat buku Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950 (2008) yang disunting Putut Trihusodo.
Kejadian serupa juga terjadi di sejumlah lokasi, termasuk di Ngadirejo yang kemudian dikenal dengan “Insiden Ngadirejo”. Dalam peristiwa yang terjadi di pengujung Oktober itu, sejumlah pemuda mendapati sepuluh tentara Jepang tak berseragam yang tengah memantau situasi. Bentrokan pun tak terhindarkan.
“Dalam peristiwa itu tiga orang tentara Jepang tewas, sisanya melarikan diri ke gunung,” tulis Ahmad Adaby Darban mengutip H. Sulaeman Basyier, bekas anggota laskar Hizbullah, dalam studi “Sejarah Bambu Runcing’’ (1988).
Meski terjadi letupan di beberapa tempat, perlucutan tentara Jepang di Temanggung secara umum bisa dikatakan tetap berjalan lancar.
Semula, tentara Jepang kukuh bertahan dan hanya bersedia angkat kaki saat pasukan Sekutu datang. Sementara itu, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Temanggung tetap menekan bahwa proses perlucutan senjata harus terus dilakukan.
Di tengah kebuntuan itu, Letnan Kolonel Bambang Sugeng tampil sebagai negosiator ulung. Bersama Ketua KNID Sanjoto dan Bupati Temanggung Raden Soetigwa, Letkol Bambang Sugeng mengajak pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayor Migaki Simatoyo berunding. Tentu saja, mereka tak datang sendiri.
“Di belakang mereka ada kelompok penekan yang dipimpin Kepala Polisi Noto Soemarsono, dengan anak buahnya yang relatif bersenjata lengkap, ditambah satuan-satuan bersenjata TKR dan massa dari berbagai laskar. Pucuk-pucuk bambu runcing yang dibawa para pemuda jelas memberi suasana intimidasi tersendiri,” tulis Putut Trihusodo dalam bukunya.
Hasilnya, tentara Jepang tetap diperlakukan dengan baik dan diperbolehkan memegang senjata dengan syarat ruang geraknya dibatasi. Kesepakatan ini sejenak cukup untuk membuat situasi Temanggung kembali tenang.
Para Ulama Melibatkan Diri
Ketenangan itu terusik lagi kala militer Sekutu dikabarkan mulai mendekati Temanggung. Pada 26 Oktober 1945, Sekutu mulai mencoba menguasai pusat Kota Magelang yang berjarak sekira 30-an kilometer dari Parakan. Tiga hari kemudian, pertempuran pun tak terhindarkan.
Pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar-laskar pemuda dari berbagai penjuru sontak menuju Magelang untuk membendung serangan Sekutu. Kiai Noer, putra Kiai Subchi yang menjadi salah satu narasumber utama dalam penelitian Ahmad Adaby Darban, turut angkat senjata dalam pertempuran itu.
Kegentingan itulah yang kemudian turut memicu lahirnya BMT. Mohammad Sobary dalam Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung (2016) menyebut pembentukan organisasi kelaskaran itu dimulai dengan pertemuan sejumlah ulama, tokoh masyarakat, serta perwakilan pemerintah Kabupaten Temanggung di Pendapa Kawedanan Parakan.
“...Dibahas usaha dan pemikiran untuk membentuk pertahanan yang kuat yang terdiri atas alim ulama dan rakyat. Ajakan itu ditanggapi serius oleh alim ulama Parakan,” tulis Sobary.
Agus Solchan Hamidi, cicit Kiai Abdurrachman—salah satu ulama yang turut hadir dalam deklarasi BMT, menyebut bahwa dalam forum itu ada yang bertanya apa yang mesti dilakukan saat pasukan Sekutu dan Belanda mulai merangsek Temanggung.
“Mbah Yai Subchi ngacung (mengacungkan jari) dan omong kudu dilawan. Alasannya dilawan atau tidak mereka tetap datang,” kata Agus yang mendapat cerita itu dari almarhum ayahnya.
Ide pembentukan laskar perjuangan itu dikonkretkan dalam pertemuan lanjutan di rumah Kiai Muhammad (Mat) Suwardi di Parakan Kauman. Dalam kesempatan itu, para ulama membahas mengenai nama gerakan pertahanan yang bakal dipakai, lokasi markas, tempat penyepuhan, dapur umum, pembagian tugas, hingga koordinasi di antara para kiai.
Lalu, BMT pun lantas dideklarasikan pada 30 Oktober 1945 di Masjid Jami Parakan Kauman (sekarang bernama Masjid Al-Barokah Bambu Runcing). Deklarasi ini dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren beserta para santrinya dan pejabat daerah. Tarikh kelahiran BMT itu hanya berselang delapan hari setelah K.H. Hasyim Asy’ari mencetuskan Resolusi Jihad.
Deretan kiai yang hadir pada deklarasi BMT antara lain Kiai Subchi, Kiai Nawawi, Kiai M. Ali, Kiai Raden Sumomindardho, Kiai Abdurrachman, Haji Ridwan, Kiai Said Badawi, Kiai Mandhur, dan Kiai Muhammad Suwardi.
Di hari itu pula, Kiai Subchi didaulat menjadi pemimpin BMT. Di antara para kiai pendirinya, sebenarnya ada yang secara keilmuan dinilai lebih senior, tapi Kiai Subchi dipercaya karena dikenal berani dan cekatan.
“Ya sebenarnya [di Parakan dan sekitarnya] ada beberapa yang lebih senior, tapi Yai Subchi itu duk deng-nya,” kata Agus.
Duk deng adalah istilah lokal yang mengacu pada sifat berani berada di depan ketika menghadapi sesuatu. Karenanya, mereka yang dianggap duk deng layak dijadikan pemimpin.
Sebuah rumah di sebelah timur Masjid Parakan Kauman kemudian dipilih menjadi Markas BMT. Tak jauh dari markas, sebuah rumah lama berlanggam Tionghoa (di sebelah barat gedung sekolah MIS Al-Maarif sekarang) dijadikan dapur umumnya. Halaman belakangnya yang luas juga dipakai para kiai untuk prosesi “menyepuh” senjata.
Bambu Runcing Bersepuh Doa
BMT merupakan laskar para santri yang amat kuat disokong nilai-nilai spiritualitas Islam. Karenanya, para kiai pun berperan amat penting dalam memupuk semangat juang para anggotanya. Maka dalam menghadapi pertempuran yang bakal terjadi, mereka tak hanya bersiap secara fisik dan persenjataan, tapi juga secara spiritual.
Kiai Subchi selaku pemimpin memberi wejangan tentang pentingnya sikap rela berkorban demi Tanah Air serta berjuang dengan landasan semangat religius. Selain itu, dia juga membekali para anggota laskar dengan amalan doa.
Tak hanya itu, menurut penelusuran Ahmad Adaby Darban, ada pula Kiai Ali yang memimpin doa untuk memberkati banyu wani atau “air berani”. Air bertuah ini diyakini bisa meningkatkan keberanian anggota laskar.
Ada pula sega slamet atau “nasi selamat” yang berupa sekepal nasi bercampur gula dan parutan kelapa yang “dilumuri” doa dari Kiai Abdurrahman. Sega slamet dipercaya bisa memberi keselamatan saat berjuang.
Bambu runcing kemudian dipilih sebagai salah satu senjata utama. Tak sekadar diruncingkan, senjata bambu ini juga “disepuh” secara spiritual oleh para ulama. Adalah Kiai Raden Sumomindardho yang mula dipercaya untuk menyepuh bambu runcing.
Semua prosesi itu berjalan sejak hari BMT berdiri dan terus dilakukan di waktu-waktu selanjutnya. Karena pejuang yang bergabung terus bertambah, lewat pertemuan di rumah Kiai Abdurrachman, para kiai sepakat bahwa tempat penyepuhan senjata dipindahkan dari rumah Kiai Sumomindardho ke Markas BMT.
Kiai Subchi kemudian juga turun tangan menyepuh senjata dengan dibantu putranya, Abdurrohman. Kepada Ahmad Adaby Darban, Kiai Noer berkisah bahwa Kiai Subchi bahkan juga turut maju ke sejumlah medan tempur, termasuk dalam Palagan Ambarawa.
“Yai Subchi juga dikenal karena ikut berperang,” tutur Agus.
Orang-orang Temanggung percaya bahwa Kiai Subchi mempunyai karamah atau daya linuwih yang hanya dimiliki orang-orang terpilih.
Cerita-cerita soal BMT yang identik dengan bambu runcing menguar dari aksi-aksi para anggotanya. Bersenjata bambu runcing, mereka melakukan pengadangan terhadap sisa-sisa pasukan Jepang di Temanggung. Mereka juga bersetia membawa bambu runcing ketika bergabung dengan organisasi laskar lain atau satuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Bahkan, ada juga kelompok pejuang yang agaknya mengikuti “gaya” bertempur laskar BMT menggunakan bambu runcing.
Dari pertempuran di Palagan Ambarawa (Oktober-Desember 1945), misalnya, ada kisah tragis Kapten Suyoto dan anak buahnya. Pejuang asal Banyutarung, Temanggung, itu gugur bersama 20-an anak buahnya dalam sebuah pertempuran yang pecah di Lemah Abang, Bergas, Kabupaten Semarang.
Dalam peristiwa yang terjadi pada 28 November 1945 itu, Suyoto dan pasukannya sebenarnya tak sendirian. Turut pula bersama mereka laskar rakyat dari seputar Bandungan yang dipimpin seorang bernama Taslim. Misi mereka adalah menyerang iring-iringan tank dan truk logistik Inggris yang hendak menuju ke Ambarawa.
Sebagaimana dicatat dalam Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya (1977), Suyoto dan pasukannya melancarkan aksi yang benar-benar nekat. Pasalnya, sebagian besar dari mereka hanya bersenjata bambu runcing saat menyerang. Pasukan Inggris yang unggul persenjataan tentu melibar mereka.
Peristiwa tragis itu juga dicatat dan dikomentari oleh Jenderal A.H. Nasution dalam memoarnya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II (1977).
“Kecuali berani dan bersemangat berkobar-kobar, mungkin juga terpengaruh kepercayaan jimatnya dari Parakan, kiai Subechi, yang waktu itu menjadi mode. Perlawanan perseorangan terjadi, tetapi akhirnya kita disapu bersih....” tulis Nasution.
Menjadi Legenda
Cerita tentang BMT, bambu runcing, dan karisma Kiai Subchi pun berkembang dari mulut ke mulut, membikin eksistensi BMT cukup termasyhur di kalangan pejuang. Seperti disebut Nasution, para pejuang dari berbagai kota pun jadi tertarik datang ke Temanggung.
Begitu pula Jenderal Sudirman (saat itu masih berpangkat letnan kolonel) dan anak buahnya yang menyempatkan singgah di Parakan sebelum menyerang tentara Inggris (Sekutu) di Ambarawa.
“Pernah Panglima Besar Sudirman dengan anak buahnya singgah dulu ke Parakan untuk meminta berkah dan doa Kiai Subkhi sebelum menuju Ambarawa dan lain-lain untuk bertempur,” terang Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001).
Cerita para pejuang dari kaki Gunung Sindoro dan Sumbing ini kemudian makin melegenda, melintasi masa Revolusi yang telah lewat. Ia tertanam tak hanya dalam ingatan kolektif masyarakat Temanggung, tapi juga mereka yang pernah singgah di sana.
Salah satu yang punya kesan mendalam adalah jurnalis cum sastrawan gaek Goenawan Mohamad.
Pada 1947, dia dan keluarganya sempat mengungsi di Parakan. Bersama kakaknya, Goenawan kecil menyusuri kampung-kampung hingga tiba di Klewogan, tempat kelahiran Mohammad Roem. Di situlah dia mendapat cerita tentang Kiai Subchi. Kenangan itu kemudian dia ceritakan ulang dalam salah satu kolom Catatan Pinggir-nya yang berjudul “Roem” (Tempo, 18/8/1984).
“Parakan, di sekitar 1947, justru terkenal sebuah dongeng: ratusan pemuda datang untuk beroleh senjata sakti menghadapi militer Belanda-sepucuk bambu runcing dari Kiai Subekhi,” tulis Goenawan.
Kiai Subchi meninggal dunia 14 tahun setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Beliau lantas dikebumikan di permakaman Sekuncen, Parakan.
Cerita-cerita bernuansa realisme magis seperti bambu runcing bersepuh dari Parakan ini sebenarnya cukup lazim di era Revolusi. Sosok karismatik seperti Kiai Subchi pun muncul di kato-kota Republik yang lain.
Salah satunya di Surakarta. Soeyatno dalam “Feodalisme Revolusi di Surakarta 1945-1950” yang terbit di jurnal Prisma (Agustus 1978) menyebut pejuang-pejuang dari organ laskar memang umumnya punya sosok yang dihormati dan dianggap punya kekuatan spiritual.
Di Surakarta, ada sosok Kiai Juru Martani, Kiai Mangunhartono, juga Mbah Balak. Seperti halnya Kiai Subchi, mereka juga menjadi tempat ngelmu (mencari ilmu) atau untuk mendapatkan berkah keselamatan melalui kasekten (kesaktian) berupa kekebalan.
==========
Adendum: Untuk memperlengkap narasi dan informasi, redaktur telah melakukan penambahan isi dan melakukan penyuntingan ulang atas artikel ini pada 18 Agustus 2023 pukul 17.30 WIB. Judul artikel juga disunting ulang demi kesesuaian dengan isi artikel.
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Fadrik Aziz Firdausi