tirto.id - Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, populer sebagai penghasil tembakau. Kabupaten yang dulu menjadi bagian Keresidenan Kedu ini memang identik dengan tembakau. Hal tersebut bahkan menjadi bahan bacaan anak sekolah dalam buku Kembang Setaman 3 yang ditulis A.C. Deenik dan A. Van Dick yang terbit pada 1927.
Meski demikian, sebagian kalangan percaya bahwa Temanggung cukuplah sekadar untuk kebun tembakau. Temanggung memang tak mempunyai banyak kisah tentang rokok yang merupakan produk turunannya. Bahwa kota kecil di sisi timur Gunung Sumbing dan Sindoro ini bukan lokasi cocok untuk pabrik rokok kemudian berkembang jadi mitos.
“Katanya itulah nasib Temanggung, cocok menjadi lahan kebun tembakau, tapi tidak cocok menjadi lahan pabrik rokoknya”, kata Subakir, seorang tokoh petani, yang dikutip Rudy Badil dalam Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011).
Walau begitu, bukan berarti di daerah yang dulu bernama Menoreh ini tak ada pabrik rokok sama sekali. Di Temanggung Kota, ada cerita tentang The Kim Hok yang mendirikan pabrik cerutu dengan jaringan pemasaran antarpulau pada awal abad lalu.
Jejak pabrik cerutu milik The Kim Hok antara lain dapat ditelusuri dari berbagai pernik-pernik kertas lawas, baik berupa surat niaga, etiket, hingga cetakan bungkus rokok yang dibuat pada paruh dekade pertama abad lalu. Kita patut berterima kasih pada Suherman Tan, seorang kolektor buku, yang telah mendokumentasikannya.
Di antara beragam koleksinya, terdapat selembar kartu pos yang ditujukan kepada kantor pabrik rokok Firma (Fa) The Kim Hok. Pada lembar muka, di bagian penerima, hanya tertera nama pabrik dan kota, tanpa nama jalan. Kartu pos itu ditulis dengan mesin ketik dan di salah satu bagiannya tercantum waktu pengetikan, yaitu 11 Desember 1937.
Lembar kartu pos yang juga berwarna cokelat tersebut berisi permintaan kepada pabrik agar mengirimkan kalender tahun baru untuk sejumlah agen atau pengecernya. Kartu pos itu dikirimkan dari Emma Haven—nama Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumtra Barat, pada masa Kolonial Belanda.
“...Kemudian daripada itoe, kami berharap pada kalaoe sekiranja Toean ada menaroeh kalender tahun 1938, akan soeka mengirim pada kami satu seboeah seorang....”, demikian tulis si pengirim kartu pos tersebut.
Pada saat kartu pos itu dikirimkan, Firma The Kim Hok dikendalikan oleh The Jan Kim, anak ketiga The Kim Hok. Namanya tercantum dalam buku Who’s Who Orang Tionghoa di Java terbitan 1935. The Jan Kim tercatat lahir di Temanggung pada 19 Januari 1902. Dia bersekolah di Tionghoa Hwe Kwan (THHK) Temanggung dan Chinese English School (CES) Hwa Ing, Semarang.
Distribusi Luas
Berdasarkan beberapa surat korespondensi dagang yang juga dikoleksi Suherman Tan, The Kim Hok memproduksi rokok kretek, cerutu alias sigar, juga tabak dengan sejumlah merek. Merek-merek itu di antaranya rokok kretek Djodo, Pelikaan, Tjap Lantja, Tjap Lilin, Ardjoena, Bebek, Radio, Sumantra, dan Boenderan.
Distribusinya mencakup pulau-pulau besar di Hindia Belanda, seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Untuk pengiriman ke luar pulau Jawa, Firma The Kim Hok bekerja sama dengan beberapa pihak, di antaranya dengan Koninkljk Paketvaart Maatschcapij (KPM).
Pada masa itu, The Kim Hok juga menjalin kerja sama dengan perusahaan besar di Kudus, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Dari sejumlah surat dan kartu pos, kita dapat informasi bahwa firma ini berkorespondensi dengan NV Carl Schliper Hendel Maatschappij, Firma Ed P Itallie, Hagemeijer and Co., Lindeteves-Stokvis, Nisshin and Co., serta NV Chemicalienhandel Rathcamp and Co.
“Pada masanya, itu perusahaan-perusahaan besar,” kata Suherman Tan kepada penulis.
Di antara beberapa etiket yang dikoleksi Suherman Tan, terdapat koleksi bertuliskan deretan angka yang menjadi penanda waktu perusahaan ini didirikan. Berdasar etiket berbentuk lonjong berwarna merah dengan lengkung setengah lingkaran berwarna putih, pabrik rokok The Kim Hok didirikan pada 1904.
Pada bagian tengah etiket itu terdapat pula tulisan, “Singhap Opgericht in 1904. Tabak Sigaren and Cigaretten Fabriek. Handel in Inlandsche Producten. The Kim Hok, Temanggoeng, Kedoe-Java.”
Nama yang sama juga tertulis pada pipa untuk mengisap rokok berwarna cokelat muda. Di pipa rokok sepanjang 10 cm itu tertulis Sigarenfabriek The Kim Hok. Bisa jadi, pipa rokok itu merupakan marchandise untuk pelanggan setianya.
Setelah ditelusuri, bekas pabrik rokok Firma The Kim Hok berlokasi di Jalan Kolonel Sugiyono, Temanggung Kota, atau di ruas jalan sebelah barat Pasar Kliwon. Lokasinya tak jauh dari Kantor Pos Temanggung, sekitar lima menit jalan kaki. Gedungnya berjarak sekitar 30-an meter dari Jalan S. Parman, jalan utama yang membelah ibu kota Temanggung.
Asal-usul The Kim Hok
Berdasar penelusuran Abel Jatayu Prakosa bersama salah seorang keturunan The Kim Hok, Johan Indrawan, terungkap bahwa The Kim Hok berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Dia bersama serombongan orang sampai di Temanggung untuk mengungsi setelah tempat tinggal mereka dilanda kerusuhan sekira 1880.
Saat itu, usia The Kim Hok belum genap lima tahun. Di tengah perjalanan, dia terpisah dari keluarganya dan diselamatkan anggota kelompok pengungsi lain. Dalam kondisi lelah dan lapar, rombongan itu kemudian ditampung sementara oleh The Kee Djwan, seorang pengusaha toko.
Selain membuka toko, The Kee Djwan juga mempunyai usaha pembuatan rokok di bagian belakang rumahnya.
Tak lama berselang, kelompok pengungsi ini berniat meneruskan perjalanan sampai menemui tempat yang dianggap aman. Demi keselamatan, The Kim Hok yang merupakan pengungsi yang paling muda lalu ditinggal di Temanggung. Dia lalu dipungut anak dan memakai nama keluarga itu. Sejak itulah dia dikenal sebagai The Kim Hok.
The Kim Hok bukan satu-satunya anak angkat. Masih ada dua anak lain seperti dirinya yang juga menjadi bagian keluarga The Kee Djwan. Meski begitu, hanya Kim Hok yang menyandang nama keluarga.
Kisah pun berlanjut, peristiwa tak terduga terjadi, musibah menghampiri. Menurut cerita Abel, saat menikahkan The Kim Hok yang pestanya diselenggarakan besar-besaran, The Kee Djwan dikhianati oleh karyawan kepercayaannya. The Kee Djwan dicurangi hingga berutang dan akhirnya berujung bangkrut.
The Kim Hok lantas bertekad membangun kembali bisnis keluarganya. Dia memulainya dari awal. Dia bahkan masih melakukan pekerjaan lain, termasuk berjualan keliling kacang rebus.
Sedikit demi sedikit, kerja keras The Kim Hok pun berbuah. Pada 1904, pabrik yang dirintis The Kee Djwan kembali berdiri dan bahkan berkembang pesat. The Kim Hok meninggal pada usia 55 tahun pada 1926. Makamnya ada di kompleks perkuburan Tionghoa di Kelurahan Sidorejo, pinggiran Temanggung Kota.
Menurut catatan Ong Hok Ham dan Amen Budiman dalam Hikayat Kretek (2016), pabrik cerutu mulai ada di Temanggung sejak 1888. Pabrik itu tidak semata membikin cerutu, tapi juga rokok khas Kedu yang hanya menggunakan tembakau lokal tanpa campuran bahan lain.
Industri olahan tembakau di Kabupaten Temanggung bisa dibilang tak segemilang seperti di daerah lain yang dikenal sebagai sentra pabrik rokok. Padahal, bahan bakunya tersedia, bahkan melimpah. Putut Trihusodo melalui Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1940 menuliskan sekilas kemungkinan penyebabnya.
Menurut sosok lulusan SMA 1 Temanggung dan alumnus Institut Pertanian Bogor tersebut, hal itu karena masuknya listrik di daerah ini terbilang lebih lambat. Temanggung Kota baru dialiri setrum pada 1936 yang ditandai pembangunan jaringan oleh Algemene Nederlands Insdische Elektricitiets Maatscappij (ANIEM) di wilayah Kertosari.
Pada masa itu, terdapat 20-an perusahaan rokok di Temanggung. Sebagian besar perusahaan itu merupakan usaha rumahan dan hanya dua yang berskala besar, yakni Firma The Kim Hok dan Tjong An Ho yang kemudian bertransformasi menjadi Rizona.
“Sekarang di itoe kota poen masi terdapet beberapa fabrik lisong, tetapi jang paling besar melainken doea sadja, jaitoe pertama fabrik lisong kapoenjahan toean Ho Tjong An dan jang laen kapoenjahan toean The Kim Hok”, tulis Liok An Tjoe dalam artikel “Sotoe Aannemer Kreta Api” yang terbit di majalah Sin Po (No. 864 Tahun XVI, 21 Oktober 1939).
Pabrik-pabrik itu berguguran pada zaman Pendudukan Jepang dan tak lagi bangkit akibat kondisi ekonomi yang hancur. Kelangkaan bahan baku seperti cengkih, serta kekurangan modal juga menjadi sebab lainnya.
“Cengkih pun sulit didapatkan karena impor dari Zanzibar dihentikan. Maka, banyak perusahaan rokok yang jatuh bangkrut pada periode ini karena kekurangan bahan baku,” tulis Rudy Badil dalam bukunya.
Dari pabrik yang berdiri sebelum 1945, hanya Rizona yang mampu eksis hingga kini. Perusahaan yang dirintis pada 1908 itu memproduksi tiga merek cerutu dengan bendera Rizona Baru.
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Fadrik Aziz Firdausi