Menuju konten utama
Mozaik

Yang Manis dan Pahit dalam Riwayat Kopi di Keresidenan Kedu

Seperti terjadi di banyak tempat, tanam paksa kopi di sejumlah wilayah Keresidenan Kedu hanya memperpanjang penderitaan para petani.

Yang Manis dan Pahit dalam Riwayat Kopi di Keresidenan Kedu
Header Mozaik Sejarah Kopi. tirto.id/Tino

tirto.id - Jalan yang membelah Desa Sidoharjo, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, dinamai Jalan PTPN IX. Ini bisa dilihat pada papan nama di depan sekolah atau lembaga pemerintahan di tingkat desa.

Dari Jalan Raya Parakan-Sukorejo, mulai pertigaan Desa Gunung Payung, jalanan beraspal di antara permukiman dan kebun kopi warga itu berujung di gapura berwarna putih.

Sekitar 200 meter dari gapura, bertemu pertigaan yang juga akhir jalan beraspal. Di samping kanan jalan berbatu terdapat bangunan. Pada bagian depannya ada plang bertuliskan, "Badan Usaha Milik Negara PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Divisi Tanaman Tahunan Kebun Sukamangli Afdeling Bandarejo".

"Luas perkebunan ini sekitar 400 hektare", kata seorang pegawai di kantor itu, Rabu (13/12/2023)

Kabupaten Temanggung di wilayah eks Keresidenan Kedu merupakan penghasil kopi nomor wahid di Jawa Tengah. Lahan kopi di daerah ini, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng yang diperbarui Selasa (6/6/2023) dan diakses Selasa (12/12/2023), seluas 13.426,01 hektare dengan produksi 968,74 ton kopi arabika dan 10.157,75 ton kopi robusta.

Perjalanan panjang sebagai produsen kopi mengantar wilayah ini memiliki ragam varian kopi yang unik yang diperoleh dari kreativitas pengolah atau lokasi tumbuhnya tanaman.

Sebut saja misalnya kopi dengan aroma vanila dan moka ala Desa Muncar, Kecamatan Gemawang, atau kopi arabika beraroma tembakau dari lembah Sipetung Desa Jambu, Kecamatan Kledung. Mulai 2017, kopi asal Temanggung tampil di pameran-pameran internasional.

Setelah Kabupaten Temanggung, urutan penghasil utama kopi di Jawa Tengah berikutnya yaitu Banjarnegara, Kendal, dan Kabupaten Semarang. Kabupaten Magelang yang pada masa awal pembentukan keresidenan bersama Temanggung dalam satuan wilayah Keresidenan Kedu, berada di peringkat lima dengan produksi 1.567,33 ton kopi.

Kopi Primadona Pasar

Seperti dikisahkan AM Djuliati Suroyo dalam Eksploitasi Kolonial Abad XIX Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1900 (2000), dua abad lampau kopi sudah dikenal sebagai tanaman pagar di sekitar rumah. Para petani di sekitar lereng Gunung Ungaran di daerah Sumowono, serta sisi barat lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, menanamnya untuk menambah pendapatan.

"Paling tidak sejak akhir pemerintahan kerajaan, petani Kedu di lereng Gunung Merbabu [Distrik Ngasinan] dan di lereng Gunung Ungaran [Distrik Sumowono] telah mulai menanam kopi di pekarangan rumah mereka meski dalam jumlah kecil", tulisnya.

Ketika itu kopi merupakan usaha sampingan yang cukup mendatangkan laba. Kopi yang ditanam di sekitar rumah diistilahkan dengan paggerkoffij, sedangkan pohon kopi yang dibiarkan tumbuh alami di hutan dinamai boschkoffij. Pada waktu selanjutnya, ada pula yang menanamnya di kebun dekat desa, namanya kampongkoffij.

Ketiganya kemudian populer dengan sebutan kopi "manasuka", merujuk statusnya yang bebas tanam juga cara merawatnya yang tidak memerlukan perlakuan khusus.

Tumbuhan asal Ethiopia itu mulai ditanam di Jawa pada 1696. Meski demikian, kopi telah dicatat para penjelajah Belanda di Mucha atau Mokha, kota pelabuhan Republik Yaman di tepi Laut Merah pada 1616.

Kota ini dikenal sebagai pusat perdagangan kopi pada abad ke-15 hingga 17. Sekitar 45 tahun kemudian, komoditas ini mulai dikapalkan dari Mucha ke Belanda. Di Hindia, uji coba penanaman yang sempat gagal akhirnya membuahkan hasil setelah didatangkan pohon kopi dari Malabar, India, pada 1699. Bahkan pada 1712 dilakukan ekspor perdana sebanyak 894 pon kopi ke Belanda.

"Sejak 1725 kopi sudah menjadi komoditi yang besar kepentingannya dalam perdagangan Hindia Belanda. Lebih dari 1.200 ton yang dijual di Amsterdam dalam tahun tersebut, yang kebanyakan didapat VOC dari Priangan Jawa Barat...," tulis James J Spillane dalam Komoditi Kopi Peranannya dalam Perekonomian Indonesia (1990).

Mengikuti daerah lain yang berhasil membudidayakan kopi seperti Priangan, para petani Kedu diperintahkan menanamnya pada 1820 atau empat tahun setelah berakhirnya kekuasaan Thomas Stanford Raffles.

Kopi semakin laku di pasar internasional dan harganya melambung. Pada 1818, harga per pikul senilai f 14. Satu pikul setara 62,5 kilogram. Setahun berikutnya, harganya naik dua kali lipat lebih menjadi f 33 per pikul.

Empat tahun setelah perintah tanam diumumkan, harga kopi per pikul mencapai f 35. Saat itu, di Kedu ada dua juta lebih pohon kopi yang disebar pada area 2.079 bahu. Satu bahu sekitar 7.000 meter persegi. Dalam kecamuk Perang Jawa (1825-1830), meski produksinya menurun, kopi masih bisa menyumbang pendapatan f 1.000.000.

"Keadaan ini mendorong petani menanam kopi lebih banyak. Meskipun selama Perang Diponegoro produksi kopi sangat merosot, sejak tahun 1831 petani kembali menanam kopi 'manasuka' sebanyak dua juta pohon dan 1,5 juta pohon pada tahun 1832," tulis AM Djuliati Suroyo.

Perluasan lahan penanaman bergerak ke utara dan selatan wilayah Keresidenan Kedu. Di daerah selatan keresidenan, di Kabupaten Magelang, kopi dikembangkan di Distrik Ngasinan dan Distrik Probolinggo. Sementara itu, di bagian utara di wilayah Kabupaten Temanggung sekarang, kopi ditanam massal di Distrik Kedu, Distrik Jetis, dan Distrik Lempuyang.

Pada 1866-1867, perluasan lahan kopi berada titik tertinggi dengan area penanaman 10.236 bahu atau sekitar 10 juta pohon. Luas lahan itu sekitar lima kali lipat dibandingkan pada 1824.

Sebagian besar lain, sebanyak 14 juta pohon ditanam sebagai kopi pagar. Pohon-pohon kopi ini ditanam oleh 66.318 petani atau 56 persen dari pelaksana kerja wajib yang berdasarkan catatan statistik jumlahnya menyentuh angka 117.296 orang.

Menyesap Kopi, Mengisap Petani

Saat kopi laku keras, para penanamnya justru memasuki masa kelam. Para petani memang mempunyai penghasilan meski sedikit, tetapi kemudian segera habis karena harus membayar landrente, pajak sewa tanah warisan Raffles yang diteruskan pemerintah kolonial Belanda. Kondisi ini membuat para petani berkubang dalam utang.

Pajak berupa uang tidak serta-merta menghilangkan pajak lama berbentuk hasil bumi yang secara tradisional dibayarkan kepada para bekel atau kepala desa. Selain harus merawat tanaman milik sendiri, mereka juga diwajibkan memelihara kopi di perkebunan milik pemerintah kolonial yang tempatnya jauh di lereng-lereng gunung.

Belum lagi ongkos angkut dari perkebunan ke gudang yang lokasinya hanya ada di ibu kota kabupaten yang juga menjadi tanggungan petani. Beban berat itu membuat mereka bekerja ala kadarnya. Untuk mengatasinya, pemerintah kolonial memperketat pengawasan melalui kontroleur (pengawas kebun).

Antara tahun 1853-1864, produksi kopi Kedu menempati urutan ketiga di seluruh Hindia. Hal itu dengan area tanam yang paling sempit produksinya rata-rata per tahun sebanyak 78.306 pikul. Jumlah tersebut di bawah Pasuruan yang menghasilkan 170.329 pikul, dan Priangan dengan 147.365 pikul.

Infografik Mozaik Sejarah Kopi

Infografik Mozaik Sejarah Kopi. tirto.id/Tino

Masifnya penanaman kopi mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah yang berujung pada anjloknya luas kebun. Kondisi itu diperparah dengan tidak adanya pola tanam tepat, serta lambannya peremajaan pohon. Menurut AM Djuliati Suroyo, hal itu sebenarnya untuk menekan biaya sekaligus mempertahankan produksi agar tetap tinggi tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

"Akhirnya kebun kopi pemerintah hanya ditanam di empat distrik utara, yaitu Ngasinan, Prapak, Sumowono, dan Lempuyang (tahun 1887) dengan luas areal hanya 20 persen dari luas tahun 1867," tulis AM Djuliati Suroyo.

Ditilik dari persentase keterlibatan keluarga, Kedu bersama Banten menjadi wilayah terparah akibat Tanam Paksa. Penulis Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, MC Ricklefs, menyebut berdasar catatan Robert Elson dan C Fasseur, pada 1840 hingga 1845 jumlah keluarga di Kedu yang dikerahkan untuk penamanan berkisar antara 97 persen hingga 100 persen.

“Fasseur....angka untuk Banten pada tahun 1840 adalah 92 persen dan untuk Kedu pada tahun 1845 adalah 97 persen. Elson menghitung bahwa pada 1840, 73 persen dari seluruh keluarga dimanfaatkan untuk penanaman, di mana untuk Banten, Banyumas, Kedu angkanya mencapai 100 persen dan di beberapa daerah selainnya kurang dari 50 persen. Di kebanyakan tempat, kopi benar-benar merupakan hal terbesar," tulis Ricklefs.

Di samping kopi, pemerintah kolonial juga memaksa petani menanam sejumlah komoditas seperti tarum (bahan alami pewarna kain), tembakau, dan jati. Penanaman pohon yang disebut terakhir gagal akibat ketidaksesuaian iklim. Demikian pula dengan bibit tembakau jenis virginia asal Amerika Serikat. Tanam Paksa dihentikan pada 1870, tetapi baru benar-benar dihapus pada 1917.

"Memang, seperti sebelum kedatangan Van den Bosch, kopi merupakan komoditas yang sangat menguntungkan; komoditas ini juga merupakan jenis komoditas terakhir yang dihapuskan ketika culturstelsel berakhir”, tulis Ricklefs.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Ariyanto Mahardika

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ariyanto Mahardika
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Irfan Teguh Pribadi