Menuju konten utama
Mozaik

Lidah Api Peristiwa Madiun 1948 Menjilat Parakan

Saat Madiun bergejolak, Parakan di Temanggung juga ikut memanas. Sejumlah pejabat sipil diculik dan dibunuh Pasukan Merah. Aksi ini akhirnya dipukul TNI.

Lidah Api Peristiwa Madiun 1948 Menjilat Parakan
Header Mozaik Parakan 1948. tirto.id/Ecun

tirto.id - Gejolak Peristiwa Madiun September 1948 merembet ke beberapa kota. Di Parakan, Temanggung, kantor polisi diserang, puluhan pejabat dan tokoh masyarakat diculik, bahkan beberapa dibunuh oleh orang-orang kiri.

Resimen Samodra yang baru terbentuk berhadapan dengan kawan seperjuangan yang beda haluan. Parakan turut menjadi saksi kisah penuh konflik pada tahun-tahun pertama berdirinya Republik.

Pada Agustus 1948, sekelompok pasukan yang dipimpin Mayor Mahmud wira-wiri di sekitar Parakan. Warga yang mendapat cerita dari orang tua menyebut mereka sebagai “Tentara Mahmud”. Begitu setidaknya yang diucapkan Agus Solchan Hamidi, warga Parakan Kauman yang memperoleh kisah itu dari ayahnya.

“Tentara Mahmud tembak-tembakan nang cepak (di dekat) Sekuncen, ngono kuiceritane bapakne (begitu cerita ayah)”, kata Agus kepada penulis pada pekan pertama Juni 2023. Agus merupakan cicit KH Abdurrochman, satu dari para kiai yang hadir saat deklarasi Barisan Muslimin Temanggung (BMT) pada ujung Oktober 1945.

Pasukan Mayor Mahmud, lengkapnya Mahmud Hernawi disambut warga sebagaimana pejuang lain. Bahkan ada yang bersimpati dan bergabung kelompok itu. Tak banyak yang tahu dari mana mereka berasal. Sepanjang tak berulah, polisi tentara tak mengambil tindakan.

“Pemerintah sipil di Temanggung merasa tak berhak mencampuri urusan militer. Begitu pula dengan pihak kepolisian dari Markas Besar Polisi Tentara (MBPT) yang ada di Parakan”, demikian terdpat dalam buku Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950 yang disunting Putut Trihusodo.

Suasana sekitar bulan itu memanas dan penuh ketegangan. Kabinet Amir II jatuh karena dianggap gagal menjaga keutuhan wilayah Republik menyusul ditekennya Perjanjian Renville pada Januari 1948. Serangan tentara Belanda bisa sewaktu-waktu kembali datang, program tata ulang ulang dan perampingan organisasi tentara demi efisensi anggaran juga menimbulkan reaksi hebat.

Di luar kabinet, Amir Sjarifuddin bersama beberapa kelompok berhaluan kiri seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Musso, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI)--kemudian melebur ke dalam PKI--dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) memperkuat sikap oposisinya dengan membentuk aliansi baru bernam Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Perjanjian yang ditandatangani di Kapal USS Renville itu membuat wilayah Republik menyusut. Ibu kota negara beserta perangkatnya termasuk tentara harus di belakang garis demarkasi. Parakan di wilayah Karesidenan Kedu kerap dilintasi satuan-satuan militer.

Pun dengan pasukan dari bekas Pangkalan Laut IV Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Tegal. Agar tak melanggar garis demarkasi, mereka harus meninggalkan wilayah operasi tempur termasuk di antaranya pasukan di bawah komando Mayor R Soehadi. Atas perintah para petinggi ALRI, mereka menyingkir dan berkonsolidasi di Wonosobo, wilayah ujung barat Kedu.

Setelah melalui berbagai dinamika situasi politik, pasukan laut ini kemudian diwadahi dalam resimen baru bernama Resimen 45 atau Resimen Samodra yang terdiri dari lima batalyon. Mereka ditempatkan di beberapa lokasi seperti Wonosobo, Temanggung, dan Parakan.

Untuk memudahkan koordinasi, Resimen Samodra berada di bawah Divisi Diponegoro. Tugasnya memperkuat pertahanan wilayah di Kedu utara.

Meski demikian, di antara pasukan laut itu ada yang memilih jalan berbeda. Mereka dikenal sebagai Batalyon Darsono. Kelompok ini sebelumnya memilih bergabung ke Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) Divisi II Jawa Tengah pimpinan Kolonel Ahmad Jadau yang cenderung dekat dengan kelompok kiri.

"Revolusi Telah Tiba!"

Pada 18 September 1948 malam Radio Gelora Pemuda bersiaran lantang. Soemarsono, pemimpin Pesindo, menguasai corong radio. Siaran sarat pernyataan pedas itu diakhiri dengan kalimat tegas, “Saatnya revolusi telah tiba!” demikian dikutip dari buku Pesindo Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 yang disusun Norman Joshua Selias.

Sehari kemudian, sejumlah kesatuan dan markas pertahanan di Madiun dilucuti dan pemerintahan Front Nasional dinyatakan berdiri. Proklamasi Republik Demokrasi Rakyat Indonesia dikumandangkan. Pada saat yang sama, Amir Sjarifuddin dan Musso tengah bersafari ke sejumlah daerah untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka.

“Waktu itu Musso, Amir Sjarifuddin, dan beberapa tokoh PKI lain sedang di Purwodadi untuk berkampanye. Rapat raksasa terpaksa dibatalkan, karena tidak terduga bahwa kawan seperjuangan dari Pesindo telah melakukan perjuangan dengan jalan kekerasan dan non-parlementer,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV.

Di Yogyakarta, pemerintah merespons cepat dengan menangkap sejumlah orang yang berafiliasi dengan FDR. Media massa berhaluan merah dilarang terbit, termasuk Penghela Rakjat, harian yang terbit di Magelang. Presiden Sukarno lewat RRI Yogyakarta menyerukan rakyat akan memilih dirinya dan Hatta atau Musso dengan PKI-nya.

Dua hari berikutnya, Panglima Besar Jenderal Soerdirman bersama sejumlah petinggi militer datang ke Solo guna melakukan apa yang disebut Himawan Soetanto dalam Madiun dari Republik ke Republik, “Menyampaikan perintah-perintah dan memberikan penjelasan-penjelasan operasional”.

Selain karena gejolak di Madiun yang tanpa diduga terjadi kemudian, langkah itu juga untuk meredam perseteruan yang berujung korban jiwa di antara kesatuan militer. Oleh FDR, Solo hendak dijadikan pengalih agar perhatian tidak tertuju ke Madiun. Konflik antarfaksi militer di kota tepi bengawan itu merupakan prolog gerakan lebih besar.

Di Temanggung, Resimen Samodra yang menerima kabar dari Madiun memburu anggota Batalyon Darsono. Mereka dapat dilumpuhkan, meski begitu ada yang lolos dan melarikan diri. Para pelarian kemudian bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Mayor Mahmud Hernawi.

Mayor Mahmud dan pasukannya berhimpun dalam Brigade IV Batalyon 2 di bawah komando Letkol Martono Brotokusumo. Brigade itu terdiri atas gabungan beberapa laskar seperti Brigade Djoko Oentoeng yang dalam perkembangannya menjadi Resimen 43 Tenggor di Yogyakarta. Saat memimpin brigade itu Martono menyandang pangkat kolonel.

Berdasarkan catatan Sedjarah TNI AD Kodam VII Diponegoro, Sirnaning Jakso Katon Gapuraning Ratu terbitan 1968, resimen yang terdiri atas tiga batalyon itu kemudian dipimpin Letnan Kolonel Sugiri dari Lasykar Rakjat. Salah satunya, Batalion 2 di bawah komandan Kapten Sukotjo.

Laskar lain, Resimen 41 Tidar berkekuatan tiga batalyon pimpinan Letnan Kolonel Mohammad Anas, dan Resimen 44 Ekspidisi dari Pesindo, kesatuan tempat Mayor Mahmud memimpin satu dari tiga batalyon dalam resimen itu. Kedua kelaskaran ini bermarkas di Magelang.

Setelah Kabinet Hatta mencanangkan program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra), mereka masuk Brigade IV yang terdiri atas tiga batalyon. Batalyon 1 dipimpin Mayor Sugiri, sedangkan Batalyon 3 di bawah komando Mayor Mohammad Anas. Batalyon Mayor Mahmud ditempatkan di sekitar Parakan dengan sejumlah misi.

“...berada di sebelah barat laut Magelang dengan tugas untuk mengacaukan hubungan pasukan TNI dan front barat (Sektor Banjarnegara). Pada malam hari mereka sering mengadakan kekacauan ke kota Magelang, Temanggung, dan Parakan”, ujar penulis buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid II Penumpasan Pemberontakan PKI.

Pasukan Mayor Mahmud dan sisa pasukan Batalyon Darsono kemudian bergerak mengikuti gelombang gejolak dari Madiun. Berdasarkan buku yang terbit pada 1995 itu, mereka menyerbu kantor polisi pada 24 Oktober 1948. Hari berikutnya sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat diculik.

Senjata satu peleton pasukan Batalyon 173 dan Batalyon 175 Resimen Samodra yang tengah beristirahat juga dilucuti. Ini memang menjadi bagian rencana FDR yang juga hendak mendirikan pemerintahan Front Nasional di Parakan.

Kesaksian seorang bekas anggota Laskar Hizbullah yang melihat peristiwa itu, sebagaimana ditulis dalam Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950, menyebutkan di antara yang diculik adalah Komandan (KDM) Temanggung Mayor Salamun dan Mayor Sakri Soesanto.

Selain itu, mereka juga menculik Komandan Batalyon Polisi Tentara Divisi III yang saat itu berada di Parakan, Kapten Soemantri dan Letda Soewandi (keduanya anggota staf MBPT), Kepala Polisi Parakan, Koalan (Camat Tretep), dan Koesno (Mantri Polisi di Candiroto).

“Mereka menculik 60 orang aparat negara dan pemuka masyarakat, di antaranya Wedana Parakan, Wedana Kretek, Asisten Wedana Kretek, seorang penilik sekolah, penghulu di Candiroto, Kapten Sumantri dan Letnan Muda Suwadji”, imbuh penulis buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid II Penumpasan Pemberontakan PKI.

Infografik Mozaik Parakan 1948

Infografik Mozaik Parakan 1948. tirto.id/Ecun

Dipukul Pasukan Gabungan TNI

Parakan membara. Brigade 14 Divisi Siliwangi di bawah pimpinan Letkol Eddy Sukardi bersama sejumlah elemen tempur termasuk Resimen Samodra segera membabat pasukan Mayor Mahmud.

Brigade 14 Pasukan Divisi Siliwangi memang ditempatkan di Magelang sebagai cadangan strategis. Manuver pasukan gabungan Republik dari arah Temanggung sempat terhambat dengan barikade-barikade yang dipasang di Jembatan Kali Galeh.

Parakan kembali bisa direbut oleh TNI pada 27 September 1948 sore, Mayor Sakri dan Mayor Salamun dibebaskan. Pasukan Mayor Mahmud terdesak ke Ngadirejo dengan membawa sejumlah sandera. Pada hari-hari berikutnya, serangan pasukan gabungan kian gencar, apalagi Kedu bersama Yogyakarta, Banyumas ditetapkan sebagai daerah militer pada 30 September 1948.

“Moelai 30 September 1948, atas besluit president, daerah istimewa Djocjakarta dan residentie Kedoe dan Banjoemas telah dijadikan daerah militair. Sebagi militair gouverneur telah diangkat Kolonel Bambang Soegeng”, tulis Kengpo, Jumat (1/10/1948).

Pasukan pemerintah dari berbagai satuan memukul mundur mereka hingga terkunci di sekitar Gunung Payung. Situasi terhimpit, berpikir jadi sempit, mereka pun kalap. Sebelum lari kocar-kacir ke arah Tretep yang berbatasan dengan Wonosobo dan ke arah Bejen yang berbatasan dengan Sukorejo, Kendal, mereka membunuh sejumlah sandera.

Korban yang dibunuh di antaranya Kapten Soemantri (anggota staf MBPT), Letda Soewandi (anggota staf MBPT), dan Koalan (Camat Tretep).

Pasukan Mayor Mahmud yang bergerak memasuki Wonosobo diadang tentara Brigade 1 di bawah komando Letkol Bachrun. Di daerah Tambi laju mereka terhenti, Mayor Mahmud ditangkap namun sejumlah anak buahnya melarikan diri.

Kelompok pasukan lain bersembunyi di Gunung Prau, sebelah utara Sindoro-Sumbing, tak dapat bertahan lebih lama. Kapten Sukotjo bersama 34 orang lainnya pun turun gunung dan menyerahkan diri di Candiroto.

Desa Biting di antara Candiroto dan Sukorejo menjadi pertahanan terakhir pasukan merah. Jalur-jalur untuk memasok makanan mereka diputus. Pasukan Brigade II Batalyon 4 yang dipimpin Mayor Panuju mengepung dan menggempurnya. Sebagian ditangkap, sebagian lagi lari ke luar batas garis demarkasi melintasi sungai di perbatasan Temanggung-Kendal.

Di bagian lain, perlawanan sisa pasukan Mayor Mahmud Hernawi melemah. Mereka yang sebelumnya lolos dari gempuran di Tambi, daya tempurnya terkuras hingga akhirnya menyerah.

Di pusat gerakan, Musso ditembak satu kelompok pasukan Republik di Desa Semanding, Kauman, Ponorogo, pada 31 Oktober 1948. Sebelumnya, dia pergi ke Madiun seusai mendengar siaran Radio Gelora Pemuda yang kemudian memicu operasi penumpasan.

Akhir Peristiwa Madiun ditandai dengan eksekusi 11 orang pada hari yang sama dengan Agresi Militer Belanda II: Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Suripno, Sardjono, Djokosudjono, Oei Gee Hwat, Harjono, D. Mangku, Sukarno, Ronomarsono, dan Katamhadi di Dusun Ngaliyan, Desa Lalung, Karanganyar.

Baca juga artikel terkait PERISTIWA MADIUN atau tulisan lainnya dari Ariyanto Mahardika

tirto.id - Politik
Kontributor: Ariyanto Mahardika
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Irfan Teguh Pribadi