tirto.id - Suatu hari pada masa revolusi kemerdekaan, Solihin Poerwanagara bergegas menuju Sekolah Menengah Tinggi (SMT) untuk mengikuti ujian akhir di kelas III.
Ia datang mengenakan seragam yang umum dipakai para anggota laskar perjuangan. Pikiran dan hatinya terbelah. Sebagai anggota Tentara Pelajar, ia seharusnya berada di medan pertempuran yang sudah meletus di Tasikmalaya. Namun, ia tidak mungkin meninggalkan ujian sekolah.
Maka, setelah soal-soal ujian diselesaikan, "Saya langsung ngacir [bergegas] ke lapangan untuk perang," ucapnya dalam buku Solihin Gautama Poerwanagara: Perjalanan Empat Zaman Si Anak Menak (2020).
Menyamar sebagai Gautama
Ia lahir pada 21 Juni 1926 di Karangnunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan nama Solihin Poerwanagara sebagai anak anak ke-10 dari 13 bersaudara. Kedua orang tuanya, Abdulgani Poerwanagara dan Siti Ningrum merupakan keluarga bangsawan Sunda.
Solihin mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Memasuki masa pendudukan Jepang, ia melanjutkan studi di Sekolah Menengah Teknik di Bandung. Setelah tamat ia kembali ke kampung halamannya, Tasikmalaya, untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Tinggi (SMT).
Dari Tentara Pelajar, karier militernya berlanjut bersama Divisi Siliwangi. Pada masa revolusi kemerdekaan, ia berpangkat kapten dan turut dalam Peristiwa Bandung Lautan Api.
Tidak lama kemudian, Madiun bergolak. Menurut Moehkardi dalam Akademi Militer Yogyakarta dalam Perjuangan Fisik 1945-1949 (2019), Solihin ditugaskan memimpin satu kompi untuk menangkap sisa-sisa kekuatan PKI/FDR di wilayah Yogyakarta, Wonosari, Pracimantoro, dan Pacitan.
Setelah Divisi Siliwangi kembali Jawa Barat, Solihin ditugaskan membentuk barisan pertahanan di Desa Tawangbanteng, Tasikmalaya.
Selama bertugas di daerah itu, ia mengalami kejadian lucu. Suatu ketika, seorang Intel Belanda menemuinya dan menanyakan keberadaan Solihin. Mendengar itu, ia memperkenalkan dirinya dengan nama Gautama yang berprofesi sebagai juru ketik desa.
Si intel lalu mengajaknya ke Gunung Galunggung untuk mencari Solihin. Untuk menyempurnakan penyamarannya, ia menerima ajakan itu. Pencarian tentu saja berakhir sia-sia. Setelah berjam-jam, sang intel menghentikan pencariannya dan memberi Gautama segelas susu sebagai bentuk imbalan jasa.
"Mengenang kejadian itu, kadang-kadang saya tersenyum sendiri," kenang Solihin dalam buku The Trouble Shooter: Cendramata 80 Tahun Solihin GP (2006).
Sejak saat itu, nama Gautama disematkan sebagai nama tengahnya. Sehingga ia dikenal dengan nama Solihin Gautama Poerwanagara alias Solihin GP.
Menghadapi DI/TII
Pada 1949, Solihin diangkat sebagai Asisten Dua Divisi Siliwangi. Saat itu, situasi di Jawa Barat mencekam. Selain menghadapi Belanda, DI/TII di bawah pimpinan Kartosuwiryo juga telah menebar ancaman dan menimbulkan korban jiwa dari kalangan sipil.
Solihin mengakui situasinya sangat sulit. Bahkan, ia pernah diludahi warga yang kecewa terhadap pasukan Siliwangi yang dianggap lamban dalam meredam DI/TII hingga menimbulkan banyak korban jiwa.
Dalam buku Riwayat Hidup Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971 (1972) disebutkan, keterlibatannya dalam penumpasan DI/TII di Jawa Barat berhenti pada 1953.
Ia kemudian mengikuti pendidikan militer di Sesko AD hingga tahun 1954. Setahun berselang, ia menjadi pengajarnya. Setelah itu, Solihin berangkat ke Amerika Serikat untuk kembali mengikuti pendidikan militer.
Mengutip buku Siliwangi dari Masa ke Masa: Edisi ke-2 (1979), pada awal 1960, ia diperintahkan sebagai Komandan Batalyon II dalam rombongan Kontingen Garuda II yang diberangkatkan ke Kongo dalam misi perdamaian PBB.
Sekembalinya ke Indonesia pada 1964, Solihin ditugaskan sebagai kepala staf dalam Operasi Kilat yang dipimpin Kolonel Infanteri M. Jusuf untuk menumpas gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Gerakan tersebut berhasil dipadamkan setelah pemimpinnya, Abdul Kahar Muzakkar, tewas ditembak pada 3 Februari 1965. Namun, penangkapan dan pengejaran terhadap sisa-sisa pengikutnya belum selesai. Salah satunya, pengejaran terhadap Menteri Pertahanan DI/TII, D. Gerungan.
Dalam upaya itu, Solihin memerintahkan anak buahnya untuk mengintensifkan pengepungan ke daerah-daerah. Setelah lima bulan, Gerungan dan para pengikutnya berhasil ditangkap.
Semua berawal saat salah satu ajudan Gerungan yang konon bernama Simon, diperintahkan mencarikan rokok untuknya. Sial, salah satu prajurit Operasi Kilat mengetahuinya seraya berteriak, "Angkat tangan!”
Mendengar teriakan itu Gerungan menunjukkan dirinya seraya berkata,"Jangan Tembak! Jangan tembak! Sayalah Gerungan!”
Peristiwa ini menjadi tanda dari keberhasilan Operasi Kilat dalam mengakhiri gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Setahun kemudian ia diangkat menjadi Panglima Kodam XIV/Hasanuddin di Makassar, menggantikan M. Jusuf yang diangkat sebagai Menteri Perindustrian pada Juli 1965. Solihin dikenal masyarakat Makassar sebagai panglima yang ramah.
Salah satu warga yang dekat dengannya adalah Jusuf Kalla yang saat itu aktivis Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Makassar. Ia sering menemui Solihin untuk sekadar berkonsultasi. Bahkan, di kemudian hari, JK menamai anak laki-lakinya Solihin Kalla.
"Sifat kerakyatan beliau sangat menonjol [...] Saya bisa datang menemui beliau tengah malam," kenang Jusuf Kalla dalam Membaca JK: Biografi Singkat Jusuf Kalla (2014).
Pada 27 Agustus 1968, atas rekomendasi M. Jusuf, Solihin dipindahkan ke Magelang, Jawa Tengah, dengan tugas baru sebagai Gubernur Akabri bagian Umum/Darat.
"Saya memulai dengan pembenahan akademi, terutama soal pungutan dan pakaian taruna yang terlalu ketat. Di sini saya sering menyampaikan materi tentang kepemimpinan dan dwifungsi ABRI," tutur Solihin (2020).
Mang Ihin Gubernur Jabar
Awal 1970, mengutip The Trouble Shooter: 80 Tahun Solihin GP (2006), Solihin mendengar berita tentang pencalonan dirinya untuk menjadi Gubernur Jawa Barat. Saat itu, ia sebenarnya berniat menolak. Sebab, setelah masa jabatan Gubernur Akabri selesai, ia berniat untuk pensiun dini dan ingin menjalani hidup sebagai warga sipil.
Namun, semua berubah saat ia bertemu dengan Presiden Soeharto yang meninjau lokasi letusan Gunung Merapi. Solihin mengutarakan niatnya kepada Soeharto untuk pensiun.
"Kamu harus bisa. Kamu kan belum pensiun. Saya yang menentukan tugas kamu," ujar Soeharto.
Solihin dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat pada 14 Februari 1970. Sadar tidak punya pengalaman dalam mengatur wilayah administratif, ia kemudian mengunjungi Ali Sadikin yang saat itu sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Ali Sadikin membuka peta seraya berkata bahwa Jawa Barat tidak mampu melaksanakan pembangunan di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bogor. Kepada Solihin, Ali Sadikin mengatakan alangkah baiknya jika wilayah-wilayah tersebut dilimpahkan saja demi menjawab desakan dari masyarakat Jakarta untuk memperluas wilayah.
"Wah, ini mah kurang ajar banget," batin Solihin.
Sejak saat itu, "perang perbatasan" dimulai. Tangerang diubahnya menjadi kawasan industri tekstil. Di Bekasi, didirikan pabrik Semen Kaisar dan Tiga Roda. Sedangkan cuaca sejuk di Puncak, Bogor, dimanfaatkan untuk tempat rekreasi Taman Safari.
Ia juga dikenang sebagai gubernur yang memopulerkan sistem gogo rancah untuk menghindari gagal panen padi di musim kemarau, di lahan-lahan pertanian yang tidak teraliri air. Wilayah yang pertama kali berhasil menerapkan sistem tersebut adalah Indramayu.
Meski dianggap berhasil mengembangkan Jawa Barat, jabatan Solihin tidak diperpanjang. Santer terdengar, hal itu terjadi karena ia sering bertentangan dengan Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud.
Solihin tak ambil pusing. Sejak awal ia memang tidak berniat menerima jabatan itu dan tak ingin berlama-lama menjalani tugas sebagai Gubernur Jawa Barat.
Sejenak ia sempat merasakan hidup sebagai rakyat biasa dengan membuka usaha pertanian di daerah Gunung Cikuray dan Jampang, Sukabumi. Namun, tak lama kemudian, pada 1977 Soeharto memerintahkannya untuk menjadi Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang).
Dengan jabatan barunya ia berkantor di Gedung Bina Graha, Jakarta. Ia diberi kewenangan untuk mengoreksi kebijakan para menteri yang dianggap melanggar dan bekerja tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Pada suatu pertemuan, ia menentang kebijakan Presiden Soeharto tentang konsep konglomerasi dalam pemerataan pembangunan, termasuk bisnis-bisnis anak Soeharto yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Setelah pertemuan itu hingga tugasnya sebagai Sesdalopbang berakhir pada 3 Agustus 1993, ia mulai menjaga jarak dengan Soeharto. Selanjutnya, ia masuk ke dalam jajaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan menjadi Komisaris BUMN: Dayak Besar Grup dan Inhutani.
Bagi masyarakat Jawa Barat, ia kerap disapa Mang Ihin dan dianggap sebagai sesepuh. Sepanjang hidupnya, ia juga tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persib (1976-1979 dan 1980-1985), serta Ketua Komisi Tinju Indonesia (1986-1989).
Menjelang keruntuhan Orde Baru, ia tercatat pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan PDI-P dan melenggang ke Senayan sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari utusan daerah Jawa Barat.
Terakhir, Solihin mendirikan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), yang didirikan pada 10 September 2001 di Padepokan Tadjimalela di Gunung Manglayang.
Selasa, 5 Maret 2024, Mang Ihin mengembuskan napas terakhirnya. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Cikutra, Bandung.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi